PETA ANALISIS SOSIAL
Prawacana
Sebelum dibahas lebih lanjut pada bagian-bagian
berikutnya mengenai berbagai aliran ideologi dan keyakinan serta teori tentang
perubahan sosial dan kritik pembangunan, maka terlebih dahulu dalam bagian ini
diuraikan dan dijelaskan mengenai apa latar belakang yang mempengaruhi terbentuknya
teori-teori tersebut. Salah satu dari banyak hal yang sangat mempengaruhi dan
membentuk suatu teori adalah apa yang dikenal dengan istilah paradigma (paradigm).
Untuk itu uraian pada bagian kedua buku ini akan memfokuskan pembahasan untuk
memahami apa yang sesungguhnya dimaksud dengan paradigma, mengapa dan bagaimana
suatu paradigma terbentuk, serta apa pengaruh paradigma terhadap terbentuknya
teori-teori perubahan sosial dan praktik pembangunan. Pembahasan mengenai
masalah paradigma ini perlu dilakukan mengingat pentingnya paradigma dalam
membentuk dan mempengaruhi teori maupun analisis seseorang. Pada dasarnya tidak
ada suatu pandangan atau teori sosial pun yang bersifat netral dan objektif,
melainkan salah satunya bergantung pada paradigma yang dipergunakan. Namun,
sebelum melangkah lebih lanjut, uraian ini akan dimulai dengan menjawab
pertanyaan dasar apa sesungguhnya yang dimaksud dengan paradigma itu?
Sebagaimana diuraikan Mansour Faqih[1],
paradigma secara sederhana dapat diartikan bagai kacamata atau alat pandang.
Namun, pengertian yang lebih akademis dapat dipahami dari beberapa pemikiran
yang akan diuraikan berikut. Pada dasarnya, istilah paradigma menjadi sangat
terkenal justru setelah Thomas Khun menulis karyanya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolution. Dalam buku itu Khun menjelaskan tentang
model bagaimana suatu aliran teori ilmu lahir dan berkembang menurutnya
disiplin ilmu lahir sebagai proses revolusi paradigma, di mana suatu pandangan
teori ditumbangkan oleh pandangan teori yang lain. Paradigma diartikan sebagai
satu kerangka referensi atau pandangan dunia yang menjadi dasar keyakinan atau
pijakan suatu teori. Berkembangnya suatu paradigma erat kaitannya dengan seberapa
jauh suatu paradigma mampu melakukan konsolidasi dan mendapat dukungan dari
berbagai usaha seperti penelitian, penerbitan, pengembangan, dan penerapan
kurikulum oleh masyarakat ilmiah pendukungnya. Oleh karena itu, untuk memahami
berkembang maupun runtuhnya suatu teori perubahan sosial dan pembangunan erat
kaitannya dengan persoalan yang dihadapi oleh paradigma masing-masing yang
menjadi landasan teori tersebut.
Selain Khun, peneliti pemikir lain seperti Patton (1975)
juga memberikan pengertian paradigma yang tidak jauh dengan apa yang
didefinisikan oleh Khun, yakni sebagai "a world view, a general
perspective, a way of breaking down the complexity of the real world"[2] Dengan demikian, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa
yang dimaksud paradigma adalah konstelasi teori, pertanyaan, pendekatan, selain
dipergunakan oleh suatu nilai dan tema pemikiran. Konstelasi ini dikembangkan
dalam rangka memahami kondisi sejarah dan keadaan sosial, untuk memberikan
kerangka konsepsi dalam memberi makna realitas sosial.[3] Paradigma merupakan tempat kita berpijak dalam melihat
suatu realitas. Justru kekuatan sebuah paradigma terletak pada kemampuannya
membentuk apa yang kita lihat, bagaimana cara kita melihat sesuatu, apa yang
kita anggap masalah, apa masalah yang kita anggap bermanfaat untuk dipecahkan
serta apa metode yang kita gunakan dalam meneliti dan berbuat. Paradigma,
sebaliknya, mempengaruhi apa yang tidak kita pilih, tidak ingin kita lihat,
dan tidak ingin kita ketahui.[4] Oleh karena itu, jika ada dua orang melihat suatu
realitas sosial yang sama, atau membaca ayat dari sebuah kitab suci yang sama,
akan menghasilkan pandangan berbeda, menjatuhkan penilaian dan sikap yang
berbeda pula. Paradigma pulalah yang akan mempengaruhi pandangan seseorang
tentang apa yang "adil dan yang tidak adil", bahkan paradigma
mempengaruhi pandangan seseorang ataupun teori tentang baik buruknya suatu program
kegiatan. Misalnya saja hubungan lelaki prempuan pada suatu masyarakat, atau
hubungan antara majikan dan buruh, oleh suatu paradigma pemikiran disebutkan
sebagai "harmonis saling membantu" dan tidak ada masalah, oleh
paradigma yang lain, akan dilihat sebagai hubungan hegemonik, dominasi gender
ataupun bahkan dianggap eksploitatif. Dalam hal perbedaan paradigma seperti
itu, tidak relevan membicarakan siapa yang salah dan siapa yang benar, karena
masing-masing menggunakan alasan, nilai, semangat, dan visi yang berbeda
tentang fenomena tersebut.
Oleh karena itu, dominasi suatu paradigma terhadap
paradigma yang lain sesungguhnya bukanlah karena urusan "salah atau benar,
yakni yang benar akan memenangkan paradigma yang lain. Ritzer (1975)
mengungkapkan bahwa kemenangan satu paradigma atas paradigma yang lain lebih
disebabkan karena para pendukung paradigma yang menang ini lebih memiliki
kekuatan dan kekuasaan (power) dari pengikut paradigma yang dikalahkan,
dan sekali lagi bukan karena paradigma yang menang tersebut lebih benar atau
'lebih baik dari yang dikalahkan".[5] Demikian halnya dalam memahami dipilihnya atau
diterapkannya suatu aliran teori perubahan sosial maupun pembangunan juga erat
kaitannya dengan kekuasaan penganut paradigma perubahan sosial yang bersangkutan
untuk memenangkannya. Dengan demikian, dominasi atau berkuasanya suatu teori
perubahan sosial ataupun teori pembangunan, adalah lebih karena teori tersebut
yang merupakan hasil atau dibentuk oleh suatu paradigma tertentu, ada kaitannya
dengan kekuatan dan kekuasaan bagi penganut teori tersebut, dan tidak ada
sangkut-pautnya dengan kebenaran teori tersebut. Lantas pertanyaannya mengapa
dan bagaimana kita harus memilih satu paradigma atau teori perubahan sosial
tertentu?
Meskipun penjelasan Kuhn sangat bermanfaat untuk memahami
bagaimana paradigma mempengaruhi terciptanya teori, tetapi penjelasan Kuhn
tentang proses pergantian paradigma menurutnya berjalan secara revolusioner.
Dengan kata lain, bergantinya suatu paradigma melalui pergantian, paradigma
lama mati dan diganti oleh paradigma baru. Penjelasan mengenai pergantian
paradigma ini sudah banyak dibantah orang. Dalam kenyataannya telah terjadi
berbagai fenomena yang tidak dibayangkan oleh Kuhn dalam teorinya. Pertama
telah terjadi pluralitas dan konvergensi teori. Kuhn berpendapat bahwa
paradigma akan selalu menggantikan posisi paradigma lama, dan jika tidak, para
ilmuwan tidak memiliki kerangka kerja yang mapan. Dalam ilmu alam, pandangan
seperti ini memang terjadi. Namun, dalam perkembangan ilmu-ilmu sosial
menunjukkan kecenderungan semakin menguatnya pertikaian antar paradigma, atau
bahkan terjadi dialog antara dua paradigma atau lebih pada era yang sama.
Bahkan, proses teori pada dasarnya adalah terjadinya saling dialog antar teori
dan proses kemampuan teori untuk menyesuaikan diri. Marxisme, misalnya, telah
berkembang setelah berdialog dengan semakin canggihnya kapitalisme. Sebaliknya,
terjadi penguatan gejala dimana teori-teori sosial yang bersandar pada
keyakinan kapitalisme berkembang ke arah penyesuaian diri terhadap kritik.
