GAGASAN DASAR CIVIL SOCIETY


 

Latar Historis Civil Society
Konsep masyarakat madani di Indonesia dan merupakan istilah temuan kontemporer sebagai terjemahan civil society.[2] Oleh karena itu kajian masyarakat madani tidak bisa dipisahkan dari konsep civil society yang berkembang di barat. Asrofi S. Karni[3] dalam hal ini mengakumulasikan civil society kedalam 5 model pemaknaan dengan konteks historis tempat pemikiran itu diterapkan.
Pertama, civil society dipahami sebagai sistem kenegaraan. Pemahaman demikian dikembangkan oleh Aristoteles (348-322 SM), Marcus Tillius Cicero (106-43 SM), Thomas Hobbes (1588-1679 SM) dan John Locke (1632-1704).
Kedua, civil society sebagai visi etis dalam kehidupan bermasyarakat yang merupakan kebalikan dari masyarakat primitif/ barbar. Visi etis ini untuk memelihara tanggungjawab sosial yang terilhami oleh sentimen moral antar masyarakat secara alamiah. Konsep ini dikembangkan Adam Ferguson (1767) pada paruh kedua abad ke-18.
Ketiga, civil society dimaknai sebagai antitesis negara dan atau sebagai alat kotrol negara. Pemahaman ini dikembangkan oleh Thomas Paine (1792).
Keempat, civil society sebagai elemen ideologis kelas dominan yang dikembangkan oleh Hegel, Marx dan Gramsci.
Kelima, civil society dimaknai sebagai entitas penyeimbang kekuatan negara yang bersifat otonom dan memiliki kapasitas politik yang tinggi untuk menahan kecenderungan intervensi negara, bahkan menjadi sumber legitimasi negara dan mampu melahirkan kekuatan kritis reflektis (reflective force) untuk mengurangi derajat konflik dalam masyarakat sebagai akibat reformasi sosial. Model ini dikembangkan oleh Alexis de’ Toqueville.

Hakekat Pemberdayaan Masyarakat

Hakekat pemberdayaan masyarakat pada dasarnya merupakan perwujudan citra negara yang demokratis, yang unsure-unsurnya antara lain:
  1. adanya kemauan politik dari negara (political will state)
  2. adanya komitmen yang kuat dari masyarakat politik (political society)
  3. adanya civil society yang kuat, mandiri dan beradab.[4]

Konsep Civil Society

Pertamakali Konsep Civil Society[5], menurut para pakar ilmu-ilmu sosial, diperkenalkan oleh Adam Ferguson seorang filsuf Skotlandia dengan bukunya yang dia tulis An Essay on the History of Civil society (1773). Namun yang memulai melengkapi analisisnya pada kelompok-kelompok masyarakat yang mengantarkan kepentingan rakyat kepada para pengambil kebijakan baru pada abad ke–20 yakni Alexis de Tocquaville dengan bukunya Democracy in America (1969). “Bapak” civil society Indonesia – AS Hikam yang menulis desertasinya dengan judul: “Negara, Politik Masyarakat dan Madani, dalam Pergerakan Sosialnya dibawah Orde Baru” Pada tahun 1995 dalam mendevinisikan civil society juga merujuk pada pemikiran Tocquaville. Yakni  wilayah-wilayah kehidupan sosial yang terorganisasi dan bercirikan antara lain: kesukarelaan (voluntary), keswasembadaan (self-generating), dan keswadayaan (self-supporting), kemandirian tinggi “berhadapan” dengan negara, dan keterikatan tinggi dengan norma-norma atau nilai-nilai hukum yang diikuti warganya (1996) 
Fungsi civil society dalam hubungannya dengan negara ekstrimnya ada dua madzhab besar yang berbeda. Yang satu sebagai komplementer negara, yang satunya berposisi diametral dengan negara atau sebagai tandingan negara (counterbalancing the state/ countervailing forces).  Hikam menambahkan fungsi subtitutor yang lebih dekat dengan fungsi komplementer yakni kalangan civil society melakukan serangkaian aktivitas yang belum atau tidak dilakukan negara dalam kaitannya sebagai institusi yang melayani kepentingan masyarakat luas. Dalam ranah kiprahnya, prototipe civil society juga disebut-sebut berada di dua ranah yang berbeda yakni di ranah budaya (horisontal) yang lebih menekankan pada keberadaban (civility) dan persaudaraan (fraternity) dan ranah politik (vertikal) yang lebih menekankan pada kekuatan tandingan (counter of hegemony).
Trend terahir sebagaimana pertemuan akbar para pegiat anti globalisasi dunia yang melibatkan lebih dari 100 ribu pegiat dari seluruh dunia di India bulan kemarin tampak meningkat dengan tajam suatu kesadaran baru bersolidaritas bersama untuk membangun global society melawan state hegemony yang berwatak kapitalistik. Cara pandang yang lebih realistis tentunya semestinya diarahkan pada terwujudnya keberdayaan rakyat, terpenuhinya kebutuhan strategis dan pragmatis rakyat, terwujudnya hak akses dan kontrol rakyat terhadap sumberdaya yang ada melalui berbagai ranah, cara  dan fungsi baik itu fungsi komplementer, subtitutor, atau bahkan diametral sesuai dengan konteks ruang dan waktu.
Mengenai keterlibatan civil society dalam “pembangunan”ada salah satu thesis yang sedang marak diagendakan oleh kalangan pegiat pemberdayaan civil society adalah membangun strategi penguatan resistensi bangsa dengan mengsinergikan seluruh sektor yang ada baik itu sektor state, private, dan public. Hal ini ditujukan untuk mewujudkan good governance, good coorporate, dan good civil society. Terlebih pada momentum trend desentralisasi yang terus bergulir ini. Mutlak diperlukan adalah semangat kebersamaan dari seluruh sektor untuk membangun dan mengembangkan agenda bersama dalam rangka perwujudan Local good governance, Local good coorporate, dan Local good civil society.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN AKSI MASSA

LATAR HISTORIS PEMIKIRAN KARL MARX

POSTMODERNISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN