FILSAFAT & SOSIOLOGI PERUBAHAN SOSIAL
SEBUAH PENGANTAR: RETHINGKING TEORI PERUBAHAN SOSIAL
Prawacana
Sudah lama dirasakan adanya jurang yang memisahkan antara dunia teoretis
dari kalangan akademisi yang membicarakan teori perubahan sosial maupun
paradigma pembangunan dan dunia para praktisi perubahan sosial untuk keadilan
sosial (social justice) yang bekerja di dalam berbagai aksi maupun
proyek perubahan sosial bersama kelompok-kelompok marginal seperti kaum buruh,
para petani dan nelayan, perempuan miskin di pedesan, maupun anak jalanan serta
masyarakat adat di berbagai daerah. Terdorong oleh keinginan untuk menjembatani
dialog antara teori dan praktik perubahan sosial di akar rumput, maka suatu
refleksi kritis ini disistematisasikan dan dinarasikan sebagai bahan yang
memfasilitasi terjadinya perenungan dan pembangkitan kesadaran kritis para teoritisi
maupun praktisi lapangan. Sebagai suatu refleksi, tulisan ini tidak
berpretensi menjadi acuan teoretik mengenai teori perubahan sosial. Tulisan ini
ditulis karena didorong oleh keinginan untuk membuka ruang dialog kritik
ideologi terhadap proses dan teori perubahan sosial, bukan ditulis dari hasil
studi akademik dari kalangan universitas, melainkan lebih banyak refleksi dari
aksi dan dialog yang panjang dari bahan bacaan yang diperoleh secara tidak
sistematik maupun hasil refleksi dari keterlibatan dengan berbagai program
bersama rakyat di akar rumput di dunia selatan.
Meskipun demikian, tulisan ini memang tidak dimaksud untuk memberikan
uraian teoretik tentang teori perubahan sosial dan pembangunan. Akan tetapi,
lebih didasarkan pada refleksi terhadap pengalaman dan pengamatan penulis serta
sejumlah aktivis pergerakan sosial di Indonesia, untuk merefleksikan kaitan
teori-teori perubahan sosial dan praktik lapangan program-program pemberdayaan
mayarakat serta dorongan untuk menghentikan kecenderungan ketimpangan dalam
dunia teori sosial dalam pengertian semakin kuatnya monopoli informasi dan
pengetahuan oleh kalangan akademisi elitis, yakni mereka yang mempunyai
kesempatan luas untuk membaca, membahas, dan mendiskusikan paradigma dan
berbagai teori pembangunan di dalam lingkungan universitas, sementara mereka
yang bekerja di masyarakat, yakni aktivis sosial dan organisasi sosial
kemasyarakatan yang terjun ke masyarakat untuk melakukan aksi sosial, tetapi
tidak memiliki kesempatan untuk mempelajari berbagai teori tersebut di universitas.
Dengan demikian, tulisan ini ditulis dengan keinginan ganda. Selain menyediakan
bahan bacaan untuk khalayak umum dan aktivis lapangan tentang paradigma dan
teori pembangunan, juga didorong oleh suatu semangat untuk merobohkan anggapan
bahwa urusan ideologi, paradigma, dan teori perubahan sosial hanya patut dan
khusus dibaca, dipahami, dan dikontrol oleh kalangan akademisi dan birokrasi,
dan tabu untuk dibaca oleh kalangan masyarakat biasa. Dengan kata lain, tulisan
ini melakukan demistifikasi terhadap bahan kajian ilmiah untuk menjembatani
jarak antara para aktivis lapangan dan berbagai paradigma dan teori ilmu sosial
di univeritas.
Selain itu, semangat penulisan tulisan ini juga didorong oleh adanya gejala
timbulnya kerancuan teoretik dan paradigmatik dari banyak aktivis lapangan.
Yang dimaksudkan dengan kerancuan teoretik ini adalah persoalan yang dihadapi
oleh mereka yang bekerja untuk melakukan perubahan sosial di lapangan, yakni
para pekerja sosial masyarakat, baik kalangan aktivis lapangan ornop maupun
tokoh keagamaan, yang tanpa disadari telah menggunakan dasar teoretik dan visi
ideologis mengenai suatu perubahan sosial yang menjadi landasan dan aktivitas
praktis sehari-hari, tetapi sesungguhnya hakekat teori yang sedang
dipraktikkannya tersebut secara teoretik bertolak belakang dengan tujuan yang
mereka cita-citakan. Dengan demikian, tuntutan akan perlunya pemahaman
mengenai paradigma dan berbagai teori perubahan sosial yang mereka jadikan
pijakan untuk mengidentifikasi, memahami, dan menangani masalah-masalah
kemasyarakatan semakin meningkat. Lemahnya visi ideologi dan teori mengenai
perubahan sosial ini juga mempengaruhi metodologi yang diterapkan, seperti
bagaimana banyak organisasi sosial menempatkan masyarakat sebagai obyek,
padahal sementara itu bercita-cita melakukan pemberdayaan masyarakat. Demikian
halnya dalam merencanakan, menyusun, dan menetapkan program pengembangan
masyarakat, maupun dalam mengevaluasi kegiatan tersebut. Kegiatannya banyak mencerminkan
anti-pemberdayaan masyarakat. Ketidakjelasan visi dan teori ini tidak saja
telah melahirkan inkonsistensi antara cita-cita dan teori yang digunakan,
tetapi juga telah berakibat menghambat peran atau partisipasi masyarakat dalam
perubahan sosial, yakni peranan masyarakat sipil (civil society)
sebagai pelaku sejarah utama dalam upaya demokratisasi ekonomi, politik,
budaya, gender, serta aspek sosial lainnya.
Gejala kerancuan teoretik ini terlihat dalam bagaimana para aktivis sosial
di lapangan mendefinisikan masalah kemasyarakatan dan memandang teori 'mainstream'
perubahan sosial pembangunan dewasa ini. Namun demikian, sesungguhnya di
kalangan aktivis sosial telah timbul kesadaran akan perlunya secara kritis
mempertanyakan kembali paradigma, teori, serta implikasinya terhadap metodologi
dan teknik lapangan. Kegairahan di kalangan aktivis sosial untuk memahami
berbagai teori politik ekonomi dan perubahan sosial dalam pendidikan politik
dan advokasi mendorong penulis untuk segera merampungkan tulisan teori
perubahan sosial ini.
Namun demikian, secara garis besar motivasi utama penyusunan tulisan ini
didorong untuk memenuhi kebutuhan bacaan teoretis dan memfasilitasi perdebatan
teoretik bagi mereka yang bekerja di lapangan. Secara umum tulisan ini
merupakan pengkajian teoretis dan mendasar, membahas kerangka ideologi,
paradigma, dan teori tentang perubahan sosial, yang diharapkan mampu memacu
pembaca untuk merefleksikan kegiatan lapangan mereka dengan berbagai ideologi
dan aliran teori perubahan sosial. Selain itu tulisan ini juga merupakan
refleksi kritik terhadap posisi teoretik berbagai teori yang dominan tentang
perubahan sosial dan pembangunan. Kritik ini diharapkan akan memberikan bekal
teoretik bagi pembaca, khususnya yang terlibat dalam proses perubahan sosial
dan yang sedang memikirkan paradigma alternatif perubahan sosial. Terakhir,
secara khusus tulisan ini disajikan bagi aktivis lapangan untuk mendorong
mereka melakukan refleksi dan dialog tentang berbagai teori perubahan sosial
sebagai bagian dari aktivitas lapangan sehari-hari.
Sebuah Refleksi Teoretik bagi Aktivis Sosial
Maksud terutama penyusunan tulisan ini adalah dalam rangka memfasilitasi
para praktisi untuk melakukan refleksi terhadap aksi yang selama ini mereka
lakukan di tingkat akar rumput. Hal ini didasarkan pada asumsi bahwa seorang
aktivis lapangan atau praktisi perubahan sosial dalam memperjuangkan "social
justice", politik dan ekonomi yang demokratis, serta pengembangan
masyarakat menuju masyarakat adil sejahtera sangat membutuhkan teori sebagai
acuan, refleksi, maupun motivasi. Tugas utama suatu teori sosial pada dasarnya
tidak sekedar memberi makna terhadap suatu realitas sosial sehingga
memungkinkan lahimya kesadaran dan pemahaman terhadap suatu realitas sosial.
Akan tetapi, teori sosial juga bertugas untuk "mengubah realitas sosial"
yang dianggapnya bermasalah dan tidak adil sehingga sampai sekarang masalah
tersebut masih diperdebatkan. Tanpa disadari setiap pekerja dan aktivis sosial
seperti guru, akivis sosial, wartawan, dan pemimpin agama terlibat dalam
pertarungan teoretis secara nyata. Pertarungan tersebut berupa penerapan teori
dalam kegiatan mereka sehari-hari dan tanpa disadari teori sosial juga memiliki
dimensi penerapan. Dengan demikian, penulis berpendirian bahwa tugas ilmu
sosial tidak sekedar mencoba memahami suatu realitas sosial, tetapi juga
mengubahnya.
