POSTMODERNISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN
Pendahuluan
Kehadiran postmodernisme dalam ruang pergulatan
intelektualitas manusia disadari telah membuat warna baru yang menarik untuk
dikaji. Hal ini tidak saja karena kehadirannya cukup menyentakkan dunia
akademik, melainkan juga postmodernisme telah turut membawa pesan-pesan kritis
untuk melakukan pembacaan ulang atas berbagai tradisi yang selama ini diyakini
kebenarannya. Masyarakat dikagetkan dengan munculnya gejala postmodernisme yang
cukup untuk ‘meluluh-lantakkan’ dimensi-dimensi ontologi, epistemologi, bahkan
aksiologi yang tumbuh dalam pengetahuan dasar masyarakat mengenai realitas.
Bagi gerakan postmodernisme, manusia tidak akan mengetahui realitas yang
objektif dan benar, tetapi yang diketahui manusia hanyalah sebuah versi dari
realitas.
Postmodernisme yang semula hanya berkembang dalam
bidang arsitektur, mulai merambah ke dalam seluruh bidang kehidupan manusia,
justru setelah Lyotard mengintegrasikannya ke dalam filsafat sebagai bentuk
ketidak percayaan pada metanarasi (Lyotard, 1979/1984: xxiv).
Pengintegrasian gerakan postmodern ke dalam (ruang) filsafat memberikan
konsekuensi logis bagi munculnya ‘pembacaan ulang’ pada setiap dasar kehidupan
manusia (Sugiharto, 1996 : 28-32). Hal ini karena filsafat merupakan
pengetahuan dasar yang memberikan konstruksi bagi munculnya setiap bentuk
pemahaman (ideologi) dalam masyarakat. Postmodernisme dalam filsafat berujung
pada sikap kritis untuk mengkaji ulang setiap bentuk kebenaran yang selama ini
diterima secara apa adanya. Terminologi inilah yang kemudian dikenal dengan metode
dekonstruksi yang dalam banyak hal diusung oleh Derrida (Norris, 2003 :
20).
Gerakan postmodernisme ini pada dasarnya muncul
sebagai kritik atas kegagalan manusia modern (kehidupan modernitas) dalam
menciptakan situasi sosial yang lebih baik, kondusif dan berkeadilan sosial
(Ritzer, 2003 : 31). Munculnya perang, gejolak sosial dan revolusi yang
menimbulkan anarki dan relativisme total. Keadaan tersebut melahirkan sejumlah
kegelisahan berkaitan dengan problem pengetahuan dasar manusia mengenai
modernisme yang diklaim mengusung kemajuan, rasionalitas, dan sebagainya. Rasio
manusia yang oleh masyarakat modern diyakini sebagai suatu kemampuan otonom,
mengatasi kekuatan metafisis dan transendental. Kemudian diyakini pula
mengatasi semua pengalaman yang bersifat partikular, dan dianggap menghasilkan
kebenaran mutlak, dan tidak terikat waktu.
Asumsi-asumsi mutlak di atas dengan tegas ditolak oleh
Heidegger, Horkheimer dan Adorno. Menurut mereka modern (modernisasi) bukanlah
sekedar perjalanan terseok-seok, melainkan perjalanan ke sebuah disintegrasi
total, sebuah malapetaka sejarah umat manusia. Dalam pemikiran Bataille, Rorty,
Foucault, dan Derrida, juga terkandung “nafsu” yang sama untuk menyingkapkan
bahwa “kehendak untuk menjadi modern tak kurang untuk berkuasa (Hardiman, 2003
: 151).
Untuk itu, usaha membebaskan diri dari dominasi konsep
dan praktek ilmu, filsafat dan kebudayaan modern. Jika dalam visi modernisme,
penalaran (reason) dipercaya sebagai sumber utama ilmu pengetahuan yang
menghasilkan kebenaran-kebenaran universal, maka dalam visi postmodernisme hal
itu justru dipandang sebagai alat dominasi terselubung yang kemudian tampil
dalam bentuk imperialisme dan hegemoni kapitalistik. Sebuah warna yang paling
dominan dalam masyarakat modern. Maka postmodernisme menyadari bahwa seluruh
budaya modernisme yang bersumber pada ilmu pengetahuan dan teknologi pada titik
tertentu tidak mampu menjelaskan kriteria dan ukuran epistemologi bahwa yang
‘benar’ itu adalah yang real, dan yang real benar itu adalah ‘rasional’.
Meskipun postmodernisme sendiri juga berusaha menggiring manusia ke dalam
sebuah paradoks, yaitu di satu pihak telah membuka cakrawala dunia yang serba
plural yang kaya warna, kaya nuansa, kaya citra, tetapi di lain pihak, ia
menjelma menjadi sebuah dunia yang seakan–akan tanpa terkendali (Pilliang, 2004
: 358).