Dalam perkembangan Marxisme, misalnya, perkembangan dan kritik interen terhadap
praktik perkembangannya, hal ini menghasilkan masuknya analisis hegemoni kultur
dan ideologi dalam Marxisme, sesuatu yang membuat analisis Marxisme saat ini
telah bergeser dari pikiran Marx pertama kali yang lebih memfokuskan pada
analisis ekonomi. Demikian halnya maraknya perkembangan teologi pembebasan (liberation
theology) di Amerika Latin dan tempat-tempat lain adalah suatu adaptasi
akibat dari suatu dialog paradigma. Demikian halnya, perkembangan paham dan
teori kapitalisme dalam perkembangannya hingga seperti saat ini justru belajar
dan mendapat keuntungan dari kritik yang dilakukan oleh teori Marxisme.
Kapitalisme sesungguhnya banyak belajar dan menyesuaikan diri karena mendapat
kritikan dari Marxisme.
Namun, pertanyaan yang lebih mendasar adalah apa manfaat
dan sikap yang diperlukan dalam memahami paradigma sosial. Pada dasarnya
memahami paradigma dan teori perubahan sosial seharusnya tidak sekedar untuk
mempelajari dan memahaminya. Suatu teori ataupun paradigma dipelajari dan
dipahami dalam rangka menegakkan komitmen untuk suatu proses emansipasi,
keadilan sosial dan transformasi sosial. Persoalan pilihan terhadap pardigma
dan teori perubahan sosial maupun teori pembangunan pada dasarnya bukanlah
karena alasan benar dan salahnya teori tersebut, pilihan suatu teori lebih
karena dikaitkan dengan persoalan mana teori yang akan berakibat pada
penciptaan emansipasi dan penciptaan hubungan-hubungan dan struktur yang secara
mendasar lebih baik. Oleh karena itu, memilih paradigma dan teori perubahan
sosial adalah suatu pemihakan dan berdasarkan nilai-nilai tertentu yang
dianut. Pertanyaan yang penting diajukan di sini adalah siapa dan dengan tujuan
apa sesungguhnya kegiatan dan aksi kita diabdikan? Masalah siapa yang ingin
kita pecahkan melalui aksi dan program kegiatan kita? Jadi, masalahnya bukanlah
apakah kita harus memihak, karena pemihakan adalah mustahil untuk dapat
dihindarkan bagi semua teori perubahan sosial dan teori pembangunan, tetapi
masalahnya adalah kepada siapa atau kepada apa pemihakan tersebut diabdikan.[6] Untuk menjawab persoalan ini, diperlukan pemahaman
paradigma sosiologi yang menjadi kacamata dan dasar bertindak dibalik setiap
teori perubahan sosial maupun pembangunan.
BAGIAN I
Paradigma-paradigma Ilmu-ilmu Sosial
Untuk memberikan bingkai bagaimana memahami teori
perubahan sosial, termasuk di dalamnya teori pembangunan, kita perlu mengenal
peta paradigma dalam ilmu sosial. Ada beberapa peta pendekatan yang telah
dihasilkan oleh para ahli ilmu sosial. Dalam rangka itu, berikut diuraikan
beberapa model paradigma dalam melihat masalah sosial. Pertama adalah model
pemetaan paradigma sosial yang diuraikan oleh salah seorang penganut mazhab
Frankfurt, terutama Jurgen Habermas. Model pembagian paradigma kedua adalah
dengan mengikuti tokoh pemikir pendidikan kritis asal Brazil, Paulo Freire.
Sedangkan model ketiga adalah peta paradigma sosiologi yang dibuat oleh Barnel
dan Morgan (1979).
Ilmu Sosial Paradigma Dominatif Lawan Emansipatoris
Meminjam analisis Habermas yang secara sederhana membagi
paradigma ilmu-ilmu sosial menjadi tiga paradigma, dapat digunakan untuk
memahami suatu sudut perbedaan paradigma dalam ilmu-ilmu sosial. Habermas pada
dasarnya membagi paradigma ilmu sosial dalam pembagian yang secara sederhana
dapat dipahami sebagai berikut. Menurutnya ilmu sosial dapat dibedakan menjadi
tiga paradigma yang dapat secara sederhana diuraikan sebagai berikut;
Pertama, yang
disebutnya sebagai instrumental knowledge. Dalam perspektif paradigma 'instrumental'
ini, pengetahuan lebih dimaksudkan untuk menaklukkan dan mendominasi objeknya.
Yang dimaksud Habermas dengan paradigma pengetahuan instrumental ini
sesungguhnya adalah paradigma positivisme. Positivisme pada
dasarnya adalah ilmu sosial yang dipinjam dari pandangan, metode, dan teknik
ilmu alam dalam memahami realitas. Positivisme adalah aliran filsafat yang
berakar pada tradisi ilmu sosial yang dikembangkan dengan mengambil cara ilmu
alam menguasai benda, yakni dengan kepercayaan adanya universalisme dan generalisasi,
melalui metode determinasi, fixed law atau kumpulan hukum teori
(Schoyer, 1973). Positivisme berasumsi bahwa penjelasan sifat universal,
artinya cocok atau appropriate untuk semua, kapan saja, di mana saja
suatu fenomena sosial. Oleh karena itu, mereka percaya babwa riset sosial harus
didekati dengan metode ilmiah, yakni obyektivitas, netral, dan bebas nilai.
Pengetahuan selalu menganut hukum ilmiah yang bersifat universal, prosedur
harus dikuantifikasi dan diverifikasi dengan metode scientific atau ilmiah.
Dengan kata lain, positivisme mensyaratkan pemisahan fakta dan nilai (values)
dalam rangka menuju pemahaman objektif atas realitas sosial.
Sebutan "kaum positivist" berkesan
sentimen dan merupakan diskursus yang di dalamnya memuat suatu strategi daripada
mengacu pada pengertian bahasa yang mendalam dan bermanfaat untuk menjelaskan
kata positif lawan yang negatif dari konsep itu. Istilah itu digunakan untuk
mengacu pada suatu sikap dan pendirian epistemologis tertentu. Positivisme
sering dicampur-adukkan dengan 'empirisme' sehingga membuat rancu
beberapa pengertian pokoknya. Pendirian epistemologis kaum positivis kalau
ditelaah lebih dalam didasarkan pada pendekatan yang digunakan dalam "ilmu
alam," atau dengan kata lain, lebih jelas dapat dikatakan bahwa ilmu
sosial positivistik, pada dasamya meminjam cara, metodologi, sikap dan visi
bagaimana ilmu alam menghadapi objek studi mereka yakni benda dan fenomena
alam. Perbedaan utamanya terletak pada istilah yang digunakan dan objek yang
dihadapi. Dalam ilmu alam objeknya adalah benda dan fenomena alam, sedangkan
positivisme memberlakukan masyarakat atau manusia seperti ilmu alam
memperlakukan benda dan fenomen alam. Tatanan sosial dapat dibuktikan
kebenarannya melalui penelitian eksperimental, atau laboratorium, meskipun
sering terjadi hipotesis keliru yang tak pernah dapat dibuktikan kebenarannya.
Kaum verifikasionis (membuktikan kebenaran, dan falsifikasionis
(membuktikan kekeliruan) hipotesis tentang tatanan sosial, sependapat bahwa
pengetahuan hakikatnya merupakan proses akumulasi di mana pemahaman baru
diperoleh sebagai tambahan atas kumpuIan pengetahuan atau penghapusan atas
hipotesis salah yang pernah ada.
Dengan pendekatan seperti itu, ilmu sosial dengan paradigma
positivisme lebih mensyaratkan sikap-sikap tertentu yang tercermin dalam
metodologi dan teknik kajian mereka. Di antara banyak sikap yang kemudian
disebutkan sebagai sikap "ilmiah" tersebut adalah bahwa ilmu sosial
dan penelitian sosial haruslah bersikap netral dan tidak memihak. Selain itu,
ilmu sosial bagi paradigma positivisme juga tidak boleh bersifat subjektif,
melainkan harus objektif, rasional, tidak boleh emosional, komitmen dan empati.
Ilmu sosial juga harus mampu menjaga jarak (detachment) terhadap objek
studi dan hasil kajian, bersikap universal, dapat diterapkan di mana saja dan
kapan saja.