Berbagai teori sosial, ekonomi, politik, dan budaya lahir tidak saja dalam
rangka pertarungan memberi makna terhadap suatu realitas sosial, tetapi juga
berimplikasi pada perubahan sosial karena pada dasamya perubahan sosial
dibangun di atas pemahaman teoretik dan suatu teori sangat berpengaruh dalam
membentuk suatu program aksi di lapangan. Meskipun pada realitas sosial yang
sama, dua teori selalu memberi makna berbeda atau bahkan bertolak belakang dan
akibatnya akan membawa perubahan sosial secara berbeda pula. Misalnya saja
dalam melihat hubungan 'buruh-majikan' satu teori melihatnya sebagai hubungan
yang 'saling menguntungkan', tetapi teori lain justru menganggapnya sebagai
hubungan eksploitasi. Atas asumsi teoretik ini, bagaimana suatu perubahan
hubungan masa depan antara buruh dan majikan akan diproyeksikan. "Rekayasa
sosial" yang oleh satu teori dianggap sebagai keharusan pendekatan,
tetapi oleh teori lain justru dianggap sebagai suatu bentuk dominasi dan
'penindasan' dari ilmuwan sosial terhadap masyarakat. Perbedaan asumsi tersebut
tidak saja mempengaruhi berbagai metode penelitian dan pendidikan sosial,
tetapi juga membawa perbedaan visi dan orientasi hubungan antara ilmuwan sosial
dan masyarakat dalam proses perubahan sosial. Dengan demikian, teori sosial
membantu aktivis lapangan ataupun pekerja sosial untuk menyadari apa yang
mereka lakukan serta kemana dan model apa suatu perubahan sosial akan dituju.
Tanpa pemahaman akan teori ilmu sosial, dalam menjalankan program sosial ekonomi
di masyarakat, seorang aktivis tidak saja bekerja tanpa visi dan orientasi,
tetapi juga bisa melakukan kegiatan yang sesungguhnya bertentangan dengan
keyakinannya. Seorang aktivis sosial akan selalu dihadapkan pada pilihan untuk
memihak antara status quo dan perubahan; antara pertumbuhan dan
keadilan; antara rekayasa sosial dan partisipasi, antara tirani dan demokrasi,
dan seterusnya. Dalam kaitan itulah teori sangat membantu memahami relasi
sosial secara kritis.
Dalam praktik lapangan, dewasa ini terdapat dua paham teori sosial yang
kontradiktif yang melibatkan setiap pekerja sosial, yakni antara teori-teori
sosial yang digolongkan pada "teori sosial regulasi"
berhadapan dengan teori-teori sosial emansipatori atau juga yang dikenal
dengan kritis. Teori sosial regulasi yang bersemboyan bahwa ilmu sosial harus
mengabdi pada stabilitas, pertumbuhan, dan pembangunan, bersifat objektif serta
secara politik netral dan bebas nilai. Dalam pandangan ini teori sosial
dikontrol oleh teorisi sedangkan masyarakat dilihat hanya sebagai obyek
pembangunan mereka. Pandangan teori sosial ini berhasil memunculkan kaidah
'rekayasa sosial' yang menempatkan masyarakat sebagai obyek para ahli,
direncanakan, diarahkan, dan dibina untuk berpartisipasi menurut selera yang
mengontrol. Teori sosial telah menciptakan birokrasinya: di mana teoretisi
memiliki otoritas kebenaran untuk mengarahkan praktisi dan masyarakat. Dalam
hubungan ini aktivis sosial lapangan dan masyarakat hanya diletakkan sebagai
pekerja sosial tanpa kesadaran ideologis dan teoretis secara kritis.
Sementara itu, bagi aliran kritis tugas ilmu sosial justru melakukan
penyadaran kritis masyarakat terhadap sistem dan struktur sosial 'dehumanisasi'
yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagaj upaya counter
hegemoni. Proses dehumanisasi tersebut terselenggara melalui mekanisme
kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang
halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya, kekerasan
dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan
struktural misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang
memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar
terselenggara melalui proses hegemoni, yakni cara pandang, cara berpikir,
ideologi, kebudayaan, bahkan 'selera' golongan yang mendominasi telah
dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang di dominasi. Dengan begitu
kegiatan sosial bukanlah arena netral dan apolitik. Kegiatan sosial tidaklah
berada dalam ruang dan masa yang steril, tetapi merupakan kegiatan politik menghadapi
sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Bagi paham kritis, dalam dunia yang secara struktural tidak adil, ilmu
sosial yang bertindak tidak memihak, netral, objektif, serta berjarak atau detachment
adalah suatu bentuk sikap ketidakadilan tersendiri, atau paling tidak ikut melanggengkan
ketidakadilan. Paham ini menolak objektivitas dan netralitas ilmu sosial dengan
menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak boleh dan tidak mungkin pernah netral.
Oleh karena itu, teori sosial haruslah subjektif, memihak dan penuh atau sarat
dengan nilai-nilai demi kepentingan politik dan ekonomi golongan tertentu.
Teori ilmu-ilmu sosial, termasuk juga paham kebudayaan dan pandangan keagamaan
dalam paradigma kritis ini selalu memihak dan mengabdi demi kepentingan
tertentu. Masalahnya, kepada golongan yang mana suatu teori sosial harus
mengabdi. Itulah makanya, dalam pandangan ini, teori sosial dan praktik
pengabdian masyarakat yang netral dan objektif, sementara masyarakat berada
pada suatu sistem dan struktur sosial yang tidak adil dan dalam proses 'dehumanisasi',
ilmuwan dan pekerja sosial dianggap menjadi tak bermoral karena ikut
melanggengkan ketidakadilan.
Sesungguhnya sudah cukup lama diperdebatkan mengenai masalah objektivitas,
hakikat, dan tugas ilmu sosial. Apakah teori sosial dan aktivis sosial harus
netral, tidak memihak, ataukah harus mengabdi demi kepentingan tertentu seperti
golongan lemah. Namun, dalam perspektif teori sosial kritis, ilmu sosial tidaklah
sekedar diabdikan demi kepentingan golongan lemah dan tertindas, tetapi lebih
mendasar daripada itu, teori sosial haruslah berperan dalam proses pembangkitan
kesadaran kritis, baik yang tertindas maupun yang menindas, terhadap sistem dan
struktur sosial yang tidak adil. Teori sosial harus mengabdi pada proses
transformasi sosial yakni terciptanya hubungan (struktur) yang baru dan
lebih baik. Dengan kata lain, dalam prespektif teori sosial kritis, ilmu
sosial tidaklah sekedar memihak kepada yang tertindas dan yang termarjinalisasi
belaka, tetapi lebih berusaha menciptakan ruang yang akan menumbuhkan
kesadaran, baik bagi golongan menindas dan yang tertindas untuk menyadari bahwa
mereka telah berada dalam sistem sosial yang tidak adil. Teori sosial harus membangkitkan
kesadaran kritis. baik bagi yang mendominasi maupun yang didominasi, untuk
perubahan menuju terciptanya suatu hubungan (struktur) dan sistem sosial
yang secara mendasar lebih baik, yakni suatu sistem masyarakat tanpa
eksploitasi, tanpa penindasan, tanpa diskriminasi, dan tanpa kekerasan. Dengan
demikian, tugas teori sosial adalah memanusiakan kembali manusia yang telah
lama mengalami dehumanisasi, baik yang menindas maupun yang ditindas.
Teori Perubahan Sosial dan Teori Pembangunan: Suatu Penjelasan
Umumnya orang beranggapan bahwa pembangunan adalah kata benda netral yang
maksudnya adalah suatu kata yang digunakan untuk menjelaskan proses dan usaha
untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, politik, budaya, infrastruktur
masyarakat, dan sebagainya. Dengan pemahaman seperti itu, 'pembangunan'
disejajarkan dengan kata "perubahan sosial". Bagi
penganut pandangan ini konsep pembangunan adalah berdiri sendiri sehingga
membutuhkan keterangan lain, seperti, pembangunan model kapitalisme,
pembangunan model sosialisme, ataupun pembangunan model Indonesia, dan
seterusnya. Dalam pengertian seperti ini teori pembangunan berarti teori
sosial ekonomi yang sangat umum. Pandangan ini menjadi pandangan yang menguasai
hampir setiap diskursus mengenai perubahan sosial.
Sementara itu, di lain pihak terdapat suatu pandangan lebih minoritas yang
berangkat dari asumsi bahwa kata 'pembangunan' itu sendiri adalah
sebuah discourse, suatu pendirian, atau suatu paham, bahkan merupakan suatu
ideologi dan teori tertentu tentang perubahan sosial. Dalam pandangan yang
disebut terakhir ini konsep pembangunan sendiri bukanlah kata yang bersifat
netral, melainkan suatu "aliran" dan keyakinan ideologis dan
teoretis serta praktik mengenai perubahan sosial. Dengan demikian, dalam
pengertian yang kedua ini pembangunan tidak diartikan sebagai kata benda
belaka, tetapi sebagai aliran dari suatu teori perubahan sosial. Bersamaan
dengan teori pembangunan terdapat teori-teori perubahan sosial lainnya seperti
sosialisme, dependensia, ataupun teori lain. Oleh karena itulah banyak orang
menamakan teori pembangunan sebagai pembangunanisme (developmentalism).
Dengan demikian pengertian seperi ini menolak teori-teori, seperti teori pembangunan
berbasis rakyat, atau teori integrated rural development, atau bahkan
pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan merupakan
alternatif dari pembangunanisme, melainkan variasi-variasi lain dari ideologi
pembangunanisme.
Oleh karena itu, tulisan ini pada dasarnya lebih memfokuskan pembahasan
mengenai seluk-beluk paradigma dan teori perubahan sosial, yakni teori tentang
bagaimana suatu masyarakat berubah serta dinamika dan proses sekitar perubahan
tersebut. Dengan demikian, teori dan kritik terhadap pembangunan yang banyak
dibahas dalam tulisan ini nanti, dalam hubungan ini dipahami dan diletakkan
sebagai salah satu ideologi dan teori serta salah satu bentuk dari teori
perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu dari teori perubahan sosial yang
akan dibahas adalah teori pembangunan. Sebagai salah satu dari berbagai teori
perubahan sosial, teori pembangunan, dewasa ini telah menjadi mainstream dan
teori yang paling dominan mengenai perubahan sosial. Pembangunan sebagai salah
satu teori perubahan sosial adalah fenomena yang luar biasa, karena sebuah
gagasan dan teori begitu mendominasi dan mempengaruhi pikiran umat manusia
secara global, terutama di bagian dunia yang disebut sebagai "dunia
ketiga". Gagasan dan teori pembangunan, bagi banyak orang bahkan mirip
'agama baru' yakni menjanjikan harapan baru untuk memecahkan masalah-masalah
kemiskinan dan keterbelakangan bagi berjuta-juta rakyat di dunia ketiga.