Persoalannya, bangunan epistemologi yang demikian,
apakah mempunyai pengaruh signifikan dalam bidang pendidikan ? Kalaulah ia
terintegrasi dalam filsafat sebagaimana dilontarkan oleh Lyotard, apakah sistem
filsafat pendidikan dalam banyak hal juga mulai bersinggungan dengan gejala
postmodernisme ? Lalu, bagaimana bentuk keterpengaruhan (kalau memang ada)
dalam sistem pendidikan, baik persoalan kurikulum maupun praktek pengajarannya
? Sebab sejak beberapa dekade tema postmodernisme lebih banyak dikontekskan
pada seni, arsitektur, kebudayaan, dan juga filsafat.
Untuk melihat pengaruh pendidikan (utamanya dalam
persekolahan) oleh pendekatan postmodernisme memang sulit untuk dilacak. Hal
ini dikarenakan sangat jarang diskursus postmodernisme dikaitkan dengan
masalah pendidikan. Akan tetapi, kalau diperhatikan secara kritis dan mendasar,
berbagai bentuk kritik epistemologi yang ditampilkan oleh gerakan
postmodernisme yang mengusung tema; dekonstruksi, pluralitas, anti
kemapanan, deferensiasi, dan lain-lain, tampaknya secara implisit ditemukan
dari problem pendidikan di Indonesia, maka untuk itu yang penting bagaimana
menempatkan paradigma baru pendidikan Indonesia dari keterpengaruhan
postmodernisme.
Melacak Pengaruh Postmodernisme Dalam Pendidikan
Berdasarkan ciri menonjol postmodernisme, maka dapat
dilacak dimana letak keterpengaruhan gerakan ini terhadap paradigma pendidikan.
Pendidikan pada saat sekarang tidak lagi dipahami sebagai peneguhan proses
transformasi pengetahuan (knowledge) yang hanya dikuasai oleh sekolah
(pendidikan formal). Guru dengan demikian tidak lagi dipandang sebagai ‘dewa’
dengan segala kemampuannya untuk melakukan proses pencerdasan masyarakat.
Gudang ilmu mengalami pergeseran, tidak lagi terpusat pada guru. Ruang
pendidikan tidak lagi harus berada pada ruang-ruang sempit, yang bernama
sekolah, melainkan juga harus dimainkan oleh masyarakat, entah itu melalui
pendidikan alternatif maupun melalui pendidikan luar sekolah. Ivan Illich (2003
: 33-34) mengatakan bahwa proses pendidikan akan memperoleh keuntungan dari
upaya membebaskan masyarakat yang cendrung mendewakan sekolah, dengan demikian
kegiatan sekolah tidak lebih hanya sebagai pengkhianatan terhadap upaya
pencerahan budi.
Postmodernisme yang mengusung tema pluralitas,
heterogenitas serta deferensiasi adalah bukti betapa pendidikan harus
disebarkan melalui kerja-kerja yang tidak harus dibebankan pada sekolah.
Apalagi, realitas membuktikan betapa sekolah justru seringkali memainkan peran
dogmatis dan dominannya dalam melakukan transfer of value (transformasi
nilai) serta transfer of knowledge (transformasi pengetahuan). Peran
guru, bahkan juga institusi sekolah seringkali menampilkan diri dalam
batas-batasnya sebagai pembelenggu kreativitas anak didik, anak didik disekolah
sering diperlakukan oleh guru tak ubah sebagai bejana kosong yang siap diisi
tanpa boleh dibantah, pendidikan seperti ini yang dikritik oleh Freire sebagai
model pendidikan “gaya bank” (banking system) (Freire, 2002 : 28).
Sementara pola Sistem Kredit Semester (SKS) bahkan juga ujian akhir nasional
(UAN) sebagai ukuran terakhir kemampuan anak didik adalah representasi bagi
‘penindasan’ yang dilakukan institusi-institusi tersebut terhadap pengembangan
kreativitas anak didik. Beban pelajaran yang sedemikian berat,
meminimilisasikan kemampuan anak didik untuk ‘melakukan’ eksperimentasi’
berdasarkan kemampuannya secara profesional, karena disibukkan dengan
beban-beban yang cukup membelenggu.
Selama ini, pendidikan seolah hanya diarahkan pada
pembentukan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, sehingga beban berat
pengajaran seringkali diarahkan pada penguasaan pada bidang-bidang tersebut.
Padahal dalam perspektif postmodernisme, justru masyarakat modern mengalami degradasi,
krisis moral, krisis sosial dan sebagainya, yang dimulai dari dominasi iptek
dengan penerapan rasio manusia sebagai ukuran kebenarannya telah mendatangkan
persoalan yang cukup berat menimpa masyarakat modern.