Untuk memahami lebih lanjut pendirian paradigma
positivisme, kita dapat memahaminya melalui pendirian teori-teori
anti-positivisme. Meskipun epistemologis kaum antipositivis beragam jenisnya,
semuanya tidak menerima berlakunya kaidah-kaidah universalitas, bahwa yang
terjadi pada suatu tatanan sosial tertentu tidak secara serta merta akan
berlaku pada semua tatanan atau peristiwa sosial. Realitas sosial adalah nisbi,
hanya dapat dipahami dari pandangan orang per orang yang langsung terlibat
dalam peristiwa sosial tertentu. Mereka menolak kedudukan sebagai 'peneliti
dan pengamat' atau pengembang masyarakat ahli luar seperti layaknya
kedudukan kaum positivis. Seorang hanya bisa "mengerti" dengan
'memasuki' kerangka pikir orang yang terlibat langsung atau diri mereka
sendiri sebagai peserta atau pelaku dalam tindakan. Seseorang hanya mengerti
dari sisi dalam, bukan dari luar realitas sosial, betapa pun ahlinya karena
ilmu sosial bersifat subjektif, dan menolak anggapan bahwa ilmu pengetahuan
dapat ditemukan sebagai pengetahuan objektif.
Kalau kita pelajari secara mendalam, sesungguhnya ada dua
tradisi pemikiran besar yang mewamai perkembangan ilmu dan analisis sosial
selama lebih dari dua ratus tahun terakhir, yakni pertikaian antara postivisme
dan idealisme Jerman. Aliran ini mewakili pandangan yang berusaha menerapkan
cara dan bentuk penelitian alam ke dalam pengkajian peristiwa kemanusiaan.
Realitas sosial disamakan dengan realitas alam. Dengan meniru kaum realis dalam
ontologinya, epistimologi kaum positivis, pandangan deterministik mengenai
sifat manusia dan nomotetis metodologinya. Sementara itu, lawannya adalah
tradisi "idealisme Jerman". Aliran ini menyatakan bahwa realitas
tertinggi bukan kenyataan lahir yang dapat dilihat indera, tetapi justru pada
"ruh" atau gagasan". Oleh karena itu epistiomologi mereka
anti-positivis di mana sifat subjektivitas dari peristiwa kemanusiaan lebih
penting dan menolak cara dan bentuk penelitian ilmu alam.
Kedua, adalah
paradigma interpretative. Latar belakang perkembangan paradigma interpretatif
ini dapat ditelusuri dari pergumulan dalam teori ilmu sosial sebelum tahun 1970
ketika telah mulai berkembang suatu tradisi besar terutama di bidang filsafat
sosial dengan munculnya fenomenologi, etnometodologi dan teori-teori aksi.
Aliran-aliran filsafat sosial ini selain menyatakan pendiriannya sendiri sering
juga menentang aliran sosiologi positivisme. Aliran-aliran ini dapat dipahami
dengan baik dengan mengenali perbedaan-perbedaan anggapan dasarnya
masing-masing. Aliran hermeneutic knowledge atau juga dikenal
dengan paradigma interpretative, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa
pengetahuan dan khususnya ilmu-ilmu sosial dan penelitian sosial dalam paradigma
ini 'hanya' dimaksud untuk memahami secara sungguh-sungguh. Dasar filsafat
paradigma interpretative adalah phenomenology dan hermeneutics, yaitu tradisi
filsafat yang lebih menekankan minat yang besar untuk memahami. Semboyan yang
terkenal dari tradisi ini adalah "biarkan fakta bicara atas nama
dirinya sendiri". Namun dalam paradigma ini pengetahuan tidak
dimaksudkan sebagai proses yang membebaskan. Misalnya saja yang termasuk dalam
paradigma ini adalah ethnography dalam tradisi kalangan antropolog.
Ketiga,
adalah paradigma yang disebut sebagai "paradigma kritik" atau critical/
emancipatory knowledge. Ilmu sosial dalam paradigma ini lebih dipahami
sebagai proses katalisasi untuk membebaskan manusia dari segenap
ketidakadilan. Melalui kritik yang mendasar terhadap ilmu sosial yang
mendominasi (instrumental knowledge), paradigma kritis ini menganjurkan
bahwa ilmu pengetahuan terutama ilmu-ilmu sosial tidak boleh dan tidak mungkin
bersifat netral. Paradigma kritis memperjuangkan pendekatan
yang bersifat holistik, serta menghindari cara berpikir deterministik dan
reduksionistik. Oleh sebab itu, mereka selalu melihat realitas sosial dalam
perspektif kesejarahan. Paradigma kritis tidak hanya terlibat dalam teori yang
spekulatif atau abstrak, tetapi lebih dikaitkan dengan pemihakan dan upaya
emansipasi masyarakat dalam pengalaman kehidupan mereka sehari-hari.
Implikasi dari kritik paradigma ini terhadap positivisme
menyadarkan kita akan perlunya perenungan tentang moralitas ilmu dan
penelitian sosial. Oleh karena teori dan penelitian sosial begitu berpengaruh
terhadap praktik perubahan sosial seperti program pembangunan, maka paradigma
ilmu dan penelitian sosial adalah faktor penting yang menentukan arah perubahan
sosial. ltulah mengapa paradigma kritik selalu mempertanyakan "mengapa
rakyat dalam perubahan sosial" selalu diletakkan sebagai passive
objects untuk diteliti, dan selalu menjadi objek "rekayasa sosial"
bagi penganut positivisme. Positivisme percaya bahwa rakyat tidak mampu
memecahkan masalah mereka sendiri. Perubahan sosial harus didesain oleh ahli,
perencana yang bukan rakyat, kemudian dilaksanakan oleh para teknisi. Rakyat
dalam hal ini dilihat sebagai masalah dan hanya para ahli yang berhak untuk
memecahkannya.
Sebaliknya, pandangan paradigma kritik justru menempatkan
rakyat sebagai subjek utama perubahan sosial. Rakyat harus diletakkan sebagai
pusat proses perubahan dan penciptaan maupun dalam mengontrol pengetahuan
mereka. Inilah yang menjadi dasar sumbangan teoretik terhadap perkembangan
participatory research. Kritik terhadap positivisme dilontarkan karena
pengetahuan tersebut menciptakan dominasi yang irasional dalam masyarakat
modern. Ilmu sosial harus mampu memungkinkan setiap orang untuk memberikan
partisipasi dan kontribusinya. Pemikiran tersebut mempengaruhi arah ilmu
sosial kritis yang menekankan pentingnya subjektivitas manusia, pemihakan dan
kesadaran dalam proses membangun teori. Paradigma kritis inilah yang memberikan
legitimasi terhadap ilmu sosial pembebasan, yang tadinya dianggap 'tidak
ilmiah' tersebut. ltulah sebabnya paradigma kritik sekaligus merupakan kritik
terhadap paradigma dominasi dan interpretasi.
Dengan kerangka peta pembagian paradigma seperti itu,
kita dapat memahami dan menyadari segenap perkembangan, asumsi, dan konflik
antar berbagai teori perubahan sosial dan kritik terhadap teori-teori
pembangunan yang menjadi fokus utama pembahasan-pembahasan dalam berbagai
uraian pada bagian-bagian berikutnya.
Dari Paradigma Reformasi ke Transformasi: Peta Kesadaran
Freire
Arena perbedaan paradigma yang lain yang juga berpengaruh
dalam perkembangan dan kajian teori perubahan sosial dan teori pembangunan
adalah dengan meminjam pembagian paradigma yang dikembangkan oleh Paulo Freire.
Ketika Freire (1970) menerbitkan buku Pedagogy of the Oppressed yang
pertama kali diterbitkan dalam bahasa Inggris tahun 1970, umumnya orang menyangka
bahwa ia sedang melakukan kritik terhadap dunia pendidikan. Namun, dengan
membaca karya Freire lainnya, terutama mendengar dialognya dengan tokoh social
movement Amerika Serikat, Miles Horton, yang dibukukan dengan judul We
Making the Road by Walking (1990), orang baru sadar bahwa Freire sedang
berbicara soal yang lebih luas dari dunia pendidikan yakni mengenai paradigma
perubahan sosial. Dia mengakui sangat dipengaruhi oleh Gramsci, seorang pemikir
kebudayaan yang radikal yang pertama kali mengupas bahwa sesungguhnya
peperangan yang terpenting pada abad modern ini adalah ideologi, yang
disebutnya sebagai proses 'hegemony'. Dari situlah orang baru menyadari
bahwa Freire sedang membicarakan pendidikan dalam kaitannya dengan struktur dan
sistem budaya, ekonomi, dan politik yang lebih luas.
Tugas teori sosial menurut Freire adalah melakukan apa
yang disebutnya sebagai conscientizacao atau proses penyadaran terhadap
sistem dan struktur yang menindas, yakni suatu sistem dan struktur. Proses
dehumanisasi yang membunuh kemanusiaan. Gramsci menyebut proses ini sebagai
upaya counter hegemony. Proses dehumaniasi tersebut terselenggara
melalui mekanisme kekerasan, baik yang fisik dan dipaksakan, maupun melalui
cara penjinakan yang halus, yang keduanya bersifat struktural dan sistemik.