Istilah pembangunan atau development tersebut kini telah menyebar dan
digunakan sebagai visi, teori, dan proses yang diyakini oleh rakyat di hampir
semua negara, khususnya dunia ketiga, dengan setelah diterjemahkannya ke dalam
bahasa dengan menggunakan kata yang sesuai dengan bahasa lokal di masing-masing
negara. Di negara-negara Amerika Latin, misalnya, kata ini disamakan dengan
kata dessarollo. Bahkan, di negara yang belum memiliki bahasa nasional
seperti Filipina, misalnya, kata yang digunakan untuk melokalkan 'development'
adalah dalam tiga bahasa daerah utama, yakni pang-unlad untuk bahasa
Tagalok, sedang dalam bahasa Ilongo adalah Pag-uswag, dan dalam bahasa
Ilocano menjadi progreso. Di Indonesia, kata development
diterjemahkan dengan 'pembangunan'.
Kata 'pembangunan' menjadi diskursus yang dominan di Indonesia erat
kaitannya dengan munculnya pemerintahan orde baru. Selain sebagai semboyan
mereka, kata 'pembangunan' juga menjadi nama bagi pemerintahan orde baru, hal
itu bisa dilihat bahwa nama kabinet sejak pemerintahan orde baru selalu
dikaitkan dengan kata 'pembangunan', meskipun kata 'pembangunan' sesungguhnya
telah dikenal dan digunakan sejak masa orde lama. Kata pembangunan dalam
konteks orde baru, sangat erat kaitannya dengan discourse-development
yang dikembangkan oleh negara negara Barat. Uraian berikut mencoba melakukan
penyelidikan secara kritis terhadap discourse development, yang menjadi sumber
dari diskursus 'pembangunan' di Indonesia. Oleh karena itu, perhatian
uraian ini tidaklah mengusahakan tinjauan dari segi bahasa, tetapi mencoba
menstudi politik ekonomi dalam permulaan discourse development, dan bagaimana
development disebar-serapkan ke dunia ketiga, serta hubungannya dengan
diskursus 'pembangunan' di Indonesia sejak pemerintahan militer orde baru,
yakni suatu pemerintahan militer selama 32 tahun, yakni sejak militer Indonesia
mengambil alih kekuasaan Presiden Sukarno tahun 1967 hingga kejatuhan rezim
militer ini oleh suatu revolusi sosial tahun 1998.
Namun, jika dilihat secara lebih mendalam dari pengertian dasarnya,
pembangunan merupakan suatu istilah yang dipakai dalam bermacam-macam konteks,
dan seringkali digunakan dalam konotasi politik dan ideologi tertentu. Ada
banyak kata yang mempunyai persamaan makna dengan kata pembangunan, misalnya
perubahan sosial, pertumbuhan, progres, dan modernisasi. Dari kata-kata
tersebut hanya istilah perubahan sosial yang memberi makna perubahan ke arah
lebih positif. Oleh karena makna pembangunan bergantung pada konteks siapa yang
menggunakannya dan untuk kepentingan apa, uraian mengenai pengertian
pembangunan akan dilihat dari konteks sejarah bagaimana istilah tersebut dikembangkan.
Pertanyaan dasarnya adalah apakah konsep "pembangunan" itu
adalah suatu kategori tersendiri, atau jenis dari suatu yeng lebih besar. Dalam
tulisan ini penulis meletakkan pembangunan sebagai suatu teori dibawah payung
teori perubahan sosial. Dengan kata lain, salah satu bahasan dalam ilmu-ilmu
sosial adalah masalah perubahan sosial. Banyak teori dan dimensi pendekatan
perubahan sosial, di antaranya: dimensi evolusi dan revolusi sosialistik dan
kapitalistik, dan dimensi-dimensi lainnya. Salah satu teori perubahan sosial
tersebut adalah teori pembangunan. Lambat-laun, pembangunan sebagai teori
berubah dan menjadi suatu pendekatan dan ideologi, bahkan menjadi suatu
paradigma dalam perubahan sosial. Selama orde baru, bahkan pembangunan oleh
para birokrat dan akademisi diperlakukan lebih dari sekedar teori perubahan
sosial. Selain berhasil menjadi ideologi orde baru, pembangunan juga dinamakan
kabinet selama kekuasaan orde baru dibawah presiden Suharto.
PARADIGMA DAN PERANNYA DALAM MEMBENTUK
Prawacana
Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian berikutnya mengenai
berbagai aliran ideologi dan keyakinan serta teori tentang perubahan sosial dan
kritik pembangunan, maka terlebih dahulu dalam bagian ini diuraikan dan dijelaskan
mengenai apa latar belakang yang mempengaruhi terbentuknya teori-teori
tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan membentuk
suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm).
Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pembahasan untuk
memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana
suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuknya
teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai
masalah paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam
membentuk dan mempengaruhi teori maupun analisis seseorang. Pada dasarnya tidak
ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif,
melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun,
sebelum melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab
pertanyaan dasar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?
Paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat
pandang. Namun, pengertian yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa
pemikiran yang akan diuraikan berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi
sangat terkenal justru setelah Thomas Khun menulis karyanya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun menjelaskan tentang
model bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya
disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan
teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai
satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan
seberapa jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan
dari berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan
kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami
berkembang maupun runtuhnya suatu teori perubahan sosial dan pembangunan erat
kaitannya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-masing yang
menjadi landasan teori tersebut.
Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975) juga memberikan
pengertian paradigma yang tidak jauh dengan apa yang didefinisikan oleh Khun,
yakni sebagai "a world view, a general perspective, a way of breaking
down the complexity of the real world"[3] Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa yang dimaksud
paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain dipergunakan
oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan dalam rangka
memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan kerangka konsepsi
dalam memberi makna realitas sosial.[4] Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat suatu realitas.
Justru kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya membentuk apa
yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang kita anggap
masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan serta apa
metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma, sebaliknya,
mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat, dan tidak ingin
kita ketahui.[5] Oleh karena itu, jika ada dua orang melihat suatu realitas sosial yang
sama, atau membaca ayat dari sebuah kitab suci yang sama, akan menghasilkan
pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang berbeda pula. Paradigma
pulalah yang akan mempengaruhi pandangan seseorang tentang apa yang "adil
dan yang tidak adil", bahkan paradigma mempengaruhi pandangan
seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program kegiatan. Misalnya
saja hubungan lelaki prempuan pada suatu masyarakat, atau hubungan antara
majikan dan buruh, oleh suatu paradigma pemikiran disebutkan sebagai "harmonis
saling membantu" dan tidak ada masalah, oleh paradigma yang lain, akan
dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender ataupun bahkan dianggap
eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti itu, tidak relevan
membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena masing-masing
menggunakan alasan, nilai, semangat, dan visi yang berbeda tentang fenomena
tersebut.
Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap paradigma yang lain
sesungguhnya bukanlah karena urusan "salah atau benar, yakni yang benar
akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975) mengungkapkan bahwa
kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih disebabkan karena para
pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki kekuatan dan kekuasaan (power)
dari pengikut paradigma yang dikalahkan, dan sekali lagi bukan karena
paradigma yang menang tersebut lebih benar atau 'lebih baik dari yang
dikalahkan".[6] Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau diterapkannya suatu aliran
teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat kaitannya dengan kekuasaan
penganut paradigma perubahan sosial yang bersangkutan untuk memenangkannya.
Dengan demikian, dominasi atau berkuasanya suatu teori perubahan sosial
ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut yang merupakan
hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya dengan
kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada
sangkut-pautnya dengan kebenaran teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa
dan bagaimana kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial
tertentu?
Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami bagaimana
paradigma mempengaruhi terciptanya teori, tetapi penjelasan Kuhn tentang
proses pergantian paradigma menurutnya berjalan secara revolusioner. Dengan
kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui pergantian, paradigma lama mati
dan diganti oleh paradigma baru. Penjelasan mengenai pergantian paradigma ini
sudah banyak dibantah orang. Dalam kenyataannya telah terjadi berbagai fenomena
yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Pertama telah terjadi
pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa paradigma akan selalu
menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para ilmuwan tidak memiliki
kerangka kerja yang mapan. Dalam ilmu alam, pandangan seperti ini memang
terjadi. Namun, dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial menunjukkan kecenderungan
semakin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau bahkan terjadi dialog
antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama. Bahkan, proses teori pada
dasarnya adalah terjadinya saling dialog antar teori dan proses kemampuan teori
untuk menyesuaikan diri. Marxisme, misalnya, telah berkembang setelah berdialog
dengan semakin canggihnya kapitalisme. Sebaliknya, terjadi penguatan gejala
dimana teori-teori sosial yang bersandar pada keyakinan kapitalisme berkembang
ke arah penyesuaian diri terhadap kritik. Dalam perkembangan Marxisme,
misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap praktik perkembangannya, hal
ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur dan ideologi dalam Marxisme,
sesuatu yang membuat analisis Marxisme saat ini telah bergeser dari pikiran
Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada analisis ekonomi. Demikian halnya
maraknya perkembangan teologi pembebasan (liberation theology) di
Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah suatu adaptasi akibat dari suatu
dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan paham dan teori kapitalisme
dalam perkembangannya hingga seperti saat ini justru belajar dan mendapat
keuntungan dari kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme. Kapitalisme
sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat kritikan dari
Marxisme.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat dan sikap yang
diperlukan dalam memahami paradigma sosial. Pada dasarnya memahami paradigma
dan teori perubahan sosial seharusnya tidak sekedar untuk mempelajari dan
memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan dipahami dalam rangka
menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi, keadilan sosial dan
transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma dan teori perubahan
sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah karena alasan benar dan
salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih karena dikaitkan dengan
persoalan mana teori yang akan berakibat pada penciptaan emansipasi dan
penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara mendasar lebih baik. Oleh
karena itu, memilih paradigma dan teori perubahan sosial adalah suatu pemihakan
dan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang dianut. Pertanyaan yang penting
diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan apa sesungguhnya kegiatan dan
aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin kita pecahkan melalui aksi dan
program kegiatan kita? Jadi, masalahnya bukanlah apakah kita harus memihak,
karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat dihindarkan bagi semua teori
perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi masalahnya adalah kepada siapa
atau kepada apa pemihakan tersebut diabdikan.[7] Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman paradigma sosiologi
yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap teori perubahan sosial
maupun pembangunan.