Rasio manusia an sich tidak lagi diharapkan
dapat memberikan jawaban atas berbagai problem yang muncul dalam masyarakat
modern, sehingga proses pendidikan hanya diarahkan pada kepentingan rasio atau
nalar rasionalitas justru akan mendatangkan bencana kemanusiaan. Padahal sejak
awal diyakini bahwa pendidikan diselenggarakan sebagai alat untuk memanusiakan
manusia (Drost, 1998 : 74). Pengangkatan harkat dan martabat kemanusian tidak
hanya dapat dimainkan oleh nalar rasio semata, tetapi harus integratif antara
nalar rasional dan nalar spiritual.
Dalam konteks ini tidak berlebihan bila dalam konsep
pendidikan nasional pengembangan kemampuan anak didik juga diarahkan pada tiga
kemampuan dasar yaitu kognitif, afektif serta psikomotorik (Suparno, 1996: 43).
Ketidakmampuan mengembangkan ketiga ranah tersebut akan melahirkan out put
pendidikan yang timpang. Itulah sebabnya, proses pendidikan harus dijalankan
untuk memainkan ketiga ranah tersebut agar tetap berjalan. Kritik postmodernisme
atas situasi masyarakat modern sebenarnya juga merupakan kritik atas proses
pendidikan yang hanya mengedepankan satu aspek dari keseluruhan nilai yang
dimiliki manusia.
Dalam kondisi yang demikian postmodernisme tampil
memberikan berbagai alternatif bagi proses pendidikan yang harus dijalankan.
Kritik mendasar postmodernisme terhadap modernisme telah memunculkan berbagai
tema-tema penting seperti paralogy atau pluralisme (Santoso, 2003
: 331), deferensiasi atau desentralisasi, dekontsruksi atau
kritik dasar atas sebuah tatanan, relativisme, dan sebagainya. Tema-tema inilah
yang sesungguhnya memberikan peluang baru bagi munculnya model (paradigma)
pendidikan yang perlu diselenggarakan oleh negara ataupun masyarakat Indonesia.
Dari Grand Narative Ke Local Narative
Bangsa Indonesia saat ini tengah disibukkan dengan
geliat reformasi di segala bidang, termasuk bidang pendidikan. Salah satu upaya
yang hendak dilakukan adalah mereformasi sistem pendidikan nasional yang selama
ini terkesan sentralistik menuju prinsip-prinsip desentralisasi, otonomi dan
keadilan. Reformasi sistem pendidikan nasional bertujuan untuk meningkatkan
mutu, efisiensi, dan efektivitas pengelolaan pendidikan. Prinsip ini juga untuk
meningkatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam penyelenggaraan
pendidikan.
Ikhtiar reformasi sistem pendidikan nasional tersebut
diawali dengan dibentuknya Komite Reformasi Pendidikan (KRP) yang bertugas
untuk menyempurnakan Undang-Undang No 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan
Nasional. Selain mempersiapkan RUU Sistem Pendidikan Nasional, KRP juga akan
menyiapkan aturan pelaksanaannya. Mengapa harus menyempurnakan UU Sisdiknas ?
Setidaknya ada tiga argumentasi mengapa UU No 2/1989
tentang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) sangat urgen direvisi untuk mengelolan
pendidikan secara demokratis. Pertama, dengan mengesampingkan bahwa
UUSPN adalah produk pemerintahan Orde Baru, dalam 10 tahun usianya sejak
disahkan 27 Maret 1989, muatan UU tersebut dianggap sudah kadaluwarsa.
Maksudnya, perkembangan terakhir menunjukkan banyak sekali substansi muatan UU
tersebut yang dirasa berbagai kalangan tidak lagi akomodatif bagi kepentingan
perkembangan dan kemajuan dunia pendidikan nasional. Semangat sentralistik yang
dianut UU tersebut dalam mengelola pendidikan nasional, selain menjadikan
praktik pendidikan nasional sebagai sub-ordinat kekuasaan, juga dirasakan tidak
mampu lagi menjawab tantangan kekinian dan kemasadepanan.
Kedua, mau tidak mau, kelahiran UU No. 22/2999 tentang
Pemerintah Daerah (UUPD) dalam beberapa hal mesti berbenturan dengan muatan
UUSPN. Dimana UU tersebut mengisyaratkan adanya kewenangan penuh bagi daerah
untuk mengelola daerahnya secara mandiri. Terlebih-lebih diketahui, pemerintah
pusat tidak lagi memiliki kewenangan untuk mengelola pendidikan nasional karena
Pasal 11 ayat 2 UUPD menyatakan bahwa satu diantara 11 kewenangan bidang
pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh pemerintah daerah sebagai daerah
otonom adalah pendidikan dan kebudayaan.