Artinya kekerasan dehumanisasi tidak selalu berbentuk jelas dan mudah
dikenali. Kemiskinan struktural, misalnya, pada dasarnya adalah suatu bentuk
kekerasan yang memerlukan analisis untuk menyadarinya. Bahkan, kekerasan
sebagian besar terselenggara melalui proses hegemoni: cara pandang, cara
berfikir, ideologi, kebudayaan, bahkan selera, golongan yang mendominasi telah
dipengaruhkan dan diterima oleh golongan yang didominasi. Dengan begitu,
pendidikan dan ilmu pengetahuan, sebagaimana kesenian, bukanlah arena netral
tentang estetika belaka. Kesenian dan kebudayaan tidaklah berada dalam ruang
dan masa yang steril, melainkan dalam sistem dan struktur yang bersifat
hegemonik.
Freire (1970) membagi ideologi teori sosial dalam tiga
kerangka besar yang didasarkan pada pandangannya terhadap tingkat kesadaran
masyarakat.[7] Tema pokok gagasan Freire pada dasarnya mengacu pada
suatu landasan bahwa pendidikan adalah "proses memanusiakan manusia
kembali". Gagasan ini berangkat dari suatu analisis bahwa sistem
kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, menjadikan
masyarakat mengalami proses 'dehumanisasi'. Pendidikan, sebagai bagian
dari sistem masyarakat, justru menjadi pelanggeng proses dehumanisasi tersebut.
Secara lebih rinci Freire menjelaskan proses dehumanisasi tersebut dengan
menganalisis tentang kesadaran atau pandangan hidup masyarakat terhadap diri
mereka sendiri. Freire menggolongkan kesadaran manusia menjadi: kesadaran magis
(magical consciousnees), kesadaran naif (naival consciousnees)
dan kesadaran kritis (critical consciousness). Bagaimana kesadaran
tersebut dan kaitannya dengan sistem pendidikan dapat secara sederhana
diuraikan sebagai berikut.[8]
Pertama, kesadaran magis, yakni suatu keadaan
kesadaran, suatu teori perubahan sosial yang tidak mampu mengetahui hubungan
atau kaitan antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya saja suatu teori
yang percaya akan adanya masyarakat miskin yang tidak mampu, kaitan kemiskinan
mereka dengan sistem politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih mengarahkan
penyebab masalah dan ketakberdayaan masyarakat dengan faktor-faktor di luar
manusia, baik natural maupun super natural. Dalam teori perubahan
sosial jika proses analisis teori tersebut tidak mampu mengaitkan antara sebab
dan musabab suatu masalah sosial, proses analisis teori sosial tersebut dalam
perspektif Freirean disebut sebagai teori sosial fatalistik. Suatu teori
sosial bisa dikategorikan dalam model pertama ini jika teori yang dimaksud
tidak memberikan kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap
satu permasalahan masyarakat. Masyarakat secara dogmatik menerima 'kebenaran'
dari teoretisi sosial tanpa ada mekanisme untuk memahami 'makna' ideologi
setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat.
Yang kedua adalah apa yang disebutnya sebagai
"Kesadaran Naif". Keadaan yang dikategorikan dalam kesadaran
ini adalah lebih melihat 'aspek manusia' sebagai akar penyebab masalah
masyarakat. Dalam kesadaran ini 'masalah etika, kreativitas, 'need for
achievement' dianggap sebagai penentu dalam perubahan sosial. Jadi, dalam
menganalisis mengapa suatu masyarakat miskin, bagi analisis kesadaran ini,
adalah disebabkan oleh kesalahan masyarakat sendiri, yakni mereka malas, tidak
memiliki jiwa kewiraswastaan, atau tidak memiliki budaya 'pembangunan', dan
seterusnya.[9] Oleh karena itu, man power development adalah
sesuatu yang diharapkan, akan menjadi pemicu perubahan. Teori perubahan sosial
dalam konteks ini berarti suatu teori yang tidak mempertanyakan sistem dan
struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada dianggap sudah baik dan benar,
merupakan faktor given dan, oleh sebab itu, tidak perlu dipertanyakan. Tugas
teori sosial adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar masyarakat bisa
beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut. Paradigma inilah yang
dikategorikan sebagai paradigma perubahan yang bersifat reformatif dan bukanlah
paham perubahan yang bersifat transformatif.
Kesadaran ketiga adalah yang disebut sebagai
kesadaran kritis. Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai
sumber masalah. Pendekatan struktural menghindari blaming the victims
dan lebih menganalisis secara kritis struktur dan sistem sosial, politik,
ekonomi dan budaya dan bagaimana kaitan tersebut berakibat pada keadaan
masyarakat. Paradigma kritis dalam teori perubahan sosial memberikan ruang
bagi masyarakat untuk mampu mengidentifikasi 'ketidakadilan' dalam sistem dan
struktur yang ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan
struktur itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas teori sosial
dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesempatan agar masyarakat
terlibat dalam suatu proses dialog "penciptaan struktur yang secara
fundamental baru dan lebih baik atau lebih adil". Kesadaran ini pula yang
disebut sebagai kesadaran transformatif.
Diagram 1
Peta analisis kesadaran masyarakat, Paulo Freire (1970)
KESADARAN MAGIS
|
KESADARAN NAIF
|
KESADARAN KRITIS
|
Magical
Consciousness
|
Naival
Consciousness
|
Critical
Consciousness
|
Perubahan sosial ditentukan oleh:
NATURAL,
SUPERNATURAL
|
Perubahan sosial ditentukan oleh:
ETIKA, KREATIFITAS, NEED FOR ACHIEVEMENT
|
Perubahan sosial ditentukan oleh:
SISTEM SOSIAL, EKONOMI, POLITIK & BUDAYA
|
Berimplikasi pada:
Kesadaran Fatalistik
|
Berimplikasi pada:
Kesadaran Reformatif
|
Berimplikasi pada:
Kesadaran Transformatif
|
Dengan menggunakan paradigma yang dikembangkan Freire ini
membantu kita untuk dapat memahami bagaimana logika berbagai teori sosial yang
akan dibahas dikembangkan. Dengan demikian, teori modernisasi dan pembangunan
serta berbagai teori pendukung setelahnya dalam epistimologi, atau menurut
paradigma kesadaran Freire dapat digolongkan dalam kesadaran naif, karena bukan
struktur yang lebih dipersoalkan melainkan manusianya dan oleh karenanya
bersifat reformatif. Sementara itu, paradigma dan teori perubahan sosial kritik
yang dibahas dalam bab berikutnya dalam perspektif Freire dapat digolongkan
dalam kesadaran kritis dan merupakan proses perubahan sosial menuju lebih adil
yang bersifat transformatif.
Uraian pembagian peta paradigma yang dipinjam dari
analisis Freire tersebut, selain dapat digunakan sebagai pisau analisis untuk
memahami dan memetakan teori-teori perubahan sosial dan teori-teori
pembangunan, peta paradigma tersebut juga sangat berpengaruh terhadap para
praktisi pengembangan masyarakat ataupun pemberdayaan masyarakat di akar
rumput. Banyak praktisi pembangunan dalam berhadapan maupun mengembangkan
program-programnya di masyarakat dipengaruhi oleh jenis kesadaran yang mendominasi
pemikiran dan analisis para praktisi sehingga sangat berpengaruh terhadap
pendekatan maupun metodologi program mereka. Para praktisi pengembangan
masyarakat yang mengembangkan program "pemberdayaan masyarakat",
tetapi dalam melakukan analisis terhadap "masalah kemiskinan"
masyarakat bersandar pada analisis kesadaran naif dan reformatif, akan
melahirkan program yang berbeda dengan jika mereka dipengaruhi oleh analisis
yang bersandar pada kesadaran kritis untuk transformasi sosial.
Paradigma-paradigma Sosiologi
Untuk lebih mempertajam pemahaman dan seluk-beluk peta
paradigma yang dapat digunakan untuk memahami teori-teori perubahan sosial dan
teori pembangunan, maka perIu juga kita memetakan secara lebih luas paradigma
dalam ilmu sosiologi. Untuk itu dalam bagian ini dikemukakan dan disajikan
peta paradigma sosiologi yang dikembangkan oleh Burnell dan Morgan (1979).