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori perubahan sosial,
termasuk di dalamnya teori pembangunan, kita perlu mengenal peta paradigma
dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta pendekatan yang telah dihasilkan oleh para
ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan beberapa model paradigma
dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model pemetaan paradigma sosial
yang diuraikan oleh salah seorang penganut mazhab Frankfurt, terutama Jurgen
Habermas. Model pembagian paradigma kedua adalah dengan mengikuti tokoh pemikir
pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire. Sedangkan model ketiga adalah peta
paradigma sosiologi yang dibuat oleh Barnel dan Morgan (1979).
Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris
Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi paradigma
ilmu-ilmu sosial menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk memahami suatu
sudut perbedaan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas pada dasarnya
membagi paradigma ilmu sosial dalam pembagian yang secara sederhana dapat
dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi tiga
paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
Pertama, yang disebutnya sebagai instrumental knowledge.
Dalam perspektif paradigma 'instrumental' ini, pengetahuan lebih
dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya. Yang dimaksud Habermas
dengan paradigma pengetahuan instrumental ini sesungguhnya adalah paradigma
positivisme. Positivisme pada dasarnya adalah ilmu sosial yang
dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik ilmu alam dalam memahami realitas.
Positivisme adalah aliran filsafat yang berakar pada tradisi ilmu sosial yang
dikembangkan dengan mengambil cara ilmu alam menguasai benda, yakni dengan
kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi, melalui metode
determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori (Schoyer, 1973).
Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal, artinya cocok atau appropriate
untuk semua, kapan saja, di mana saja suatu fenomena sosial. Oleh karena itu,
mereka percaya babwa riset sosial harus didekati dengan metode ilmiah, yakni
obyektivitas, netral, dan bebas nilai. Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah
yang bersifat universal, prosedur harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan
metode scientific atau ilmiah. Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan
pemisahan fakta dan nilai (values) dalam rangka menuju pemahaman
objektif atas realitas sosial.
Sebutan "kaum positivist" berkesan sentimen dan merupakan
diskursus yang di dalamnya memuat suatu strategi daripada mengacu pada
pengertian bahasa yang mendalam dan bermanfaat untuk menjelaskan kata positif
lawan yang negatif dari konsep itu. Istilah itu digunakan untuk mengacu pada
suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme sering dicampur-adukkan
dengan 'empirisme' sehingga membuat rancu beberapa pengertian pokoknya.
Pendirian epistemologis kaum positivis kalau ditelaah lebih dalam didasarkan
pada pendekatan yang digunakan dalam "ilmu alam," atau dengan kata
lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu sosial positivistik, pada dasamya
meminjam cara, metodologi, sikap dan visi bagaimana ilmu alam menghadapi objek
studi mereka yakni benda dan fenomena alam. Perbedaan utamanya terletak pada
istilah yang digunakan dan objek yang dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah
benda dan fenomena alam, sedangkan positivisme memberlakukan masyarakat atau
manusia seperti ilmu alam memperlakukan benda dan fenomen alam. Tatanan sosial
dapat dibuktikan kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laboratorium,
meskipun sering terjadi hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan
kebenarannya. Kaum verifikasionis (membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis
(membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang tatanan sosial, sependapat bahwa
pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana pemahaman baru
diperoleh sebagai tambahan atas kumpuIan pengetahuan atau penghapusan atas
hipotesis salah yang pernah ada.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan paradigma positivisme
lebih mensyaratkan sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam metodologi dan
teknik kajian mereka. Di antara banyak sikap yang kemudian disebutkan sebagai
sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu sosial dan penelitian
sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu, ilmu sosial bagi
paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif, melainkan harus
objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati. Ilmu sosial
juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek studi dan
hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan kapan saja.
Untuk memahami lebih lanjut pendirian paradigma positivisme, kita dapat
memahaminya melalui pendirian teori-teori anti-positivisme. Meskipun
epistemologis kaum antipositivis beragam jenisnya, semuanya tidak menerima
berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa yang terjadi pada suatu tatanan
sosial tertentu tidak secara serta merta akan berlaku pada semua tatanan atau
peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi, hanya dapat dipahami dari
pandangan orang per orang yang langsung terlibat dalam peristiwa sosial
tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai 'peneliti dan pengamat'
atau pengembang masyarakat ahli luar seperti layaknya kedudukan kaum
positivis. Seorang hanya bisa "mengerti" dengan 'memasuki'
kerangka pikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka sendiri sebagai
peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti dari sisi dalam,
bukan dari luar realitas sosial, betapa pun ahlinya karena ilmu sosial bersifat
subjektif, dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan dapat ditemukan sebagai
pengetahuan objektif.
Kalau kita pelajari secara mendalam, sesungguhnya ada dua tradisi pemikiran
besar yang mewamai perkembangan ilmu dan analisis sosial selama lebih dari dua
ratus tahun terakhir, yakni pertikaian antara postivisme dan idealisme Jerman.
Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan cara dan bentuk
penelitian alam ke dalam pengkajian peristiwa kemanusiaan. Realitas sosial
disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis dalam ontologinya,
epistimologi kaum positivis, pandangan deterministik mengenai sifat manusia
dan nomotetis metodologinya. Sementara itu, lawannya adalah tradisi
"idealisme Jerman". Aliran ini menyatakan bahwa realitas tertinggi bukan
kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada "ruh"
atau gagasan". Oleh karena itu epistiomologi mereka anti-positivis di
mana sifat subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan lebih penting dan menolak
cara dan bentuk penelitian ilmu alam.
Kedua, adalah paradigma interpretative. Latar belakang
perkembangan paradigma interpretatif ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam
teori ilmu sosial sebelum tahun 1970 ketika telah mulai berkembang suatu
tradisi besar terutama di bidang filsafat sosial dengan munculnya fenomenologi,
etnometodologi dan teori-teori aksi. Aliran-aliran filsafat sosial ini selain
menyatakan pendiriannya sendiri sering juga menentang aliran sosiologi
positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami dengan baik dengan mengenali
perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya masing-masing. Aliran hermeneutic
knowledge atau juga dikenal dengan paradigma interpretative,
secara sederhana dapat dijelaskan bahwa pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu
sosial dan penelitian sosial dalam paradigma ini 'hanya' dimaksud untuk
memahami secara sungguh-sungguh. Dasar filsafat paradigma interpretative
adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi filsafat yang lebih
menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang terkenal dari tradisi
ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama dirinya sendiri".
Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak dimaksudkan sebagai proses yang
membebaskan. Misalnya saja yang termasuk dalam paradigma ini adalah
ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.
Ketiga, adalah
paradigma yang disebut sebagai "paradigma kritik" atau critical/
emancipatory knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap
ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang
mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan
bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin
bersifat netral. Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan yang bersifat
holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan reduksionistik.
Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam perspektif
kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang spekulatif
atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya emansipasi
masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme menyadarkan kita
akan perlunya perenungan tentang moralitas ilmu dan penelitian sosial. Oleh
karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh terhadap praktik
perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma ilmu dan
penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan sosial.
ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa rakyat
dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive objects
untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial"
bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu
memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli,
perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat
dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk
memecahkannya.
Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menempatkan rakyat sebagai
subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai pusat proses
perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan mereka. Inilah
yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan participatory
research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena pengetahuan tersebut
menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat modern. Ilmu sosial harus
mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan partisipasi dan kontribusinya.
Pemikiran tersebut mempengaruhi arah ilmu sosial kritis yang menekankan
pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan kesadaran dalam proses membangun
teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan legitimasi terhadap ilmu sosial
pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak ilmiah' tersebut. ltulah sebabnya
paradigma kritik sekaligus merupakan kritik terhadap paradigma dominasi dan
interpretasi.
Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu, kita dapat memahami
dan menyadari segenap perkembangan, asumsi, dan konflik antar berbagai teori
perubahan sosial dan kritik terhadap teori-teori pembangunan yang menjadi fokus
utama pembahasan-pembahasan dalam berbagai uraian pada bagian-bagian
berikutnya.
Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi
Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpengaruh dalam
perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan adalah
dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire. Ketika
Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang pertama
kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka bahwa
ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan membaca
karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social
movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We
Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang
berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai paradigma
perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir
kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya
peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang
disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari
bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan
sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa yang disebutnya
sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap sistem dan
struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur. Proses dehumanisasi
yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai upaya counter
hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara melalui mekanisme
kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui cara penjinakan yang
halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik. Artinya kekerasan dehumanisasi
tidak selalu berbentuk jelas dan mudah dikenali. Kemiskinan struktural,
misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk kekerasan yang memerlukan analisis
untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan sebagian besar terselenggara melalui
proses hegemoni: cara pandang, cara berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan
selera, golongan yang mendominasi telah dipengaruhkan dan diterima oleh
golongan yang didominasi. Dengan begitu, pendidikan dan ilmu pengetahuan,
sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral tentang estetika belaka. Kesenian
dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang dan masa yang steril, melainkan
dalam sistem dan struktur yang bersifat hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga kerangka besar yang
didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran masyarakat.[8] Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada suatu landasan bahwa
pendidikan adalah "proses memanusiakan manusia kembali".
Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem kehidupan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan masyarakat mengalami proses
'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian dari sistem masyarakat,
justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut. Secara lebih rinci
Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan menganalisis tentang
kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri mereka sendiri. Freire
menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis (magical
consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees) dan kesadaran
kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran tersebut dan
kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana diuraikan sebagai
berikut.[9]
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan kesadaran, suatu teori
perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan atau kaitan antara satu
faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori yang percaya akan
adanya masyarakat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan mereka dengan
sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih mengarahkan penyebab
masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar manusia,
baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan sosial
jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab dan
musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam
perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori
sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud
tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap
satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran'
dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi
setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah apa yang disebutnya sebagai "Kesadaran
Naif". Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran ini adalah lebih
melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah masyarakat. Dalam
kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for achievement'
dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam menganalisis
mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini, adalah disebabkan
oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak memiliki jiwa kewiraswastaan,
atau tidak memiliki budaya 'pembangunan', dan seterusnya.[10] Oleh karena itu, man power development adalah sesuatu yang
diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial dalam konteks
ini berarti suatu teori yang tidak mempertanyakan sistem dan struktur, bahkan
sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar, merupakan faktor
given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas teori sosial adalah
bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa beradaptasi dengan
sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang dikategorikan sebagai
paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah paham perubahan yang
bersifat transformatif.
Kesadaran ketiga adalah yang disebut sebagai kesadaran kritis.
Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber masalah.
Pendekatan struktural menghindari blaming the victims dan lebih
menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik, ekonomi dan
budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan masyarakat. Paradigma
kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang bagi masyarakat untuk
mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan struktur yang ada,
kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur itu bekerja,
serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial dalam paradigma
kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat terlibat dalam
suatu proses dialog "penciptaan struktur yang secara fundamental baru dan
lebih baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang disebut sebagai kesadaran
transformatif.
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini membantu kita
untuk dapat memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang akan dibahas
dikembangkan. Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan serta berbagai
teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut paradigma kesadaran
Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan struktur yang lebih
dipersoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya bersifat reformatif.
Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik yang dibahas dalam
bab berikutnya dalam perspektif Freire dapat digolongkan dalam kesadaran kritis
dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil yang bersifat
transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari analisis Freire
tersebut, selain dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk memahami dan
memetakan teori-teori perubahan sosial dan teori-teori pembangunan, peta
paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para praktisi pengembangan
masyarakat ataupun pemberdayaan masyarakat di akar rumput. Banyak praktisi
pembangunan dalam berhadapan maupun mengembangkan program-programnya di
masyarakat dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang mendominasi pemikiran dan
analisis para praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap pendekatan maupun
metodologi program mereka. Para praktisi pengembangan masyarakat yang
mengembangkan program "pemberdayaan masyarakat", tetapi dalam
melakukan analisis terhadap "masalah kemiskinan" masyarakat
bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan melahirkan program
yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis yang bersandar pada
kesadaran kritis untuk transformasi sosial.
Paradigma-paradigma Sosiologi
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta paradigma yang dapat
digunakan untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan teori pembangunan,
maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma dalam ilmu
sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan peta paradigma
sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979). Burnell dan Morgan
membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat membantu kita untuk
memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu sosial. Mereka
membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu sosial dengan
mengajukan peta filsafat dan teori sosial.[11] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke dalam empat kunci
paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang berbeda mengenai
dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan melahirkan
analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya telah
muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya justru
tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada awal
tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat ilmu
sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an. Untuk
memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur penting
dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat paradigma sosiologi
yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis
radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan
yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar
pemikiran yang secara mendasar berbeda.
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain untuk memahami
dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami ideologi dibalik
suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan meta-teoretis yang
mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara bekerjanya teori
sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan pandangan yang mengikat
sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan cara kerja dan batas-batas
pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial menggunakan paradigma tertentu,
berarti memandang dunia dalam satu cara yang tertentu pula. Peta yang digunakan
di sini adalah menempatkan empat pandangan yang berbeda mengenai sifat ilmu
sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan pada anggapan-anggapan
meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara mengelompokkan kerangka
berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan merupakan alat untuk memahami
mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori tertentu dapat lebih menampilkan
sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian juga alat untuk memetakan
perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap persoalan sosial. Perpindahan
paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal ini sama bobotnya dengan pindah
agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada Karl Marx yang dikenal Marx tua
dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis radikal ke strukturalis radikal
Perpindahan ini disebut epistemological break.
Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran pemikiran yang
paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar kuat pada
tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan berakar pada
pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya merupakan
sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial, kesepakatan,
keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan hal-hal yang nyata
(empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung realis dalam
pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis. Rasionalitas lebih
diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial. Paradigma ini juga
lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan pengetahuan yang
dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang berupa
langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka lebih
mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social engineering)
sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan pentingnya
cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan, harmoni, serta
stabilitas sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode pendekatan
pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan ilmu alam
dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada dasawarsa
pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim, dan Pareto.
Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh sejumlah
unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat dikenali,
dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang digunakan
dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk menjelaskan
realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan oleh aliran
ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran, terutama
setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti pemikiran
Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu banyak kaum
fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum objektivis dan mulai
bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih subjektif. Kias mekanika
dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau masyarakat, suatu pergeseran
pandangan menuju para pelaku langsung dalam proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan radikal" mulai
menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi teori-teori fungsionalis.
Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan paradigma lain, paradigma
fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan pemikiran objektivisme dan
realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan
sosial. Karena persentuhan dengan paradigma lain itu sebenarnya telah
lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran dalam paham fungsionalis.
Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian sosiologi
keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan pendekatan
objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka dengan sosiologi
keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan sosial menurut
apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan sosial menurut
pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung terlibat dalam
peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan ideografis. Kenyataan
sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan seseorang. Karenanya,
mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan subjektivitas pribadi
manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik kehidupan sosial.
Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih tetap didasarkan
pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan rapat, kemapanan,
kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan sama sekali tidak
menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh pemikiran sosial
kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang lebih menekankan
sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus teori ini yakni
mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey, Weber, Husserl,
dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat mengembangkan sosiologi
perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni berpijak pada kesadaran manusia.
Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan kaum interpretatif yaitu
nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis. Kaum humanis radikal
cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau mengatasi berbagai pembatasan
tatanan sosial yang ada. Namun demikian, pandangan dasar yang penting bagi
humanis radikal adalah bahwa kesadaran manusia telah dikuasai atau dibelenggu
oleh supra struktur idiologis di luar dirinya yang menciptakan pemisah antara
dirinya dengan kesadarannya yang murni (alienasi), atau membuatnya dalam
kesadaran palsu (false consciousness) yang menghalanginya mencapai
pemenuhan dirinya sebagai manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah
memahami kesulitan manusia dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan
sosial yang menghambat perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya
mengecam kemapanan habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak
manusiawi. Untuk itu mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa
memutuskan belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang
mapan untuk mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah
pertentangan struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya
dengan analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk
melakukan "konsientisasi", yang pada dasarnya membangkitkan
kesadaran manusia akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan
dalam paradigma humanis radikal.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum humanis radikal
memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari sudut pandang
objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki beberapa persamaan
dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang saling berlawanan.
Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural, bentuk-bentuk penguasaan
dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya, pendekatannya cenderung realis,
positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting, justru oleh
mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang lebih
penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam kenyataan
sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam rangka
menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganut paradigma
strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada
menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan
sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam
suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran setelah terjadinya
perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di samping pengaruh
Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi radikal.
Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan beberapa
penganut kelompok kiri baru.
SUBYEKTIVIS
|
Keteraturan
Subyektivis
|
PARADIGMA
INTERPRETATIF
(FENOMENOLOGI)
|
PARADIGMA
FUNGSIONALISME
|
Keteraturan
Obyektivis
|
OBYEKTIVIS
|
Pertentangan
Subyektivis
|
PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL
|
PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
|
Pertentangan
Obyektivis
|
Diagram 1
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
Epilog
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mempengaruhi bagaimana
seorang pemikir sosial dalam mengembangkan teori sosial. Misalnya saja,
penganut paradigma interpretatif atau sosiologi fenomenologis akan
mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda dengan penganut
fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya adalah
mencoba memahami dan mendengarkan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial
lebih diutamakan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut. Berbagai
metodologi dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset
observasi", untuk menangkap dan memahami simbol-simbol kehendak
masyarakat.
Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandarkan pada paradigma
positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan "rekayasa sosial"
sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan masyarakat.
Masyarakat dalam proses perubahan sosial model positivisme dan rekayasa sosial,
ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh karenanya, mereka
diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh kalangan ilmuwan,
birokrat, dan bahkan koordinator program LSM yang menganut paham positivisme
tersebut. Mereka memisahkan antara masyarakat sebagai objek perubahan, ilmuwan
dan peneliti atau bahkan tenaga lapangan sebagai tenaga-tenaga ilmiah yang objektif,
rasional, tidak memihak, dan bebas nilai, dan birokrat atau negara dalam proses
perubahan sosial berperan sebagai pengambil-pengambil keputusan. Dengan
demikian, proses perubahan sosial penganut paradigma ini, teori perubahan
sosialnya bersifat elitis. Demikian halnya, penganut paradigma struktural akan
memahami masalah sosial dan mengajukan teori perubahan sosial yang berbeda
dibanding teori yang diajukan para penganut fungsionalis maupun fenomenologis.