Ketiga, dari berbagai kajian hasil Konferensi Asia Pasifik
mengenai pelaksanaan Education for All (EFA) yang berlangsung di
Bangkok, Thailand pada 17-20 Januari tampak jelas bahwa ada persoalan serius
dalam hal pembiayaan pendidikan nasional masing-masing negara, dimana kenaikan
nasional setiap negara untuk pendidikan (dasar) cenderung menurun lima
tahun terakhir. Bantuan internasional memang naik 3,8 milyar dollar pada 1985,
namun kemudian berhenti. Artinya, negara-negara donor gagal memenuhi
komitmennya memberi 0,7 % GNP-nya guna membantu negara-negara berkembang,
sehingga target alokasi 20 % untuk sektor pembangunan sosial terpenuhi.
Sementara anggaran untuk pendidikan di Indonesia, pada tahun 1998/1999 berkisar
8 % dan telah menurun menjadi 6 % pada tahun 1999/2000 (Wahono, 2001 :
109). Anggaran pendidikan yang kecil tersebut sampai sekarang belum mencapai 20
% meskipun sudah memasuki tahun 2009.
Pendidikan diberbagai belahan dunia selalu dipakai
sebagai modal dasar pengembangan dan pemilihan kebijakan pembangunan. Hampir di
semua negara selalu menggunakan pendidikan sebagai proses pencapaian
pembentukan kualitas sumberdaya manusia, baik sebagai subjek sekaligus objek
pembangunan. Negara yang mempunyai konsep dan proses pendidikan yang baik dan
modern biasanya menghasilkan output pendidikan yang mempunyai kemampuan
melaksanakan segenap agenda pembangunan. Melalui pendidikan, proses pemenuhan
kualitas sumberdaya manusia (SDM) dan penggalian potensi nasional maupun lokal
sebagai pendukung utama keberlangsungan pembangunan dapat terpenuhi. Itulah
sebabnya di banyak negara maju, selalu menggunakan pendidikan sebagai proses
mengejar ketertinggalan di berbagai bidang. Dalam hal ini bisa dilihat negara
Jepang, dan Jerman, yang memiliki SDM berkualitas dapat membangun negara mereka
dengan cepat meskipun dalam perang dunia (PD) II, kedua negara tersebut
mengalami kekalahan dan hampir seluruh infrastrukturnya hancur (Nugroho, 2003 :
115-116)
Memahami apsek pendidikan sebagai bagian yang tidak
terpusatkan dalam proses berlangsungnya pembangunan nasional maupun lokal,
selayaknya untuk selalu dikedepankan. Selama ini terkesan bahwa pendidikan
nasional kita selalu menjadi agenda yang dinomor sekiankan setelah agenda
pembangunan bidang ekonomi dan politik. Padahal kedua bidang tersebut tidak
pernah bisa berjalan tanpa keberhasilan di sektor pendidikan. Apalagi dalam
terminologi memasuki otonomi daerah (otda) yang telah dilaksanakan pada bulan
Januari 2001, maka sektor pendidikan sebagai sarana awal pemecahan
persoalan-persoalan lokal, seperti pemenuhan kebutuhan SDM, penentuan kurikulum
yang selaras dengan kebutuhan lokal dan sebagainya, harus menjadi agenda
pembangunan yang tidak bisa ditunda-tunda.
Selama ini yang terjadi adalah betapa proses
pendidikan selalu tidak sejalan dengan agenda pembangunan lokal. Artinya,
proses pendidikan, dalam artian pendidikan formal (sekolah) sesunguhnya
diterapkan dalam rangka untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan akan sumberdaya
manusia yang (minimal) sanggup menyelesaikan persoalan lokal yang
melingkupinya. Dalam artian, setiap proses pendidikan di dalamnya seharusnya
mengandung berbagai bentuk pelajaran dengan muatan lokal yang signifikan dengan
kebutuhan masyarakat. Sehingga output pendidikan adalah manusia yang
sanggup untuk memetakan sekaligus memecahkan masalah yang sedang dihadapi oleh
masyarakat. Bagaimana mungkin dapat diperoleh keluaran pendidikan yang mengerti
kebutuhan daerah (lokal) manakala proses belajarnya tidak pernah bersentuhan
dengan kebutuhan-kebutuhan yang memang mengakar dalam masyarakat.
Berbagai ilustrasi dimunculkan, betapa proses
pendidikan yang dijalankan seringkali tercerabut dari akar persoalan riil, tapi
ilustrasi tersebut hanya menjadi bahan pembicaraan yang tidak bergaung.
Misalnya; fakta bahwa mayoritas masyarakat Indonesia ada di pedesaan yang notabene
adalah masyarakat agraris, tetapi dalam praktek pendidikannya hampir tidak
berorientasi pada problem masyarakat, khususnya masyarakat desa. Praktek
pendidikan yang demikian disinyalir membuat orang sekolahan menjadi asing dan
tidak mengenal persoalan yang sedang terjadi di sekitarnya. Bahkan tidak
jarang, justru banyak produk-produk pendidikan tersebut seringkali malah
melecehkan kehidupan dan pekerjaan masyarakat sekitar misalnya sebagai petani.