Burnell dan Morgan membuat suatu pemetaan paradigma sosiologi yang dapat
membantu kita untuk memahami 'cara pandang' berbagai aliran dan teori ilmu-ilmu
sosial. Mereka membantu memecahkan sumber utama keruwetan peta teori ilmu
sosial dengan mengajukan peta filsafat dan teori sosial.[10] Secara sederhana mereka mengelompokkan teori sosial ke
dalam empat kunci paradigma. Empat paradigma itu dibangun atas pandangan yang
berbeda mengenai dunia sosial. Masing-masing pendirian dalam kebenarannya dan
melahirkan analisis tentang kehidupan sosial. Sejak tahun 1960-an sesungguhnya
telah muncul berbagai aliran pemikiran sosiologi yang dalam perkembangannya
justru tidak membantu untuk memperjelas peta paradigma sosiologi. Namun pada
awal tahun 1970-an terjadi kebutuhan dalam perdebatan sosiologi mengenai sifat
ilmu sosial dan sifat masyarakat seperti halnya terjadi pada tahun 1960-an.
Untuk memecahkan kebuntuan itu mereka usulkan untuk menggunakan kembali unsur
penting dari perdebatan 1960-an, yakni cara baru dalam menganalisis empat
paradigma sosiologi yang berbeda. Empat paradigma itu ialah: Humanis Radikal, srukturalis
radikal, interpretatif dan Fungsionalis. Keempat paradigma itu satu dengan
yang lain memiliki pendirian masing-masing, karena memang memiliki dasar
pemikiran yang secara mendasar berbeda.
Sifat dan kegunaan empat paradigma tersebut adalah selain
untuk memahami dan menganalisis suatu praktik sosial, juga untuk memahami
ideologi dibalik suatu teori sosial. Paradigma sebagai anggapan-anggapan
meta-teoretis yang mendasar yang menentukan kerangka berpikir, asumsi dan cara
bekerjanya teori sosial yang menggunakannya. Di dalamnya tersirat kesamaan
pandangan yang mengikat sekelompok penganut teori mengenai cara pandang dan
cara kerja dan batas-batas pengertian yang sama pula. Jika ilmuwan sosial
menggunakan paradigma tertentu, berarti memandang dunia dalam satu cara yang
tertentu pula. Peta yang digunakan di sini adalah menempatkan empat pandangan
yang berbeda mengenai sifat ilmu sosial dan sifat masyarakat yang didasarkan
pada anggapan-anggapan meta-teoretis. Empat paradigma itu merupakan cara
mengelompokkan kerangka berpikir seseorang dalam suatu teori sosial dan
merupakan alat untuk memahami mengapa pandangan-pandangan dan teori-teori
tertentu dapat lebih menampilkan sentuhan pribadi dibanding yang lain. Demikian
juga alat untuk memetakan perjalanan pemikiran teori sosial seseorang terhadap
persoalan sosial. Perpindahan paradigma sangat dimungkinkan terjadi, dan hal
ini sama bobotnya dengan pindah agama. Misalnya, apa yang pernah terjadi pada
Karl Marx yang dikenal Marx tua dan Marx muda, yakni perpindahan dari humanis
radikal ke strukturalis radikal Perpindahan ini disebut epistemological
break.
Paradigma Fungsionalis
Paradigma fungsionalisme sesungguhnya merupakan aliran
pemikiran yang paling banyak dianut di dunia. Pandangan fungsionalisme berakar
kuat pada tradisi sosiologi keteraturan. Pendekatannya terhadap permasalahan
berakar pada pemikiran kaum obyektivis. Pemikiran fungsionalisme sebenarnya
merupakan sosiologi kemapanan, ketertiban sosial, stabilitas sosial,
kesepakatan, keterpaduan sosial, kesetiakawanan, pemuasan kebutuhan, dan
hal-hal yang nyata (empirik). Oleh karenanya, kaum fungsionalis cenderung
realis dalam pendekatannya, positivis, deterministis dan nomotetis.
Rasionalitas lebih diutamakan dalam menjelaskan peristiwa atau realitas sosial.
Paradigma ini juga lebih berorientasi pragmatis, artinya berusaha melahirkan
pengetahuan yang dapat diterapkan, berorientasi pada pemecahan masalah yang
berupa langkah-langkah praktis untuk pemecahan masalah praktis juga. Mereka
lebih mendasarkan pada "filsafat rekayasa sosial” (social
engineering) sebagai dasar bagi usaha perubahan sosial, serta menekankan
pentingnya cara-cara memelihara, mengendalikan atau mengontrol keteraturan,
harmoni, serta stabilitas sosial.
Paradigma ini pada dasamya berusaha menerapkan metode
pendekatan pengkajian masalah sosial dan kemanusiaan dengan cara yang digunakan
ilmu alam dalam memperlakukan objeknya. Paradigma ini dimulai di Prancis pada
dasawarsa pertama abad ke-19 karena pengaruh karya Comte, Spencer, Durkheim,
dan Pareto. Aliran ini berasal dari asumsi bahwa realitas sosial terbentuk oleh
sejumlah unsur empirik nyata dan hubungan antar semua unsur tersebut dapat
dikenali, dikaji, diukur dengan pendekatan dan menekankan alat seperti yang
digunakan dalam ilmu alam. Menggunakan kias ilmu mekanika dan biologi untuk
menjelaskan realitas sosial pada dasarnya adalah prinsip yang umumnya digunakan
oleh aliran ini. Namun demikian, sejak awal abad ke-20, mulai terjadi pergeseran,
terutama setelah dipengaruhi oleh tradisi pemikiran idealisme Jerman seperti
pemikiran Max Weber, Geroge Simmel dan George Herbet Mead. Sejak saat itu
banyak kaum fungsionalis mulai meninggalkan rumusan teoretis dari kaum
objektivis dan mulai bersentuhan dengan paradigma interpretatif yang lebih
subjektif. Kias mekanika dan biologi mulai bergeser melihat manusia atau
masyarakat, suatu pergeseran pandangan menuju para pelaku langsung dalam
proses kegiatan sosial.
Pada tahun 1940-an pemikiran sosiologi "perubahan
radikal" mulai menyusupi kubu kaum fungsionalis untuk meradikalisasi
teori-teori fungsionalis. Sungguhpun telah terjadi persentuhan dengan
paradigma lain, paradigma fungsonalis tetap saja secara mendasar menekankan
pemikiran objektivisme dan realitas sosial untuk menjelaskan keteraturan sosial. Karena persentuhan dengan paradigma
lain itu sebenarnya telah lahir beragam pemikiran yang berbeda atau campuran
dalam paham fungsionalis.
Paradigma Interpretatif (Fenomenologi)
Paradigma interpretatif sesungguhnya menganut pendirian
sosiologi keteraturan seperti halnya fungsionalisme, tetapi mereka menggunakan
pendekatan objektivisme dalam analisis sosialnya sehingga hubungan mereka
dengan sosiologi keteraturan bersifat tersirat. Mereka ingin memahami kenyataan
sosial menurut apa adanya, yakni mencari sifat yang paling dasar dari kenyataan
sosial menurut pandangan subjektif dan kesadaran seseorang yang langsung
terlibat dalam peristiwa sosial bukan menurut orang lain yang mengamati.
Pendekatannya cenderung nominalis, antipositivis dan
ideografis. Kenyataan sosial muncul karena dibentuk oleh kesadaran dan tindakan
seseorang. Karenanya, mereka berusaha menyelami jauh ke dalam kesadaran dan
subjektivitas pribadi manusia untuk menemukan pengertian apa yang ada di balik
kehidupan sosial. Sungguhpun demikian, anggapan-anggapan dasar mereka masih
tetap didasarkan pada pandangan bahwa manusia hidup serba tertib, terpadu dan
rapat, kemapanan, kesepakatan, kesetiakawan. Pertentangan, penguasan, benturan
sama sekali tidak menjadi agenda kerja mereka. Mereka terpengaruh lansung oleh
pemikiran sosial kaum idealis Jerman yang berasal dari pemikiran Kant yang
lebih menekankan sifat hakikat rohaniah daripada kenyataan sosial. Perumus
teori ini yakni mereka yang penganut filsafat fenomenologi antara lain Dilttey,
Weber, Husserl, dan Schutz.
Paradigma Humanis Radikal
Para penganut humanis radikal pada dasamya berminat
mengembangkan sosiologi perubahan radikal dari pandangan subjektivis yakni
berpijak pada kesadaran manusia. Pendekatan terhadap ilmu sosial sama dengan
kaum interpretatif yaitu nominalis, antipositivis, volunteris dan ideografis.
