TEOLOGI PEMBEBASAN
Bayang-bayang teologi pembebasan indo-marxist
Sekedar opini, bahwa hal yang paling mendasar dari
buah pikiran Marx adalah dialektika yang diambil dari filsafat Hegel. Dan
dialektika itu tidak memberikan tempat kepada apapun dan siapapun untuk
berpikir dogmatis atau menganggap suatu nilai sebagai kebenaran absolut selama sejarah
manusia masih berjalan.
Teologi pembebasan sebuah kreatifitas kegiatan “penyadaran”..disepakati
ditulis oleh Paulo Freire...sekalipun sebelumnya telah ada yang melakukan
eksperimen sebagai sebuah alternatif atas konsep kesadaran kelas dari Marxis. Dikarenakan,
dibanyak dunia ketiga "kesadaran kelas" tidak muncul dikalangan kelas
bawah ataupun yang tertindas...( hal ini kitapun merasakan di Indonesia )...walau
banyak variabel penyebabnya, tetapi salah satunya adalah "budaya
bisu"—budaya diam...serta bentuk penetrasi budaya kapitalistik yang
membius serta adanya tekanan militer di beberapa negara berkembang
"mematikan" kesadaran kelas tsb... Seperti munculnya, konsep
hockheimer, adorono dll tentang " pemikiran kritis, kritik terhadap
pemikiran kritis" di eropa/jerman..konsep teologi pembebasan juga terobosan
penyadaran akan kelas, bukan itu saja tetapi sadar akan kekuatan diri,
kelompok, kesadaran akan sistem, kesadaran kekuatan struktural ..hampir menyeluruh
kesadaran ini membangkitkan sebuah perubahan sikap, pandangan hingga pada
bentuk perlawanan sikap penyadaran juga mempunyai "model/metode" yang
agak berbeda dengan "penyadaran" yang selama ini dilakukan oleh
kelompok yang mengaku pejuang kelas seperti komunis, atau partai komunis dimana
kelas tertindas hanya diberikan sebuah kumpulan agitasi, propaganda yang
'abku" dan kadang dianggap "barang sakti"...kritik terhadap juga
gerakan kiri yang dilakukan teologi penyadaran mengakibatkan memang ada dua
aliran besar bentuk dan model “penyadaran” kelas...mengenai hasilnya, belum ada
keduanya yang berhasil secara meluas dan maksimal..karena teologi penyadaran
pada akirnya hanya terbatas pada komunitas komunitas kecil saja...dan menjadi
sulit merebut sebuah kekuatan politik ditingkat elite (sekalipun, model politik
borjuis) Modifikasi diantara keduanya, akan menarik...perlu dicatat, konsep
penyadaran sebenarnya juga disingung cukup dalam oleh Marx..sayangnya
penafsiran atas “gerakan” marx terbatas diangkat sebagai sebuah "kebenaran
absolut" dan tidak diterapkan dalam konteks yang lebih beragam dan
humanis..
Amerika Latin
tempoe doeloe. Camilo Torres, seorang pastor, sosiolog, dan gerilyawan, dibunuh
pasukan Kolombia di pegunungan berhutan di Bucaramanga pada 15 Februari 1966. Di Desa
Ribeiro Bonito, Brasilia Selatan, pada 11 Oktober 1976. Pastor Desa Pater John
Bosco Burnier SJ (Serikat Jesus) ditembak mati oleh seorang kopral karena
mencoba menyelamatkan dua wanita yang dianiaya sang kopral dan kawan-kawannya.
Pater Rutilio Grande SJ dibantai The White Warrior Union-pasukan penjagal manusia
dan pelindung tuan tanah di sebuah desa di San Salvador , 12 Maret 1977. Kisah di atas
dikutip dari buku Teologi Pembebasan susunan Fr. Wahono Nitiprawiro. Masih
banyak lagi para pengabar Injil di benua yang 90% penduduknya menganut Katolik
itu menghadapi risiko kematian, karena berpihak atau bahkan bergabung dengan
rakyat Amerika Latin yang bergolak untuk membebaskan diri dari kemiskinan, penindasan,
dan keterbelakangan. Mereka, para pengabar Injil yang tewas itu, adalah para penganut
Teologi Pembebasan, sebuah paham baru tentang peranan gereja dalam lingkungan
sosial. Paham ini mulai mengagetkan kalangan gereja dan intelektual di Eropa
dan Amerika setelah Gustavo Gutierrez pastor dari Peru menerbitkan buku Teologia de
la Liberacion pada 1971. Paham ini menjadi kontroversial karena memiliki metode
pendekatan yang tak biasa dilakukan kalangan gereja ketika itu, yakni
pendekatan marxis yang radikal. Secara ringkas, apa yang dimaksud dengan paham
itu sebenarnya adalah suatu usaha kontekstualisasi ajaran-ajaran dan nilai
keagamaan pada masalah kongkret di
sekitarnya. Dalam kasus kelahiran Teologi Pembebasan, masalah kongkret yang
dihadapi adalah situasi ekonomi dan politik yang dinilai menyengsarakan rakyat.