Bagi para penganut paradigma kritis transformatif, teori perubahan sosial
dimaksudkan sebagai proses yang melibatkan korban untuk perubahan transformasi
sistem dan struktur menuju ke sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses
perubahan sosial berwatak subjektif, memihak, tidak netral, dan untuk terciptanya
keadilan sosial dan oleh karenanya berwatak populis.
Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial tersebut, akan
lebih mudah bagi kita untuk memahami apa motivasi dan dasar pikiran suatu teori
perubahan sosial dan pembangunan. Dengan memahami paradigma sosiologi yang
dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai metodologi dan
pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput. Hal ini
karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial maupun
pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh
seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang
diyakini maupun yang dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja
mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas
sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan
mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu organisasi
melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori
sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun
pilihan pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.
REFLEKSI ATAS AGENDA DAN STRATEGI POLITIK; GERAKAN SOSIAL DI INDONESIA PASCA TUMBANGNYA
REZIM SOEHARTO
Konteks Perubahan di Indonesia
Kita melangsungkan diskusi ini ditengah situasi politik
-ekonomi yang memiliki kecendrungan pada arah terciptanya krisis ekonomi dan
politik yang semakin parah. Harga-harga bahan pokok semakin membumbung tinggi,
kelangkaan minyak dimana-mana, para pejabat semakin terampil dalam melakukan
korupsi, defisit anggaran negara yang semakin menganga, hutang pada pihak luar
negeri yang semakin melilit dan konflik elit politik pun semakin menjadi-jadi.
Kita pahami betul bahwa situasi seperti ini sesungguhnya
telah berlangsung sejak lama. Sudah lebih dari
setengah abad Negara Republik Indonesia berdiri dan pembangunan nasional telah
dijalankan selama lebih dari 40 tahun, namun penghidupan sosial-ekonomi dan
politik massa rakyat tidak juga mengalami perubahan ke arah yang lebih baik. Di
tengah kekayaan sumber daya alam yang melimpah, rakyat Indonesia justru masih
menghadapi kemiskinan dalam berbagai sektor kehidupannya. Kesempatan untuk
memperoleh pekerjaan dan jaminan atas penghidupan yang manusiawi dengan
tersedianya lapangan kerja yang mudah diakses semakin sulit diperoleh bagi
rakyat kecil, mengakibatkan bertambah banyaknya jumlah pengangguran dari tahun
ke tahun. Bagian terbesar dari penduduk miskin Indonesia yang berada di wilayah
pedesaan dengan presentasi 63,41% dari jumlah total penduduk Indonesia. Mereka
terdiri dari kaum tani, komunitas masyarakat adat, nelayan, perempuan, dan para
pemuda yang hidup di wilayah pedesaan. Konsentrasi penguasaan tanah di tangan
sekelompok kecil orang yang memiliki modal besar dan hubungan kuat dengan pihak
pemerintah membuat kehidupan kaum tani di wilayah pedesaan samakin mengalami
kesulitan (untuk mempertahankan) hidup. Di samping monopoli penguasaan tanah di
tangan sekelompok kecil pemilik modal, kaum tani Indonesia juga menghadapi
konflik dan sengketa tanah yang seringkali disertai dengan tindakan-tindakan
kekerasan oleh aparat militer, kepolisian dan birokrasi yang berdimensi
pelanggaran Hak-hak sosial, ekonomi, politik, hukum dan budaya.
Begitu pula dengan komunitas-komunitas masyarakat adat
yang hidup di wilayah-wilayah pedalaman/pegunungan, tidak diakui hak-hak dan
kedaulatannya sebagai satuan masyarakat adat yang memiliki sistem sosial,
ekonomi-politik, hukum dan budaya tersendiri yang mengatur berbagai segi
kehidupan mereka. Klaim sepihak atas wilayah kedaulatan masyarakat adat atas
nama kawasan 'hutan negara' masih terus-menerus dijalankan oleh pemerintah bagi
pengembangan kawasan-kawasan hutan lindung, konservasi maupun hutan-hutan
produksi. Kaum nelayan yang hidup di kawasan pesisir dan wilayah perairan
hingga saat ini tidak memperoleh jaminan perlindungan hak-haknya atas wilayah
tangkap, sarana produksi dan skema pasar yang menguntungkan nelayan.
Praktek-praktek penggunaan Trawl, meskipun secara hukum telah dilarang
operasinya dan telah memperoleh perlawanan yang cukup kuat dari nelayan, justru
terkesan dibiarkan beroperasi oleh pemerintah untuk memonopoli wilayah tangkap
di kawasan perairan yang pada akhirnya membuat tingkat pendapatan nelayan kecil
semakin mengalami kemerosotan.
Pengembangan industri nasional yang bercorak kapitalistik
yang dibangun di atas ‘politik upah murah’ benar-benar telah berhasil membawa
pemiskinan massal di kalangan kaum buruh Indonesia akibat ketidak-mampuan
mereka memenuhi kebutuhan hidupnya sehari-hari dengan upah yang terlalu rendah.
Sistem kerja sub-kontak outsourcing, ancaman Pemutusan Hubungan Kerja (PHK),
dan pembatasan aksi mogok dan kebebasan berorganisasi, telah melucuti penghormatan
dan perlindungan hak-hak kaum buruh Indonesia. Besaran atau nominal upah buruh
yang telah dikeluarkan di berbagai tingkatan (mulai dari sektoral,
kabupaten/Kota, hingga Provinsi) sama sekali jauh dari kebutuhan hidup yang
layak, apalagi jika dikaitkan dengan harga barang kebutuhan pokok yang justru
selalu mengalami kenaikan dari waktu ke waktu.
Di tengah penderitaan kaum tani, nelayan, masyarakat
adat, dan kaum buruh Indonesia, bencana demi bencana silih berganti terjadi,
mulai dari tsunami, kelaparan, banjir, tanah longsor, gempa bumi, lumpur panas,
flu burung, malnutrisi, demam berdarah, kecelakaan udara-laut-darat dan
sebagainya, semakin menambah beban penderitaan rakyat yang memang sudah
dimiskinkan secara sosial, ekonomi dan politik. Sebagaimana telah kita
saksikan, dalam kurun waktu 5 tahun terakhir ini, peristiwa-peristiwa bencana
di berbagai daerah yang membawa korban jiwa dan materiil yang tidak sedikit,
mengalami peningkatan tiga kali lipat dari masa-masa sebelumnya, tanpa upaya
sistematis dan serius dari pemerintah untuk mencari solusi-solusi yang tepat
untuk mengatasinya.
Sudah menjadi kesadaran kita bersama bahwa berbagai
kenyataan dan persoalan-persoalan tersebut sesungguhnya bukanlah sesuatu yang
terjadi secara alamiah, tapi merupakan hasil dari kebijakan-kebijakan
pemerintah di berbagai bidang yang lebih mengabdi pada kepentingan ekonomi
neo-liberal dengan mengorbankan kepentingan dan hak-hak rakyat banyak. Paket
perundang-undangan di bidang ketenagakerjaan misalnya, secara sistematis dirancang
sedemikian rupa untuk melegalkan sistem kerja out-sourcing, memberi
perlindungan dan keuntungan berlipat-ganda kepada investor, mengurangi
pendapatan kaum buruh, dan membatasi ruang-gerak kaum buruh untuk
memperjuangkan kepentingannya. Contoh paling mutakhir adalah upaya keras
pemerintah di dalam merevisi Undang-undang No. 13 tahun 2003 (UUK No.13/2003)
karena desakan dari rezim neo-liberal. Di bidang agraria, meskipun upaya
amandemen Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) 1960 saat ini telah dihentikan
untuk sementara waktu oleh pemerintah, namun berbagai peraturan
perundang-undangan sektoral yang melegalisasi praktek perampasan sumber-sumber
agraria milik rakyat untuk kepentingan modal besar seperti di bidang kehutanan,
perkebunan, pengelolaan wilayah pesisir dan kelautan, sumber daya air, dan
seterusnya, masih terus-menerus dipertahankan, bahkan berupaya direvisi kalau
dibutuhkan bagi kepentingan modal. Perlindungan pemerintah kepada badan usaha
pemilik HGU, HPH, Konsesi Pertambangan yang selama ini telah menyingkirkan
rakyat dari wilayah kelolanya, tindakan-tindakan represi terhadap rakyat yang
masih terus-menerus dijalankan secara terbuka baik oleh aparat militer,
kepolisian, birokrasi maupun dengan menggunakan para militer sipil di berbagai
level, mempertanyakan kesungguhan komitmen politik pemerintah di dalam
menjalankan Reforma Agraria yang sejati.
Lalu bagaimana kondisi subyektif di kalangan gerakan
rakyat di Indonesia di tengah kompleksitas persoalan yang dihadapi massa rakyat
yang selama ini gigih memperjuangkan hak-haknya? Sebagaimana telah menjadi
pemahaman bersama, kekuatan subyektif gerakan rakyat mengalami penurunan yang
cukup tajam semenjak rezim Orde Baru berhasil ditumbangkan tahun 1998 yang
lalu. Kenyataan ini tidak dapat dilepaskan dari kesadaran obyektif massa rakyat
yang masih cenderung terilusi dengan berbagai sogokan-sogokan reformasi,
liberalisasi, demokrasi prosedural, otonomi daerah, dan seterusnya, yang dijajakan
dan disodorkan oleh rezim-rezim yang berkuasa pasca pemerintahan Orde Baru.
Sekalipun demikian, penurunan (kuantitas dan kualitas) gerakan rakyat tidak
patut ditimpakan semata-mata pada kesadaran obyektif massa rakyat yang
cenderung terilusi oleh sogokan-sogokan dari rezim yang berkuasa.