Kaum humanis radikal cenderung menekankan perlunya menghilangkan atau
mengatasi berbagai pembatasan tatanan sosial yang ada. Namun demikian,
pandangan dasar yang penting bagi humanis radikal adalah bahwa kesadaran
manusia telah dikuasai atau dibelenggu oleh supra struktur idiologis di luar
dirinya yang menciptakan pemisah antara dirinya dengan kesadarannya yang murni
(alienasi), atau membuatnya dalam kesadaran palsu (false
consciousness) yang menghalanginya mencapai pemenuhan dirinya sebagai
manusia sejati. Karena itu, agenda utamanya adalah memahami kesulitan manusia
dalam membebaskan dirinya dari semua bentuk tatanan sosial yang menghambat
perkembangan dirinya sebagai manusia. Penganutnya mengecam kemapanan
habis-habisan. Proses-proses sosial dilibat sebagai tidak manusiawi. Untuk itu
mereka ingin memecahkan masalah bagaimana manusia bisa memutuskan
belenggu-belenggu yang mengikat mereka dalam pola-pola sosial yang mapan untuk
mencapai harkat kemanusiaannya. Meskipun demikian, masalah-masalah pertentangan
struktural belum menjadi perhatian mereka Paulo Freire misalnya dengan
analisisnya mengenai tingkatan kesadaran manusia dan usaha untuk melakukan
"konsientisasi", yang pada dasarnya membangkitkan kesadaran manusia
akan sistem dan struktur penindasan, dapat dikategorikan dalam paradigma
humanis radikal.
Paradigma Strukturalis Radikal
Penganut paradigma strukturalis radikal seperti kaum
humanis radikal memperjuangkan perubahan sosial secara radikal tetapi dari
sudut pandang objektivisme. Pendekatan ilmiah yang mereka anut memiliki
beberapa persamaan dengan kaum fungsionalis, tetapi mempunyai tujuan akhir yang
saling berlawanan. Analisisnya lebih menekankan pada konflik struktural,
bentuk-bentuk penguasaan dan pemerosotan harkat kemanusiaan. Karenanya,
pendekatannya cenderung realis, positivis, determinis, dan nomotetis.
Kesadaran manusia yang bagi kaum humanis radikal penting,
justru oleh mereka dianggap tidak penting. Bagi kaum strukturalis radikal yang
lebih penting justru hubungan-hubungan struktural yang terdapat dalam
kenyataan sosial yang nyata. Mereka menekuni dasar-dasar hubungan sosial dalam
rangka menciptakan tatanan sosial baru secara menyeluruh. Penganut paradigma
strukturalis radikal terpecah dalam dua perhatian, pertama lebih tertarik pada
menjelaskan bahwa kekuatan sosial merupakan kunci untuk menjelaskan perubahan
sosial. Sebagian mereka lebih tertarik pada keadaan penuh pertentangan dalam
suatu masyarakat.
Paradigma strukturalis radikal diilhami oleh pemikiran
setelah terjadinya perpecahan epistemologi dalam sejarah pemikiran Marx, di
samping pengaruh Weber. Paradigma inilah yang menjadi bibit lahirnya teori sosiologi
radikal. Penganutnya antara lain Luis Althusser, Polantzas, Colletti, dan
beberapa penganut kelompok kiri baru.
Diagram
2
Peta Analisis Sosial Barnel & Morgan (1979)
SUBYEKTIVIS
|
Keteraturan
Subyektivis
|
PARADIGMA
INTERPRETATIF (FENOMENOLOGI)
|
PARADIGMA
FUNGSIONALISME
|
Keteraturan
Obyektivis
|
OBYEKTIVIS
|
Pertentangan
Subyektivis
|
PARADIGMA
HUMANIS
RADIKAL
|
PARADIGMA
STRUKTURALIS
RADIKAL
|
Pertentangan
Obyektivis
|
Catatan Kritis
Paradigma-paradigma sosiologi tersebut sangat mempengaruhi
bagaimana seorang pemikir sosial dalam mengembangkan teori sosial. Misalnya
saja, penganut paradigma interpretatif atau sosiologi fenomenologis akan
mengembangkan teori perubahan sosial yang sama sekali berbeda dengan penganut
fungsionalisme. Penganut aliran fenomenologis, karena dasar filsafatnya adalah
mencoba memahami dan mendengarkan kehendak masyarakat, maka perubahan sosial
lebih diutamakan ke arah yang dikehendaki oleh masyarakat tersebut. Berbagai
metodologi dikembangkan, seperti "etnografi" ataupun "riset
observasi", untuk menangkap dan memahami simbol-simbol kehendak
masyarakat.
Sementara bagi penganut fungsionalisme yang bersandarkan
pada paradigma positivisme, mereka merasa berhak untuk melakukan "rekayasa
sosial" sehingga akan berpengaruh ketika mereka berhadapan dengan
masyarakat. Masyarakat dalam proses perubahan sosial model positivisme dan
rekayasa sosial, ditempatkan sebagai "objek" perubahan. Oleh
karenanya, mereka diarahkan, dikontrol, direncanakan, serta dikonstruksi oleh
kalangan ilmuwan, birokrat, dan bahkan koordinator program LSM yang menganut
paham positivisme tersebut. Mereka memisahkan antara masyarakat sebagai objek
perubahan, ilmuwan dan peneliti atau bahkan tenaga lapangan sebagai
tenaga-tenaga ilmiah yang objektif, rasional, tidak memihak, dan bebas nilai,
dan birokrat atau negara dalam proses perubahan sosial berperan sebagai
pengambil-pengambil keputusan. Dengan demikian, proses perubahan sosial
penganut paradigma ini, teori perubahan sosialnya bersifat elitis. Demikian
halnya, penganut paradigma struktural akan memahami masalah sosial dan
mengajukan teori perubahan sosial yang berbeda dibanding teori yang diajukan
para penganut fungsionalis maupun fenomenologis. Bagi para penganut paradigma
kritis transformatif, teori perubahan sosial dimaksudkan sebagai proses yang
melibatkan korban untuk perubahan transformasi sistem dan struktur menuju ke
sistem yang lebih adil. Dengan demikian proses perubahan sosial berwatak
subjektif, memihak, tidak netral, dan untuk terciptanya keadilan sosial dan
oleh karenanya berwatak populis.
Dengan memahami berbagai peta paradigma perubahan sosial
tersebut, akan lebih mudah bagi kita untuk memahami apa motivasi dan dasar
pikiran suatu teori perubahan sosial dan pembangunan. Dengan memahami paradigma
sosiologi yang dianut oleh pencetusnya, kita juga dapat memahami berbagai
metodologi dan pendekatan proyek pembangunan maupun aksi sosial di akar rumput.
Hal ini karena, pada dasarnya, metodologi dan teknik program perubahan sosial
maupun pembangunan, serta teori-teori perubahan sosial yang dikembangkan oleh
seseorang atau suatu organisasi sangat konsisten dalam mengikuti paradigma yang
diyakini maupun yang dianutnya. Paradigma sosiologis yang dianut tidak saja
mempengaruhi bagaimana suatu teori sosial memberi makna terhadap realitas
sosial, tetapi juga mempengaruhi visi dan misi suatu teoti sosial, bahkan
mempengaruhi pula penentuan pendekatan ketika seseorang atau suatu organisasi
melakukan penelitian serta aksi praktik manajemen pelaksanaan suatu teori
sosial dalam bentuk program pengembangan masyarakat ataupun pembangunan, maupun
pilihan pendekatan evaluasi terhadap program tersebut.
BAGIAN II
Langkah Praxis Analisis Sosial
Apakah Analisa Sosial Itu?
Suatu
proses analisa sosial adalah usaha untuk mendapatkan gambaran yang lebih
lengkap tentang situasi sosial, hubungan-hubungan struktural, kultural dan
historis.
Sehingga
memungkinkan menangkap dan memahami realitas yang sedang dihadapi. Suatu analisis
pada dasarnya "mirip" dengan sebuah "penelitian akademis"
yang berusaha menyingkap suatu hal atau aspek tertentu. Dalam proses ini yang
dilakukan bukan sekedar mengumpulkan data, berita atau angka, melainkan
berusaha membongkar apa yang terjadi sesungguhnya, bahkan menjawab mengapa demikian,
dan menemukan pula faktor-faktor apa yang memberikan pengaruh kepada kejadian
tersebut. Lebih dari itu, analisis sosial, seyogyanya mampu memberikan
prediksi ke depan: kemungkinan apa yang tetjadi.