Hal ini karena anak didik lebih banyak di ‘intervensi’ oleh praktek pendidikan
model perkotaan dengan tipikal masyarakat industrialnya sehingga muncul ketidak
percayaan diri anak didik atas profesi sebagai petani dan memilih gaya hidup
sebagai priyayi dengan fenomena rebuatan keluaran pendidikan untuk menjadi
pegawai negeri sipil atau minimal bekerja di perkantoran.
Selain itu ada sebuah ilustrasi menarik untuk mencoba
menggambarkan seringnya praktek pendidikan yang tidak berkorelasi dengan
kebutuhan mendasar. Di beberapa daerah pedalaman dan masyarakat terisolir, yang
merupakan daerah pedesaan dan perkampungan hutan serta masyarakat nelayan;
ditemui suatu kenyataan betapa anak-anak yang seharusnya berada pada jam
sekolah tetapi justru melakukan kegiatan atau aktivitas kerja, semisal bertani,
mencari rumput, menggembala, berladang di hutan serta mencari ikan dan
sebagainya.
Secara spontan kita akan menuduh bahwa budaya
masyarakat di tempat tersebut kurang mendukung pembangunan pendidikan dengan
adanya kebiasaan orang tua untuk mengajak anak-anak mereka masuk hutan, bertani
atau berlayar mencari ikan. Pernyataan tersebut nampaknya mau menunjuk bahwa
kebiasaan orang tua mengajak mereka untuk masuk ke hutan berladang dan
menangkap ikan adalah anti tesis tersendiri dari dunia pendidikan yang
seharusnya diikuti oleh anak-anak. Anti tesis dunia pendidikan bisa
diperluas cakupannya menyangkut kebiasaan orang tua nelayan yang mengajak
anaknya melaut, kebiasaan orang tua perkotaan yang mengharuskan anaknya bekerja
di sektor informal.
Ketika anak-anak lain sedang menekuni pelajaran di
bangku sekolah dengan paket kurikulum yang telah digariskan, anak-anak
pedalaman, (anak nelayan dan juga anak-anak petani) justru mengikuti orang
tuanya berladang menembus hutan belajar tentang dunia hutan sekitar mereka.
Mereka belajar tentang kesuburan tanah, bibit tanaman, tanda-tanda alam,
pergantian musim, berpindah lahan demi pemulihan kesuburan dan daur alam. Atau
anak-anak nelayan yang seperahu dengan bapaknya tentang angin, ombak, kehidupan
laut dan sebagainya. Kita jangan bertanya; mengapa mereka tidak bersekolah ?
Ini soal biaya atau kesempatan ? Karena sesungguhnya mereka belajar tentang
keseharian dengan lingkungan yang terdekat; persoalan riil yang mesti
dihadapinya, bukan persoalan global yang seringkali jauh dari pikirannya.
Ilustrasi di atas sekedar memberikan sebuah gambaran
bahwa banyak sekali praktek pendidikan yang diterapkan justru mencerabut anak
didik dari akar budayanya, mencerabut juga dari persoalan-persoalan yang
semestinya ia pelajari untuk kemudian bersama dicarikan titik solusinya
melalui proses yang bernama pendidikan.
Kegagalan membentuk hasil pendidikan yang sesuai
dengan kebutuhan lokal sesungguhnya seringkali menghambat keberhasilan agenda
pembangunan daerah yang sudah dicanangkan. Hal ini karena, sekali lagi proses
pendidikan yang tidak bersentuhan langsung dengan persoalan kehidupan yang
dihadapi oleh anak didik dan masyarakat sekitar.
Berdasarkan ilustrasi ini sebenarnya yang menjadi
landasan pijak bagi dunia pendidikan untuk kembali merenungkan beberapa aspek
yang berkaitan dengan proses belajar-mengajar. Apalagi dalam konteks saat ini
telah diberlakukan paket otonomi pada masing-masing daerah, tentang pelimpahan
wewenang dari pusat ke daerah yang tentu saja di dalamnya ada bidang
pendidikan, maka praktek pendidikan harus dibuat sedemikian rupa agar
berkorelasi dengan kebutuhan mendasar masyarakat, yang pada akhirnya pola
kebijakan pendidikan selaras dengan pemenuhan keberhasilan program otonomi
daerah. Itulah sebabnya, maka wacana mengenai desentralisasi pendidikan menjadi
mengedepan seiring dengan pelimpahan kewenangan pusat ke daerah. Dalam konteks
ini pola pengambilan keputusan mengenai proses pendidikan yang berintikan pada
kepentingan lokal, tanpa mengesampingkan kepentingan lain yang melingkupinya
yaitu kepentingan nasional.