Sejak depresi dunia pada 1930-an, perekonomian negara-negara di Amerika Latin
begitu bergantung pada ekspor barang mentah ke Eropa dan Inggris. Sebaliknya,
mereka mengimpor komoditas pabrik. Sesudah Perang Dunia II, harga barang-barang
mentah jatuh di pasaran dunia Akibatnya perekonomian negara-negara itu kacau.
Mereka juga tak mampu mengimpor barang-barang pabrik. Untuk memenuhi kebutuhan
barang pabrik di dalam negeri, negara-negara itu mencanangkan modernisasi
dengan memacu industrialisasi atas bantuan negara maju. Mereka menerapkan
sistem kapitalisme sebagai model modernisasi. Namun karena mementingkan
pertumbuhan ekonomi, industrialisasi telah menciptakan kesenjangan sosial yang
begitu tajam. Kaum proletar -kelas buruh-- tumbuh dengan cepat. Inflasi
melambung, biaya hidup membubung. Ketidakpuasan meluas. Situasi politik menjadi
tegang dan labil. Kudeta terjadi di mana-mana dan membuahkan pemerintahan
diktator. Pada 1945, misalnya, kelompok militer di
Peron menjadi penguasa tunggal Argentina ,
setelah mengudeta penguasa sebelumnya. Tahun 1948, Manuel Odria menjadi
diktator di Peru .
Dan penindasan terhadap rakyat terjadi hampir di seluruh belahan Amerika Latin.
Kondisi tersebut mengundang gerakan di berbagai
bidang. Dalam literature sosiologi dan ekonomi politik, penerapan sistem
kapitalisme dalam pembangunan di Amerika Latin telah melahirkan pemikir-pemikir
baru di bidang sosiologi dan ekonomi politik. Misalnya Andre Gunder Frank--orang
Amerika Serikat yang pernah tinggal di Amerika Latin-dan Fernando H. Cardoso.
Dengan menggunakan pendekatan neomarxis, mereka melahirkan teori dependensi
(ketergantungan) dalam memandang nasib negara-negara di Dunia Ketiga. Selama
ini, kata mereka, modernisasi di negara-negara Amerika Latin dan negara Dunia
Ketiga lainnya justru melahirkan para penguasa mapan, pemilik modal besar, tuan
tanah, dan kaum elite yang mengeksploitasi rakyat. Bantuan negara maju dalam
proses modernisasi --yang justru membuat Dunia Ketiga begitu bergantung pada
negara maju-- juga memberi andil besar dalam memiskinkan rakyat Dunia Ketiga.
Mereka para penganut teori dependensi berpendapat, untuk mengakhiri kekuasaan
para elite yang mapan, juga dominasi negara maju, dibutuhkan revolusi sosialis.
Dalam kaitannya dengan pembangunan ekonomi, mereka beranggapan, diperlukan
penjungkirbalikan struktur ekonomi, politik, dan sosial dengan meminjam
pendekatan marxis. Di bidang keagamaan, terjadi pergeseran pandangan teologis
di kalangan Gereja Katolik di seantero Amerika Latin. Disebutkan dalam buku
Teologi Pembebasan, selama berabad-abad gereja di Amerika Latin menganut
pemahaman teologi Barat (Eropa) yang bersifat transendental dan rasional, yang
berkutat dalam upaya memahami Tuhan dan iman secara rasional. Para
uskup Amerika Latin menilai, cara berteologi Barat telah menimbulkan kemandekan
berpikir, bertindak, dan menjauhkan gereja dari masaah-masalah kongkret.