Analisa
sosial merupakan upaya untuk mengurai logika, nalar, struktur, atau kepentingan
dibalik sebuah fenomena sosial. Analisa sosial bukan semata deskripsi
sosiologis dari sebuah fenomena sosial. Analisa sosial hendak menangkap logika
struktural atau nalar dibalik sebuah gejala sosial. Analisa sosial dengan
demikian material, empiris, dan bukan sebaliknya, mistis, atau spiritualistik.
Analisa sosial menafsirkan gejala sosial sebagai gejala material. Kekuatan dan
gagasan ideologis dibalik gejala sosial harus dianalisa.
Wilayah Analisa Sosial
- Sistem-sistem
yang beroperasi dalam suatu masyarakat.
- Dimensi-dimensi
obyektif masyarakat (organisasi sosial, lembaga-lembaga sosial, pola
perilaku, kekuatan-kekuatan sosial masyarakat)
- Dimensi-dimensi
subyektif masyarakat (ideologi, nalar, kesadaran, logika berpikir, nilai,
norma, yang hidup di masyarakat).
Pendekatan Dalam Analisa Sosial
- Historis: dengan mempertimbangkan konteks struktur
yang saling berlainan dari periode-periode berbeda, dan tugas strategis
yang berbeda dalam tiap periode.
- Struktural: dengan menekankan pentingnya pengertian
tentang bagaimana masyarakat dihasilkan dan dioperasikan, serta bagaimana
pola lembaga-lembaga sosial saling berkaitan dalam ruang sosial yang ada.
Bagaimana
Hasil Analisa Sosial?
Apakah
hasil kesimpulan dari analisa sosial bersifat final? tentu saja tidak.
Karena
hasil dari analisa tersebut dapat dikatakan hanya merupakan kebenaran tentatif,
yang bisa berubah sesuatu dengan fakta atau data dan temuan-temuan yang baru.
Dengan
demikian, analisa ini bersifat dinamis, terus bergerak, memperbarui diri,
dikaji ulang dan terus harus diperkuat dengan fakta-fakta pendukung.
Hasil
analisa bukan suatu dogma, atau sejenis kebenaran tunggal.
Batas Analisa Sosial
- Analisa
sosial bukanlah kegiatan monopoli intelektual, akademisi, atau peneliti.
Siapapun dapat melakukan analisa sosial.
- Analisa
sosial tidaklah bebas nilai.
- Analisa
sosial memungkinkan kita bergulat dengan asumsi-asumsi kita, mengkritik,
dan menghasilkan pandangan-pandangan baru.
Siapa Pelaku Analisa Sosial?
Semua
pihak atau pelaku sosial yang menghendaki untuk mendekati dan terlibat langsung
dengan realitas sosial. Bicara tentang analisis sosial, pada umumnya selalu
dikaitkan dengan dunia akademik, kaum cendikiawan, ilmuwan atau kalangan
terpelajar lainnya. Ada kesan yang sangat kuat bahwa anaIisis sosial hanya milik
"mereka". Masyarakat awam tidak punya hak untuk melakukannya. Bahkan
kalau melakukan, maka disediakan mekanisme sedemikian rupa, sehingga hasil
analisis awam itu dimentahkan.
Pemahaman
yang demikian, bukan saja keliru, melainkan mengandung maksud-maksud tertentu
yang tidak sehat dan penuh dengan kepentingan. Pengembangan analisis sosial di
sini, justru ingin membuka sekat atau dinding pemisah itu, dan memberikatmya
kesempatan kepada siapapun untuk melakukannya. Malahan mereka yang paling
dekat dengan suatu kejadian, tentu akan merupakan pihak yang paling kaya dengan
data dan informasi. Justru analisis yang dilakukan oleh mereka yang dekat dan
terlibat tersebut akan lebih berpeluang mendekati kebenaran. Dengan demikian,
tanpa memberikan kemampuan yang cukup kepada masyarakat luas untuk melakukan
analisis terhadap apa yang terjadi di lingkungan mereka, atau apa yang mereka
alami, maka mereka menjadi sangat mudah "dimanipulasi", "dibuat
bergantung" dan pada gilirannya tidak bisa mengambil sikap yang tepat.
Mengapa Gerakan Sosial Membutuhkan Analisa Sosial ?
Kalau
kita pahami secara lebih mendalam, aktivitas sosial adalah sebuah proses penyadaran
masyarakat dari suatu kondisi tertentu kepada kondisi yang lain yang lebih baik
(baca: kesadaran kritis) Kalau kita menggunakan isti1ah yang lebih
populer, aktivitas semacam itu bisa juga disebut sebagai aktivitas pemberdayaan
(Empowerment) untuk suatu entitas
atau komunitas masyarakat tertentu. Dari statemen tersebut, maka akan termuat
suatu makna bahwa sebenarnya kesadaran kritis atas realitas sosial ini pada
dasarnya ada pada setiap diri manusia. Hanya saja tingkat kesadaran kritis
pada masing-masing orang itu kadarnya berbeda-beda. Dan aktivitas sosial adalah
alat untuk menyadarkan atau memotivasi bagi munculnya kesadaran tersebut.
Meskipun, sebagaimana kita ketahui, bahwa membangun kesadaran kritis atas
realitas sosial itu tidaklah semudah membalik tangan, karena kesadaran itu
dilingkupi oleh persoalan-persoalan (sosial dan sebagainya), yang senantiasa
membelenggunya. Kalau kita gambarkan, maka persoalan yang melingkupi kesadaran
kritis akan realitas sosial itu adalah sebagai berikut:
Diagram
3
Peta Aktivitas Analisis Sosial, H.A.
Taufiqurrahman (1999)
Aktivitas Sosial
Aktivitas Non-Sosial
A:
Kesadaran Kritis
Out-put:
Aktivis Gerakan Sosial yang Kritis akan Realitas Sosial
Oleh
karena itu, untuk masuk pada titik sentral kesadaran kritis atas realitas
sosial sebagaimana dimaksud dalam gerakan sosial di atas, maka tidak mungkin
untuk tidak membongkar, mengurai dan menganalisa persoalan-persoalan yang ada
disekitarnya. Pada konteks inilah kompetensi analisis sosial dalam gerakan
sosial.
Signifikansi Analisa Sosial
- Untuk mengidentifikasikan dan memahami persoalan-persoalan yang
berkembang (ada) secara lebih mendalam dan seksama (teliti); berguna untuk
membedakan mana akar masalah (persoalan mendasar) dan mana yang bukan,
atau mana yang merupakan masalah turunan.
- Akan dapat dipakai untuk mengetahui potensi yang ada (kekuatan dan
kelemahan) yang hidup dalam masyarakat.
- Dapat mengetahui dengan lebih baik (akurat) mana kelompok
masyarakat yang paling dirugikan (termasuk
menjawab mengapa demikian).
- Dari hasil
analisa sosial tersebut dapat proyeksikan apa yang mungkin akan terjadi,
sehingga dengan demikian dapat pula diperkirakan apa yang harus dilakukan.
Orientasi Analisa Sosial
- Analisa
sosial jelas didedikasikan dan diorientasikan untuk keperluan perubahan.
- Analisa
sosial adalah watak mengubah yang dihidupkan dalam proses identifikasi.
Justru karena itu pula, maka menjadi jelas bahwa analisa sosial merupakan
salah satu titik simpul dari proses mendorong perubahan.
- Analisa
sosial akan menghasilkan semacam peta yang memberikan arahan dan dasar bagi
usaha-usaha perubahan.
Prinsip-Prinsip Analisa Sosial
- Analisa
sosial bukan suatu bentuk pemecahan masalah, melainkan hanya diagnosis
(pencarian akar masalah), yang sangat mungkin digunakan dalam
menyelesaikan suatu masalah, karena analisa sosial memberikan pengetahuan
yang lengkap, sehingga diharapkan keputusan atau tindakan yang diambil
dapat merupakan pemecahan yang tepat.
- Analisa
sosial tidak bersifat netral, selalu berasal dari keberpihakan terhadap
suatu keyakinan. Soal ini berkait dengan perspektif, asumsi-asumsi dasar
dan sikap yang diambil dalam proses melakukan analisa. Karena pernyataan
di atas, maka analisa sosial dapat digunakan oleh siapapun.
- Analisa
sosial lebih memiliki kecenderungan mengubah; tendensi untuk menggunakan gambaran
yang diperoleh dari analisa sosial bagi keperluan tindakan-tindakan
mengubah, maka menjadi sangat jelas bahwa analisa sosial berposisi sebagai
salah satu simpul dan siklus kerja transformasi.