Mendesaknya agenda pengembangan pendidikan dalam
rangka pembangunan, baik nasional maupun daerah sebenarnya terkait dengan dua
(2) dokumen penting yang keluar beberapa waktu yang lalu yang diperkirakan
berdampak langsung pada sistem pendidikan nasional yang layak mendapat
perhatian serius. Dokumen pertama adalah rekomendasi jangka panjang Bank Dunia
terhadap pendidikan Indonesia dalam menghadapi krisis ekonomi dan moneter
sebagaimana tercantum dalam Laporan Nomor 18651-IND Bank Dunia bertajuk Education
ini Indonesia: From Crisis to Recovery (9 Desember 1998) yang berisis
tentang kegagalan pendidikan di Indonesai yang dianggap masih belum memuaskan,
sehingga salah satu rekomendasinya adalah mendesaknya diberlakukan desentralisasi
pendidikan.
Dokumen kedua adalah keluarnya Undang-Undang No.
22/1999 tentang Otonomi Daerah, dimana kabupaten dan kotamadya menjadi basis
pengelolaan pemerintah daerah otonom. Pemberlakukaan UU No 22 Tahun 1999
tentang Otonomi Daerah secara politis-sosiologis bermakna strategis dalam
jangka panjang. Secara politis, UU ini akan mereduksi peranan pemerintah pusat
dalam penyelenggaraan administrasi pemerintahan yang selama tiga (3) dasawarsa
telah mengalami proses sentralisasi. UU ini merupakan landasan hukum bagi
diberlakukannya proses desentralisasi kekuasaan dengan memberikan otonomi penuh
kepada daerah. Secara sosiologis, UU ini merupakan langkah nyata pemberdayaan
daerah (Amich Alhumami, Kompas, 11/9/2000).
Berkaitan dengan sistem penyenggaraan pendidikan, maka
revisi UUSPN tentang perlunya asas desentralisasi dan otonomi pendidikan
merupakan babak baru menguatnya iklim demokratisasi dalam pendidikan nasional.
Desentralisasi pendidikan mengandaikan dimulainya pemberian peran lebih besar
kepada pemerintah daerah tingkat kabupaten kota atau kotamadya sebagai basis
pengelolaan pendidikan. Desentralisasi ini berkaitan oleh sebuah keinginan
mendasar bahwa kebutuhan lokal atau juga nilai-nilai sosial kultural setiap
daerah berbeda sehingga memungkinkan diberlakukannya suatu sistem pendidikan
yang mengakomodir kebudayaan lokal tersebut (Suparno, 2001 : 71).
Desentralisasi pendidikan mengisyarakatkan suatu sistem
pendidikan yang bersifat indegneous (pribumisasi) karena didasarkan pada
aspek-aspek dasar dari lokalitas masyarakat. Hal ini agar masyarakat atau
peserta didik tidak tercerabut dari akar kebudayaannya. Dengan demikian ada
relasi mutualistik antara penyelenggaraan pendidikan dengan situasi lokal yang
membutuhkan penjelasan dan pengenalan secara lebih komprehensif.
Sistem ini jelas memberikan peluang terjadinya
demokratisasi pendidikan, karena ia tidak lagi terpusat dalam soal penyusunan
kurikulum bahkan soal pengangkatan guru. Desentralisasi pendidikan merupakan
langkah strategis untuk menguatkan daerah dan memberikan kebebasan dalam
menyusun sebuah kurikulum yang belakangan sedang ramai dibicarakan.
Peralihan kewenangan dari pusat ke daerah ini bertujuan
agar setiap daerah mampu memberikan kontribusi positif bagi pengembangan
pendidikan nasional yang disesuaikan dengan kebutuhan-kebutuhan daerah untuk
mampu dihadapkan pada wacana global (Jalal, 2003 : 99). Misalnya, daerah Sabang
yang dikelilingi oleh laut, hendaknya juga diberikan penekanan pada sistem
pembelajaran mengenai kelautan dan perikanan, sehingga sumberdaya alam dapat
dioptimalisasikan dan sumberdaya manusia dapat diarahkan pada kerja-kerja
tersebut.
Dari uraian tentang desentralisasi pendidikan tersebut
tampak jelas betapa tema tentang local narative merupakan pilihan
penting untuk menggantikan grand narative yang selama ini mendominasi
sistem pendidikan nasional. Awalnya negara memainkan peranan besar untuk
menghegemoni sistem penyelenggaraan pendidikan di setiap sekolah. Negara
mencoba menerapkan pendidikan yang sifatnya homogen. Situasi ini jelas menjadi
tema dan sasaran kritik utama postmodernisme, yang sejak semula tidak sepakat
dengan apa yang disebut sebagai homogen, sebab masyarakat adalah heteregon,
baik karakter maupun kebutuhannya. Sehingga menjadi tidak populer kalau negara
masih memaksakan kehendaknya untuk mempengaruhi dan menjadi pendidikan
persekolahan menjadi seragam atau homogen.