Ketidak-siapan atau kegagapan kalangan organisasi gerakan rakyat di dalam
merespon dan memanfaatkan peluang dari perubahan-perubahan politik yang terjadi
begitu cepat pasca tumbangnya rezim Orde Baru, pada level tertentu sesungguhnya
telah turut pula memberikan kontribusi pada penurunan tingkat progresifitas
gerakan rakyat. Jangankan mempersiapkan diri merespon atau memanfaatkan peluang
dari perubahan-perubahan politik yang ada, dalam beberapa tahun belakangan ini
kekuatan subyektif gerakan rakyat malahan sibuk dengan agenda organisasi, sektor,
dan wilayah masing-masing, bahkan lebih parah lagi, mengalami fragmentasi
kekuatan.
Dalam situasi seperti itu, kekhawatiran terhadap
perubahan yang mengarah pada suatu keadaan yang disebut oleh Sorensen (1993)
sebagai frozen democracies atau demokrasi yang membeku, yakni suatu
keadaan dimana arus perubahan menuju masyarakat demokratik tiba di satu titik
balik atau mengalami pembusukan. Titik balik itu dapat terjadi manakala: (a)
pemerintahan (atau pemerintahan-pemerintahan) baru yang berkuasa tidak mampu
melakukan perubahan-perubahan sosial, politik, dan ekonomi yang mendasar sesuai
dengan tuntutan masyarakat – khususnya yang menyangkut kepentingan kaum miskin;
(b) pemerintah yang baru gagal untuk menuntaskan sejumlah warisan permasalahan
yang akut yang ditinggalkan oleh rezim sebelumnya, seperti kasus-kasus korupsi
dan pelanggaran-pelanggaran HAM; (c) tata tertib dan iklim yang kondusif bagi
kelangsungan proses demokratisasi gagal untuk diciptakan; dan (d) konsolidasi
demokrasi itu sendiri tidak terjadi – yakni praktek-praktek domokrasi tidak berkembang
dan tidak menjadi bagian dari budaya politik (Sorensen, 1993).
Alas Pikir dan Tindak Perjuangan Politik Gerakan Sosial
Menghadapi sejumlah situasi yang tengah dihadapi tersebut, sesungguhnya
muncul satu pertanyaan penting yang patut kita jawab bersama-sama: Apa yang hendak diperbuat
aktor-aktor gerakan sosial di tengah-tengah proses transisi ini? Pertanyaan ini
bukan saja relevan dalam konteks waktu dimana saat ini kita sedang berada di
tengah-tengah proses transisi menuju demokrasi yang menurut suatu studi yang
dipimpin oleh Adam Przeworski – seorang profesor ilmu politik dari Universitas
Chicago – yang mengatakan bahwa pada masyarakat-masyarakat yang berada dalam
transisi demokrasi akan muncul fenomena-fenomena seperti: berkembangnya
ketidakpercayaan politik, skeptisisme, dan sikap apatis yang berhubungan erat
dengan pengalaman panjang masyarakat yang hidup di tengah-tengah kediktaktoran,
sejarah kekacauan dan keterputusan hubungan-hubungan politik, ingatan-ingatan
atas perilaku manipulatif, dan suatu transmisi nilai-nilai apolitis yang
sistematik. Tetapi lebih jauh dari itu adalah budaya gerakan massa yang dapat
melahirkan gerakan-gerakan sosial yang berumur panjang telah hilang dalam
kehidupan sebagian besar rakyat di negeri ini.
Melalui buku terakhirnya, Bebas dari Neoliberalisme,
Mansour Fakih menyampaikan hal-hal yang terkait dengan sejumlah agenda penting
gerakan sosial dalam proses transisi yang lebih banyak dipandu oleh faham
neoliberalisme ini. Pertama adalah mempertahankan
dan merebut kembali negara untuk menjadi pembela hak-hak rakyat dengan memastikan negara untuk
menjaga dan melindungi hak ekonomi, budaya, dan sosial, serta
mengimplementasikan ratifikasi Konvensi PBB atas Hak Asasi Manusia. Kedua, terus menerus melakukan protes sosial untuk mengubah
kebijakan negara dan mencermati kesepakatan negara dengan pasar bebas dan
kebijakan neoliberal. Ketiga, PR terbesar dan tersulit yang mesti
dihadapi setiap gerakan sosial adalah melakukan pengembangan kapasitas counter
discourse and hegemony atas dominasi diskursus neoliberal terhadap
demokratisasi, good governance, dan civil society. Kita di Indonesia
kini tengah menyaksikan tahap awal perkembangan gerakan sosial melawan
kebijakan neoliberal. Kita juga berharap dapat terus mengikuti pertumbuhan
gerakan rakyat untuk mendekonstruksi diskursus dominan dari perspektif
neoliberal. Termasuk di dalamnya adalah gerakan mendekonstruksi diskursus civil
society dan menggantinya dengan ide gerakan sosial melawan kebijakan
neoliberal di Indonesia.” (Fakih, 2003:147).
Karena itu, upaya-upaya untuk memperkuat daya ubah
gerakan sosial di Indonesia tidak hanya sekedar mengembangkan sejumlah tindakan
teknis yang diperlukan untuk kerja-kerja advokasi atau aksi-aksi kolektif itu
sendiri, melainkan yang terpenting adalah: (1) bagaimana mengembalikan gerakan
sosial ke dalam rel kehidupan politik yang sesungguhnya; dan (2) sebagai
implikasinya adalah bagaimana meningkatkan kapasitas berpolitik dari rakyat
atau kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan. Jadi, gerakan
rakyat di Indonesia tidak lagi sekedar diletakkan sebagai upaya untuk mendorong
perubahan kebijakan publik atau sekedar terlibat di dalam proses pembentukan
kebijakan publik, tetapi menjadi bagian dari manuver-manuver politik
kelompok-kelompok rakyat yang selama ini terpinggirkan di dalam ruang-ruang
politik untuk menggeser kekuasaan atau tegasnya dapat disebut sebagai
ruang-ruang perebutan kekuasaan.
Sehubungan dengan perjuangan politik gerakan sosial, maka
konsep umum mengenai kekuasaan itu berkaitan dengan kesadaran struktur peluang
politik yang spesifik (hubungan dalam bidang politik), struktur mobilisasi
(modal sosial), kerangka budaya (modal simbolik) dan identitas bersama
(habitus/disposisi para aktor untuk berpraktik). Sementara itu, kekuatan politik gerakan sosial sendiri sekurang-kurangnya
bersumber pada 4 (empat) hal.
Pertama, sumber
utama terletak ada pada relasi gerakan dengan aktor-aktor dan institusi kunci
dalam bidang politik. Tarrow (1994) melihat bahwa ada stuktur peluang politik
yang kompleks dan dinamis yang dimanfaatkan oleh gerakan sosial untuk mencapai
tujuan. Gerakan sosial ada dalam konteks politik kerja sama dan kompetisi di
dalam masyarakat, yang merefleksikan hubungan formal dan informal diantara dan
di dalam organ-organ masyarakat sipil (Della Porta dan Diani 1999). Kedua,
kemampuan gerakan sosial untuk memobilisasi individu maupun kelompok dalam masyarakat
juga merupakan sumber kekuatan politik lain. Mobilisasi dapat dilakukan dengan
menggunakan infrastruktur sosial seperti jaringan sosial dan institusi, baik
bersifat formal maupun informal. Ketiga, kemampuan gerakan sosial untuk berpartisipasi dalam memperjuangkan
arti hak, isu, aktor dan kebijakan. Gerakan sosial pada umumnya berhasil
memaknai ketidakadilan dan pelanggaran atas suatu kelayakan berdasarkan budaya
yang ada (Zald 1996:226). Kekuatan ini dihadapkan pada suatu kerangka strategis
yang aktif dan kompetitif yang terjadi di berbagai arena, baik dalam gerakan
sosial itu sendiri maupun diantara aktivis dan otoritas sebagai modal simbolis,
yaitu agar diakui sebagai perwakilan resmi suatu kelompok tertentu. Keempat,
kekuatannya lainnya terletak pada kemampuan gerakan sosial untuk membangun
refleksi identitas diri para aktornya. Partisipasi individual dalam aksi
kolektif tidak berdasarkan pada realita yang ada melainkan berdasarkan persepsi
dan interpretasi terhadap hal tersebut, dan gerakan sosial itu sendiri berperan
aktif dalam membangun serta mengkomunikasikan identitas bersama tersebut.
(Melucci 1996). Ini artinya, prinsip-prinsip pengelompokan dan prinsip-prinsip organisasi aksi dalam habitus
merupakan sumber utama kekuatan aksi politik secara kolektif (Stokke 2002).