Gereja-gereja penganut teologi Barat, tuding mereka, hanya sibuk mengkhotbahkan
ajaran Yesus sejauh menyangkut hidup pribadi, mengimbau orang agar tetap
bertahan dan sabar menghadapi penderitaan, menghibur kaum miskin dan tertindas
dengan iming-iming surga setelah kematian.
Menurut mereka, gereja harus secara nyata melibatkan
diri dan berpihak pada rakyat yang tak berdaya. Agama dan teologi, lanjut
mereka, tak boleh meninabobokan umat beriman, melainkan harus memberikan
dorongan kepada rakyat untuk melakukan perubahan. Namun keterlibatan rakyat
hanya mungkin dibangkitkan bila mereka memiliki harapan untuk mengubah sistem
yang menindas mereka. Rakyat harus disadarkan bahwa penderitaan, kemiskinan,
dan keterbelakangan bukan nasib turunan, melainkan buah dari struktur
sosial-ekonomi-politik yang berlaku. Kesadaran baru, kata para uskup, hanya
dapat timbul bila rakyat bertambah pandai. Untuk itu gereja memelopori upaya pembebasan
tingkat intelektual dengan mendirikan Universitas Javeriana di Bogota, Kolombia
(1937), Universitas Katolik di Lima (1942), di Rio de Janeiro dan Sao Paulo
(1947), Porto Alegre (1950), Campinas dan Quito (1956), Buenos Aires dan
Cordoba (1960), dan lain-lain. Bersamaan dan berkaitan dengan pendirian
universitas Katolik, mulai muncul aksi-aksi Katolik di Kuba , Argentina ,
Uruguay ,
Kosta Rika , Peru , dan Bolivia .
Organisasi pemuda aksi Katolik tumbuh dengan cepat. Di Argentina, misalnya,
pada 1934, jumlah anggotanya baru 600 orang. Tapi tahun 1953, sudah mencapai
8000 orang. Di Brasil, pada 1953 baru 15.000. Tahun 1961 meningkat ke angka
120.000 orang. Organisasi buruh juga makin populer. Pada 1954, baru ada empat
negara yang mempunyai Serikat Buruh Nasional. Tapi pada 1960-an, hampir semua
negara Amerika Latin mempunyai Serikat Buruh Nasional, kecuali Kosta Rika , Guatemala ,
dan Kuba. Total ada 23 Serikat Buruh Nasional dengan anggota militan sekitar
satu juta orang.
Menurut buku Teologi Pembebasan, itu ada hubungannya
dengan upaya gereja untuk menciptakan kaum awam yang militan. Untuk
melembagakan kesadaran baru di bidang teologi itu, para uskup Amerika Latin
membentuk Consejo Episcopal Latino-Americano (Celam)-sidang para uskup Amerika
latin--Di Rio de Janeiro ,
Brasil, pada 1955. Peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak diterapkannya
"sistem kolegialitas antar uskup" dan ditinggalkannya sistem
patronato yang telah diterapkan sejak abad ke-13. Dalam sistem patronato,
gereja berada di bawah kekuasaan penguasa. Para
uskup cenderung berkompromi bahkan berpihak kepada para penguasa politik,
walaupun penguasa itu menyengsarakan rakyat. Sedangkan dalam sistem
kolegialitas, gereja tak lagi berada di bawah payung penguasa politik. Mereka
dapat bergerak bebas untuk menyentuh masalah ekonomi, politik, dan budaya. Hal
ini mengantar mereka untuk melancarkan gerakan pembebasan bagi rakyat
tertindas, walau dengan risiko dimusuhi penguasa. Gerakan pembebasan itu makin
gencar setelah Konsili Vatikan II sidang resmi para uskup sedunia-- pada 1962
memerintahkan agar Gereja Katolik memikirkan masalah-masalah aktual, umpamanya,
turut memajukan kebudayaan, ekonomi, dan ikut mewujudkan perdamaian dunia. Apa
yang dicanangkan Konsili Vatikan II tersebut menjadi salah satu alasan para
uskup Amerika Latin untuk menggelar Sidang Celam II di Medellin, Kolombia, pada
1968. Ringkasnya, sidang itu menyimpulkan bahwa penindasan di Amerika Latin
telah menjelma menjadi kekerasan yang melembaga (institutionalized violence)
dan terjadi di segala bidang. Maka gereja harus berinisiatif dan bertanggung jawab
untuk mengembangkan kebudayaan, berperan serta dalam kehidupan sosial politik. Tiga
tahun kemudian, 1971, terbit Teologia de la Liberacion --Teologi Pembebasan--
karya Gustavo Gutierrez, pastor dari Peru itu.