Peralihan wacana dari grand narative ke local
narative tersebut ditandai dari pergeseran peran yang semula sentralistik
menuju desentralistik. Jika dulu negara yang sangat berperan dalam menentukan
berbagai kebijakan menyangkut pendidikan persekolahan, maka dengan
diterapkannya sistem disentralisasi, pihak sekolah dan masyarakatlah yang harus
berperan aktif secara profesional mengembangkan sistem pendidikan
persekolahannya.
Penutup
Terminologi postmodernisme terlalu sulit untuk
dikontekskan pada bidang pendidikan secara ekplisit. Tetapi kalau memperhatikan
tema-tema besar yang diusung oleh postmodernisme, maka secara implisit
paradigma pendidikan yang ada di Indonesia dalam banyak hal sudah menggunakan
akar-akar pemikiran postmodernisme.
Namun, yang pasti diperjuangkan oleh kaum
postmodernisme adalah pembelaannya terhadap suatu komunitas dan narasi
kehidupan yang tersingkir, yang telah tergilas oleh narasi besar (grand
narative) modernisme dengan berbagai dimensi yang dominatif dan
imperalistik. Arus pemikiran postmodernisme bagaikan sebuah protes terhadap
berbagai pemikiran yang absolutistik dan cendrung untuk
menggembor-menggemborkan fenomena modernisme, seperti emosi, perasaan, intuisi,
refleksi, spekulasi, pengalaman personal, tradisi, dst (Rosenou, 1992 : 6), dan
sebagai substitusinya tak lain adalah pendekatan yang bersifat relativistik dan
pluralistik dengan sikap kerendahan hati untuk mendengarkan dan mengapresiasi
‘yang lain’. Absolutistik tersebut biasanya hadir dalam bentuk dominasi
penguasaan ilmu oleh guru dan sekolah kepada anak didik, dan itu menjadi
sasaran kritik dari gerakan postmodernisme.
Selain itu, sebagai semangat zaman, postmodern dapat
juga diartikan sebagai keterbukaan untuk melihat hal-hal baru, yang berbeda,
‘yang lain’ sambil menolak kecenderungan dogmatis dan ketaatan pada suatu otoritas,
tatanan, atau kaidah baru. Era postmodernisme memiliki karakteristik betapa
kebenaran memang terlalu besar untuk bisa dimonopoli satu sistem saja dan bahwa
keragaman pandangan itu lebih ‘indah’ daripada keseragaman yang meskipun
menghasilkan kesatuan, namun membelenggu kebebasan manusia bahkan
mengeksploitasinya. Bahasa-bahasa yang kerap dimunculkan dalam postmodernisme
kemudian bernada ‘sinis’ atas kemapanan pengetahuan, kemapanan kebudayaan
bahkan apalagi kemapanan kekuasaan. Entah model ‘dekonstruksi’, ‘instabilitas’,
fragmentasi, anarkisme, menjadi ciri khas postmodernisme. Model-model seperti
ini memang acapkali ‘membahayakan’ bagi kepentingan status quo, di
bidang apapun, sehingga menjadi wajar bila banyak yang tidak menyukainya.
Persoalannya, bukanlah suka atau tidak suka, melainkan itulah ‘wajah’
postmodern. ‘Wajah’ itu telah terpampang secara lugas di hadapan kita semua;
ironisnya justru sebagai komunitas yang sebenarnya baru merangkak menjadi
modern.
Diskursus postmodernisme pada akhirnya hanya bisa
dilihat dalam tiga (3) kategori besar; di luar kepentingan pilihan tematiknya. Pertama,
pemikiran-pemikiran yang dalam rangka merevisi kemodernan tetapi cenderung
kembali pada pola berpikir pra-modern. Misalnya, ajaran yang biasa menyebut
dirinya metafisika new age, seperti Capra, Prigonine. Kedua,
pemikiran-pemikiran yang terkait erat dengan dunia sastra dan banyak berurusan
dengan persoalan linguistik. Kata kunci yang populer digunakan adalah ‘dekonstruksi’;
yang berusaha membongkar segala unsur yang penting dalam gambaran dunia modern.
Sebut saja tokoh seperti Derrida, Foucault, Vattimo, Loytard, dan ketiga,
segala pemikiran yang hendak merevisi modernisme, tidak dengan menolak
modernisme itu secara total, melainkan dengan meperbarui premis-premis modern.
Artinya, lebih merupakan kritik imanen terhadap modernisme dalam rangka
mengatasi berbagai konsekuensi negatif yang ditimbulkannya.