Lantas bagaimana gerakan sosial dapat mengukur
maju-mundurnya, kuat-lemahnya dan perkembangan capaian-capaian atas gerakan
yang dilakukan? Capaian gerakan tidak sesederhana sebagai
produk dari karakteristik dan aktivitas gerakan itu sendiri, tapi lebih dari
itu sebagai hasil dari interaksi antara organisasi gerakan sosial , organ-organ
yang menjadi target perubahan dan aktor-aktor relevan pada lingkungan yang
lebih luas, serta semua perjuangan untuk memperoleh sumberdaya dan cara
memanfaatkannya untuk keuntungan mereka dibandingkan yang lain (Paul Burstein
et al in the success of political movements; 1995, p.277). Mengukur tingkat
sukes gerakan social harus memperhatikan relasi factor-faktor berikut ini: 1)
karakteristik gerakan social; 2) karakteristik target gerakan (biasanya agen
pemerintah); 3) karakteristik lingkungan ; dan 4) factor-faktor yang
berpengaruh pada bekerjanya berbagai sumberdaya yang terlibat (Jenkins 1983a;
McAdam 1982). Dalam konteks agenda-agenda politik yang dijalankan gerakan
sosial, tingkat kesuksesannya harus didefinisikan dalam bentuk tanggungjawab
sistem politk pada organisasi gerakan sosial secara menyeluruh meskipun dapat
dicapai setahap demi setahap. Pertama, capaian ’akses’ yaitu kesediaan
pemerintahan untuk mendengarkan apa yang menjadi konsern organisasi gerakan
social. Kedua, capaian pada tingkatan agenda yaitu kesediaan
pemerintahan untuk menempatkan agenda-agenda yang didesakkan organisasi gerakan
sosial menjadi agenda-agenda politiknya. Ketiga, capaian kebijakan yaitu
pemerintahan mengadopsi kebijakan baru yang mencerminkan berbagai tuntutan
gerakan sosial. Keempat, capaian pada level output yaitu pemerintahan
secara efektif mengimplementasikan kebijakan baru tersebut. Kelima,
capaian pada level impak yaitu implementasi kebijakan baru tersebut memberikan
dampak pada perbaikan kehidupan kelompok-kelompok rakyat marjinal yang terlibat
dalam gerakan sosial. Keenam, capaian pada level struktur politik yaitu
perubahan sistem politik untuk meningkatkan pengaruh gerakan social . Struktur
kesempatan politik yang baru
ini juga harus memberikan insentif pada aksi-aksi kolektif dan peningkatan
posisi tawar gerakan sosial sehingga membuat upaya-upaya represi semakin sulit
dan mahal
Dinamika Perjuangan Politik Gerakan Sosial di Indonesia:
Konsolidasi Tak Berujung
Telah menjadi kesadaran aktor-aktor gerakan sosial bahwa
buah dari perubahan yang ditandai oleh jatuhnya rezim Soeharto lebih banyak
dinikmati oleh aktor dan kekuatan-kekuatan status quo ketimbang membawa perubahan
kehidupan bagi rakyat secara keseluruhan. Gerakan sosial di Indonesia, umumnya berpendapat, proses
transisi kini dalam bahaya. Demokrasi elektoral telah dibajak oleh elite,
dijadikan sebagai kendaraan baru bagi mereka untuk mempertahankan basis
kekuasaan lamanya dan melanggengkannya.
Meskipun nampak ada persetujuan pada tataran kesadaran
umum tersebut, sesungguhnya kalau ditelusuri lebih lanjut nampak terdapat
perbedaan cara pandang yang secara substansial berbeda dalam menyimpulkan
betapa masa transisi sedang memburuk. Sebagian kelompok dalam gerakan sosial
melihat, persoalan ini terjadi karena piranti penunjang transisi (kelembagaan,
reformasi hukum, birokrasi, dan militer) tidak berjalan mulus. Sebabnya, karena itu tadi, demokrasi elektoral telah
dibajak oleh elite. Solusinya, bagaimana agar gerakan sosial terus berusaha
mendesak para elite (melalui demo atau lobi atau masuk dalam sistem), agar mau
bersungguh-sungguh menjalankan amanat reformasi. Dalam kesungguhan ini, sadar
tak sadar, mereka telah bersikap sebagai seorang teknokrat dengan posisi yang
marjinal.
Gerakan sosial yang lain, memandang defisit demokrasi ini
terjadi karena sistem demokrasi yang diadopsi adalah demokrasi borjuis.
Kelompok ini melihat, demokrasi elektoral memiliki sisi yang positif yakni,
terbukanya sedikit ruang bagi pembangunan dan perluasan gerakan sosial. Tapi,
harus disadari sejak awal, demokrasi borjuis ini sangat terbatas yakni, hanya
melindungi dan menguntungkan posisi borjuasi. Melanggar batas-batas tersebut,
berarti siap berhadapan dengan aparatus kekuasaan. Karena itu, jika gerakan
rakyat sudah besar dan kuat, maka demokrasi borjuasi yang terbatas ini harus
diganti dengan demokrasi yang sejati yakni, demokrasi yang benar-benar menjadikan
rakyat sebagai dasar dan tujuan kekuasaan. Bukan berarti, mereka menolak
berpatisipasi dalam arena demokrasi borjuasi tapi, sikap dasarnya tak pernah
berubah: ketidakpercayaan pada demokrasi elektoral. Tanpa sadar, kelompok ini
terjatuh pada dogmatisme mengenai dikotomi demokrasi borjuis dan demokrasi
sejati tanpa batas.
Catatan
Kritis
Konsolidasi politik kekuatan-kekuatan
status quo telah terbukti berhasil melanggengkan posisi dan dominasinya dalam
berbagai relasi politik, ekonomi dan sosial hingga saat ini. Bukti yang cukup
kuat adalah dari data penguasaan mereka dalam posisi-posisi kekuasaan mulai
dari tingkat pusat sampai daerah. Kekuatan-kekuatan gerakan rakyat tidak
kunjung terkonsolidasi ke dalam agenda politik persatuan. Hal ini lebih banyak
disebabkan oleh persoalan psikologis dan kontestansi antar personal di kalangan
gerakan sendiri ketimbang tajamnya perbedaan-perbedaan yang lebih bersifat
ideologis. Selain itu, konsistensi dalam menjalankan agenda yang telah
disepakati sangat lemah. Seringkali dari pertemuan ke pertemuan hanya
berputar-putar pada persoalan dan agenda yang sama. Praktek
politik elit juga sangat kental ditemukan. Secara umum basis massa rakyat masih
ditempatkan sebagai objek mobilisasi politik bukan sebagai pihak penentu arah,
agenda dan strategi politik itu sendiri. Dalam konteks ini, pejuangan politik
rakyat rakyat terorganisir seharusnya menjadi karakter utama perjuangan politik
gerakan sosial di Indonesia. Dalam menghadapi tantangan dalam medan
pertarungan politik, menempatan setiap organisasi gerakan sosial pada sumbu
horizontal maupun vertical konsolidasi pembangunan kekuatan politik rakyat.
Oleh karena itu, harus diperkuat agenda-agenda untuk memastikan agar organisasi
rakyat : (i) Membangun Kekuatan Politiknya dengan indikasi: memiliki platform
organisasi yang jelas (agenda-agenda perubahan sosial yang jelas dan terumuskan
serta disepakti bersama), memiliki basis massa (konstituen) yang jelas dan
makin membesar serta menguat, memiliki protokol yang jelas dalam membangun
relasi dan jaringan kerja politik, memiliki sistem kaderisasi dan kepemimpinan
yang sistematik, mengembangkan diri sebagai organisasi pembelajaran sosial (social
learning organization); dan (ii) Memperbesar Pengaruh dan Dampak Politiknya
dengan indikasi sejauhmana pememerintahan secara efektif menjalankan
kebijakan-kebijakan baru sesuai dengan yang diperjuangan organisasi-organisasi
rakyat dan lebih jauh dari itu terjadi perubahan struktur kekuasaan yang semula
dihegemoni kekuatan status quo bergeser pada kekuatan-kekuatan yang pro pada
perjuangan rakyat.
[1] Sebuah pengantar
diadaptasi dan diulas kembali dari, Mansour Faqih, Sesat Pikir Teori
Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Insist Press,
Cet. I., 2001) h. 1-16.
[2] Mansour
Faqih, Sesat Pikir Teori Pembangunan dan Globalisasi, (Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, Insist Press, Cet. I., 2001) h. 17-43.
[3] Lihat:
Michael Quin Patton, Alternative Evaluation Research Paradigm. Grand
Forks: University North Dakota, 1970.
[4] Definisi
ini meminjam uraian Popkewitz. Lihat Popkewitz, Thomas. Paradigm and
Ideology in Educational Research. New York: Palmer Press, 1984.
[5] Thomas
Khun (1970) dikenal orang pertama yang membuat terkenal istilah paradigma. Ia tertarik pada perkembangan dan revolusi ilmu pengetahuan, dengan
menganalisis hubungan antara berbagai paradigma dan penelitian ilmiah. Untuk
uraian mengenai paradigma lihat: Thomas Kuhn. The Structures of Scientific
Revolutions. Chicago: The University of Chicago Press, 1970.
[6] Lihat
Ritzer, "Sociology: A Multiple Paradigm Science" dalam Jumal
The American Sociologist No. 10, 1975. hal: 156-157.
[7]
Pertanyaan ini kami adaptasi dan pinjam dari Becker, yang membahas tentang
pilihan-pilihan dalam paradigma dan teori penelitian. Lihat tulisan Becker, "Whose
side are we on? dalam buku yang di edit oleh W.J. Fisltead (Ed.). Qualitative
Methodology Chicago: Markham, 1970.
[8] Paulo
Freire, Pedagogy of the Oppressed. New York: Praeger, 1986.
[9] Lihat
Smith, Themaning of Conscientacao: The Goal of Paulo Freire's Pedagogy
Amherst: Center for International Education, UMASS, 1976.
[10] Pemikiran yang bisa dikategorikan dalam analisis ini adalah para penganut
modernisasi dan developmentalisme. Paham modernisasi selanjutnya menjadi
aliran yang dominan dalam ilmu-i1mu sosial. Misalnya saja dalam antropologi,
pikiran Kuncaraningrat tentang budaya pembangunan sangat berpengaruh bagi
kalangan akademik dan birokrat. Paham modernisasi juga 'berpengaruh'
dalam pemikiran Islam di Indonesia. Adanya yang salah dalam teologi fatalistik
yang dianut umat Islam dianggap sebagai penyebab keterbelakangan. Asumsi itu
dianut oleh kaum modemis sejak Muhammad Abduh atau Jamaluddin Afgani sampai
kelompok pembaharu saat ini seperti Nurcholish Madjid c.s. Lihat: Dr. Harun
Nasution, Pembaharuan dalam Islam, Jakarta; Bulan Bintang, 1978. serta
majalah ulasan tentang "Gerakan Pembaharuan Islam" dalam Ulumul
Quran tahun 1993.
[11] Burnell
and Morgan, Sociological Paradigms and Organizational Analysis London:
Heinemann, 1979.
Komentar
Posting Komentar