Buku ini menguraikan secara jelas gagasan-gagasan dan
tindakan-tindakan yang ditempuh para uskup Amerika Latin. Sidang Celam II dan
buku Gutierrez mendorong gereja untuk makin terlibat dalam perlawanan rakyat.
Sebaliknya, rasa
permusuhan penguasa dan orang-orang kaya terhadap
gereja kian tajam. Seiring
dengan meluasnya paham Teologi Pembebasan, gencar pula
suara yang menuduh para pengikut teologi ini menerapkan ajaran marxis yang
merekomendasikan perjuangan kelas dan perubahan radikal melalui revolusi
kekerasan. Penggunaan analisis marxis "perjuangan kelas" dan
"perubahan struktur" oleh para teolog Teologi Pembebasan, termasuk
Gutierrez, dianggap para kritikus sebagai "dosa terhadap
Kristianitas". Namun para tokoh Teologi Pembebasan membantah tuduhan tersebut.
Camilo Torres, pastor dari Kolombia yang ikut bergerilya dan tewas, misalnya,
mengaku sebenarnya tak ingin bergabung dengan para gerilyawan.
"Berkali-kali saya dituduh menyuarakan revolusi dengan kekerasan. Manakala
rakyat mempunyai keberanian untuk mengorganisasi diri, kelas penguasa
cepat-cepat menuduh kita menghimpun revolusi dengan kekerasan. Kita tak ingin
kekerasan, kita tak hendak menggunakan paksaan. Yang kita cita-citakan adalah
bahwa suatu ketika kekuasaan akan berada di tangan rakyat," katanya pada
1965. Bahwa ia akhirnya menggunakan kekerasan, bergabung dengan kelompok
gerilyawan komunis, memanggul senjata, menurutnya karena tak ada pilihan lain.
Pemerintah dan aparat militer tak dapat diajak berbicara. Penguasa hanya
mempunyai satu jalan: senjata. Tapi Camilo menolak bila dituduh komunis.
"Saya tak pernah akan bergabung ke dalam aparatnya, dan saya tak hendak
menjadi komunis, baik sebagai warga Kolombia, sebagai sosiolog, sebagai orang
Kristen, maupun sebagai pastor. Namun saya bersedia berjuang bersama-sama
mereka untuk meraih tujuan serupa, yakni melawan dan menentang oligarki dan
dominasi Amerika Serikat agar kekuasaan kembali ke tangan rakyat," katanya
pada September 1965. Pengikut Teologi
Pembebasan memang tak menyangkal bahwa mereka menggunakan analisis marxis, tapi
menolak bila dituduh "berdosa" terhadap Kristianitas. Gutierrez, yang
mendalami tulisan-tulisan Marx sejak mahasiswa di Universitas San Marcos , tetap bersikap kritis terhadap
kekurangan dan bahaya marxis. Bagi Gutierrez, peranan marxisme hanyalah alat
analisis yang dapat merekam dan mendeskripsikan keadaan tak adil dan praktek
kekerasan yang melembaga di Amerika Latin. Menurut Gutierrez, "perjuangan
kelas" yang dikumandangkan oleh Marx bukan hal baru bagi penganut
Kristiani. Santo Lucas yang hidup sebelum Marx, kata Gutierrez, telah menyuarakan
perjuangan kelas. Transformasi struktur, perubahan struktur kapitalisme yang
menciptakan ketidakadilan dan kemiskinan rakyat banyak, bukanlah monopoli Marx.
Injil, Gutierrez melanjutkan, sudah lebih dulu menganjurkannya.Untuk memperkuat
argumentasinya, Gutierrez mengutip ayat-ayat dalam Injil. Misalnya dari Injil
Lukas bab 1 ayat 51-53 yang antara lain berbunyi: "Ia menurunkan
orang-orang yang berkuasa dari tahtanya dan meninggikan orang-orang yang rendah.