Realitas yang demikian tampak nyata dalam dekonstruksi
atas model pendidikan kontemporer yang selama ini digunakan untuk memajukan
masyarakat. Kritik-kritik yang digulirkan oleh postmodernisme juga merambah
pada dunia pendidikan, yang berakibat semakin dipertanyakannya keampuhan
institusi pendidikan (sekolah) dalam memberikan transformation of value dan
transformation of knowledge.
Kenyataan tersebut dapat dilihat dari keinginan untuk
melakukan berbagai bentuk revisi atas sistem pendidikan yang selama dijalankan.
Misalnya melalui revisi UUSPN. Melalui revisi UUSPN no 2/1989 diharapkan
pengembangan pendidikan nasional mengarah pada accepbilitas dan
partisipasi aktif masyarakat dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah.
Prinsip ini menunjukkan adanya progress ke arah yang lebih demokratis,
sebab ada peralihan penentuan kebijakan pendidikan di sekolah, dari soal
pendanaan sampai kurikulum, oleh pusat kepada daerah dan sekolah.
Peralihan kewenangan secara penuh ini mencitrakan
sebuah demokrasi pendidikan. Artinya, masyarakat dan sekolah berkepentingan dan
bertanggungjawab secara optimal atas kemajuan sebuah penyelenggaraan
pendidikan. Melalui desentralisasi pendidikan, maka komponen kurikulum dan
pengangkatan guru misalnya akan dapat disesuaikan dengan kebutuhan dan
kepentingan masyarakat, sesuai dengan kesiapan sumberdaya alam, dan sumberdaya
manusia. Prinsip ini jelas menuntut kesiapan SDM agar penentuan kurikulum
berbasiskan kompentensi dapat diwujudkan dan dihasilkan secara optimal.
Desentralisasi pendidikan dengan demikian juga
mengharuskan didirikannya manajemen berbasiskan sekolah yang beraggota seluruh
elemen masyarakat yang berkepentingan dengan sekolah untuk bersama-sama
memikirkan tentang model pembelajaran dan kurikulum yang hendak diberikan oleh
sekolah. Sehingga diperoleh model pendidikan yang khas, yang berakar atas
kenyataan riil masyarakat, dalam konteks inilah demokrasi pendidikan Indonesia
dapat diwujudkan.
DAFTAR PUSTAKA
Drost. J. (1998). Sekolah mengajar atau mendidik.
Yogyakarta: Kanisius.
Freire, Paulo. (2002). politik pendidikan:
kebudayaan, kekuasaan dan pembebasan, Agung Prihantoro dan Fuad Arif
Fudiyartanto. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Hardiman, Budi. F. (2003). Melampaui positivisme
dan modernitas: Diskursus filosofis tentang metode ilmiah dan problem
modernitas. Yogyakarta: Kanisius.
Illich, Ivan. (2003). Bebaskan masyarakat dari
belenggu sekolah. Terjemahan, Sonny Keraf. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Lyotard, Jean Francois. (1984). The postmodern
condition: A report on knowledge, Minneapolis: University of Minnesota
Press.
Santoso, Listiyono, 2003, “Postmodernisme: Kritik Atas
Epistemologi Modern, dalam, Epistemologi Kiri, Ar-Ruzz, Yogyakarta
Mangunwijaya, Y.B. (1999). Saya ingin membayar
utang kepada rakyat. Yogyakarta: Kanisius.
Mulyasa, E. (2003). Kurikulum berbasis kompetensi
konsep, karakteristik, dan implementasi. Bandung: Rosdakarya.
Norris, Christopher (2003). Membongkar teori
dekonstruksi Jaques Derrida, Terjemahan. Inyiak Ridwan Muzir. Yogyakarta:
Ar-Ruzz.
Nugroho, Heru. (2003). Menumbuhkan ide-ide kritis. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar
Pilliang, Amir Yasraf. (2004). Posrealitas:
Realitas kebudayaan dalam era posmetafisika. Yogyakarta: Jalasutra
Ritzer, George. (2003). Teori sosial postmodern.
Terjemahan, Muhammad Taufik Yogyakarta: Juxtapose.
Roesnou, Pauline Marie. (1992). Post-modernism and
the social science: Insights inroads, and intrusions. Priceton: Rinceton
University Press
Sugiharto, Bambang I. (1996). Postmodernisme
tantangan bagi filsafat. Yogyakarta: Kanisius.
Suparno, Paul. (2001). “Relevansi dan reorintasi
pendidikan di Indonesia”, dalam, Basis, No. 01-02 Tahun ke 50,
Januari-Februari
Supriyadi, Dedi, dan Faslil Jalal. (2001).
Reformasi dalam pendidikan konteks otonomi daerah. Yogyakarta: Adicita
Karya Nusa.
Wahono, Francis. (2001). Kapitalisme pendidikan
antara kompetensi dan keadilan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
yang anda maksud ini pendidikan kritis apa posmo? saya rasa cukup rancu.
BalasHapuskeren tulisan nya
BalasHapus