Ia melimpahkan segala yang baik kepada orang-orang lapar, dan menyuruh orang
kaya pergi dengan tangan hampa." Tak lupa ia menafsirkan makna kelahiran
Yesus sebagai Sang Pembebas.Yesus, menurut Gutierrez, lahir untuk mewartakan
kabar gembira kepada orang miskin, dan mewartakan pembebasan bagi mereka yang
terbelenggu, yang telah dengan berani menghadapi serangan para penguasa Romawi
yang menindas orang Yahudi. Berdasarkan argumentasi tersebut, ia menganggap tak
ada salahnya meminjam pendekatan marxis untuk melaksanakan tugas sosial gereja.
"Pentingnya konsepsi bukan ditentukan oleh siapa yang mengatakannya,
melainkan oleh ketepatannya dalam mendeskripsikan dunia tempat kita hidup.
Entah yang merumuskannya itu manusia Karl Marx atau manusia yang lain,"
katanya.Namun, Gutierrez tetap bersikap kritis terhadap marxis dan menempatkan
Kristianitas sebagai pedoman hidup yang lebih unggul ketimbang marxis.
Keunggulan Kristianitas, katanya, terletak pada kemampuannya melihat kemenangan
setelah kematian. Sementara tentang maut, marxisme tak punya jawaban. Pembenaran
Gutierrez tersebut tak mengurangi kecurigaan berbagai pihak terhadap gerakan
Teologi Pembebasan. Tahun 1984, Vatikan mengeluarkan instruksi yang melarang
para imam Katolik terlibat dalam kegiatan politik praktis dan menggunakan
pendekatan marxis. Bahkan sebelum itu, dari kalangan para uskup Amerika Latin
yang tergabung dalam Celam sendiri sudah terdengar kritik terhadap penerapan
marxisme. Dan pada Sidang Celam III di Puebla de los Angeles , Meksiko, pada 1979, mereka
mengecam marxisme seraya mengutuk kapitalisme. Menurut mereka, kedua sistem itu
membuat manusia menjadi budak ambisi kekayaan, kekuasaan, pengagungan
kepentingan umum negara, seks, dan kenikmatan duniawi yang menggerogoti
hubungan manusia dengan Tuhan. Namun, mereka tetap mengimbau untuk menggalakkan
gerakan "umat basis" yang sudah dilakukan sebelumnya.
Toh, semangat Teologi Pembebasan terlanjur menjalar ke
berbagai negara, terutama negara Dunia Ketiga yang mayoritas penduduknya
beragama Katolik seperti Filipina. Ed de la Torre, penulis buku Touching
Ground, Taking Root: Theological and Political Reflections on The Phillipine
Struggle, menyimpulkan bahwa pengaruh Teologi Pembebasan itu terlihat pada
gerakan massa
yang menggulingkan Presiden Ferdinand Marcos pada 1986. Umat Kristiani,
katanya, terlibat aktif dalam gerakan rakyat untuk melakukan perubahan
fundamental di bidang ekonomi dan politik. Di Indonesia, menurut Budhy Munawar
Rachmat, Manajer Program Studi Islam
Yayasan Paramadina, bayang-bayang teologi itu tak begitu jelas. Yang agak kentara,
katanya, justru pengaruh teori dependensi - pemikiran di bidang ekonomi-- yang
pernah dipakai sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) pada
1970-an."Gereja Katolik Indonesia
tak mengimpor Teologi Pembebasan dari Amerika Latin itu," ujar Romo Purbo.
Begitu pula menurut Romo Ismartono. "Tapi bukan
berarti gereja menutup mata terhadap ketidakadilan yang terjadi di masyarakat,"
kata Romo Ismartono. Menurutnya, garis keterlibatan gereja di Indonesia dalam
solidaritas sosial berpegang pada Instruksi Mengenai Kebebasan dan Pembebasan
Kristiani yang dikeluarkan Tahta Tinggi Vatikan yang antikekerasan.
"Butir-butir instruksi itu berbeda dengan yang ada pada Teologi Pembebasan
di Amerika Latin. Gereja lebih memilih jalan reformasi ketimbang revolusi, yang
sering memakan korban dan akhirnya melahirkan rezim totaliter," lanjut
Romo Ismartono kepada J. Eko Setyo Utomo dari Gatra. Diambil dari Gatra Nomor
42 Tahun II, 31 Agustus 1996.
Komentar
Posting Komentar