- Analisa
sosial selalu menggunakan ‘tindakan manusia’ sebagai sentral atau pusat
dalam melihat suatu fenomena nyata.
Tahap-Tahap Analisa Sosial
- Tahap
menetapkan posisi, orientasi: pada
intinya dalam tahap ini, pelaku analisa perIu mempertegas dan menyingkap
motif serta argumen (ideologis) dari tindakan analisa sosial.
- Tahap
pengumpulan dan penyusunan data: tujuan
dan maksud dari tahap ini, agar analisa memiliki dasar rasionalitas yang
dapat diterima akal sehat. Ujung dari pengumpulan data ini adalah suatu
upaya untuk merangkai data, dan menyusunnya menjadi diskripsi tentang
suatu persoalan.
- Tahap
analisa: pada tahap ini, data yang telah
terkumpul diupayakan untuk dicari atau ditemukan hubungan diantaranya.
Diagram
4
Peta Proses Analisis Sosial, H.A.
Taufiqurrahman (1999)
|
|
|
|
|
|
|
|
Apa Yang Penting Ditelaah dalam Melakukan Analisa Sosial
- Kaitan Historitas (Sejarah Masyarakat).
- Kaitan Struktur.
- Nilai.
- Reaksi yang berkembang dan arah masa depan.
Model Telaah dalam Analisa Sosial
- Telaah
Historis, dimaksudkan untuk melihat ke belakang. Asumsi dasar dari telaah ini
bahwa suatu peristiwa tidak dengan begitu saja hadir, melainkan melalui
sebuah proses sejarah. Dengan ini, maka kejadian, atau peristiwa dapat
diletakkan dalam kerangka masa lalu, masa kini dan masa depan.
- Telaah
Struktur. Biasanya orang enggan dan cemas melakukan telaah ini, terutama oleh
stigmatisasi tertentu. Analisa ini sangat tajam dalam melihat apa yang
ada, dan mempersoalkan apa yang mungkin tidak berarti digugat. Struktur
yang akan dilihat adalah: ekonomi (distribusi sumberdaya); politik
(bagaimana kekuasaan dijalankan); sosial (bagaimana masyarakat mengatur
hubungan di luar politik dan ekonomi); dan budaya (bagaimana masyarakat
mengatur nilai).
- Telaah
Nilai. Penting pula untuk diketahui tentang apa nilai-nilai yang dominan
dalam masyarakat. Mengapa demikian. Dan siapa yang berkepetingan dengan
pengembangan nilai-nilai tersebut.
- Telaah
Reaksi. Melihat reaksi yang berkembang berarti mempersoalkan mengenai siapa
yang lebih merupakan atau pihak mana yang sudah bereaksi, mengapa reaksi
muncul dan bagaimana bentuknya. Telaah ini penting untuk menuntun kepada
pemahaman mengenai "peta" kekuatan yang bekerja.
- Telaah
Masa Depan. Tahap ini lebih merupakan usaha untuk memperkirakan atau meramalkan,
apa yang terjadi selanjutnya. Kemampuan untuk memberikan prediksi
(ramalan) akan dapat menjadi indikasi mengenai kualitas tahap-tahap
sebelumnya.
Diagram
5
Peta
Kerangka Pikir Analisas Sosial
Paradigma Konsensus
|
Paradigma Konflik
|
||
Konservatif
|
Liberal
|
Konflik/ Transformis
|
|
Dalam masyarakat ada kelas-kelas sosial, dan ada kerukunan kelas
|
Ada kelas sosial, ada konlik antar-kelas
|
||
Struktur sosial merupakan
hasil konsensus antar anggota masyarakat, struktur sosial tidak pernah
dipemasalahkan, bahkan dipertahankan
|
Struktur sosial adalah hasil konstruksi kelas sosial tertentu,
yang dipaksakan untuk ditaati oleh masyarakat. Struktur sosial selalu dipermasalahkan
|
||
Akar pemasalahan terletak pada manusia itu sendiri, atau karena
sesuatu kekuatan suprasejarah
|
Akar permasalahan terletak pada kesenjangan kesadaran, kurangnya
kesempatan, kurangnya keterampilan, kesempatan, dan lainnya.
|
Akar permasalahan berakar pada struktur sosial yang tidak adil,
menindas.
|
|
Meringankan beban korban
|
Modernisasi sosial
|
Mentransformasikan struktur yang tidak adil ke struktur yang adil
|
|
Pembagian sembako, bakti sosial, pengobatan gratis, khotbah,
bantuan untuk kelaparan, pelayanan kaum cacat, himbauan moral, dan lainnya
|
Pelatihan, kurus, pembangunan infrastruktur
|
Pengorganisiran masyarakat, pendidikan politik, gerakan sosial,
advokasi kebijakan,gerakan massa, pemogokan, pemboikotan, gagasan-gagasan sosial dan struktur
alternatif
|
|
Masyarakat itu sendiri
|
Kaum elite, pemerintah, agamawan, LSM, dan lainnya
|
Masyarakat dan kepemimpinan perubahan/gerakan
|
|
Otoritas
|
Instruktif, konsultatif
|
Delegatif, kepemanduan, trasnformatif
|
|
Kasinh sayang, menolong orang miskin, kepedulian, rasa
kemanusiaan
|
Persamaan hak dan kesempatan
|
Kesadaran struktural
|
|
Karitatif
|
Reformatif
|
Transformatif
|
|
Diagram
6
Model-Model
Perubahan dan Implikasinya
Implikasi
|
Model EKonomi
|
Model Sosial
|
Model Politik
|
Ekonomi
|
Akumulasi kapital/kapitalisasi
|
(Re)Distribusi
|
Transformasi struktural
|
Politik
|
Stabilitas
|
Bantuan
|
Mobilisasi/trasnformasi politik
|
Kebudayaan
|
Pertumbuhan
|
Kesamaan
|
Trasnformasi kultural/Imajinasi
|
Transformasi
|
Pertumbuhan infrastruktur
|
Penguatan daya beli
|
Struktural
|
Missi
|
Panggilan kelas menengah
|
Bekerja dengan masyarakat marjinal
|
Mendorong trasnformasi struktural dalam semua level
|
Pendidikan
|
Peningkatan infrastruktur sekolah
|
Pemberian atau pencarian beasiswa
|
Akses struktural Pendidikan
|
Diagram
7
Model
Perubahan Interpretatif
Variabel
|
Tradisional
|
Liberal
|
Radikal
|
Pandangan waktu
|
Siklis
|
evolusioner
|
Transformatif
|
Pandangan ruang
|
organis
|
pluralis
|
Interdependen
|
Prinsip pengatur
|
Otoritarian/ketertiban
|
Managerial/ Keseimbangan
|
Partisipatif/masyarakat
|
Perubahan utama
|
Biologis/ Tubuh
|
mekanistik
|
Transformasional
|
Sikap terhadap konflik
|
Menyerap atau menolak
|
Mengawasi
|
Mengelola konflik
|
Keterangan:
Tradisional
1.
Siklis:
kepingan-kepingan episode (maa lalu, kini, masa depan) dintegrasikan dalam
keseluruhan sejaah
2.
Organis:
hanya ada susunan tunggal yang diatur sesuai kepentingan umum
3.
Otoritarian:
masyarakat dipandang seperti piramida yang dikendalikan dari puncak dengan
sedikit partisipasi bawah
4.
Biologis:
masyarakat dipandang seperti organisme yang analog dengan tubuh manusia
5.
Menyimpang:
perubahan yang mengubah siklus sejarah dianggap menyimpang
Liberal
1.
Evolusioner:
perkembangan sejarah bersifat linear. Gerak sejarah bukan siklis, tapi
kemajuan/progresif
2.
Pluralis:
ruang sosial disusun berdaasarkan berbagai macam bagian yang tidak terpisah dan
tak berhubungan
3.
Manajerial:
menjaga keseimbangan semua unsur atau bagian
4.
Mekanistik:
masyarakat dipandang sebagai mesin yang bekerja
5.
Pengawasan:
perubahan sosial merupakan kehendak sejarah, namun tidak mengubah struktur
dasar yang mendasarinya. Perubahan selalu diawasi agar tidak menyimpang
Transformatif
1.
Transformatif:
setiap peristiwa sejaah dipandang secara fundamental menimbulkan tahapan baru,
masa lalu, sekarang, dan masa depan, terkait secara dialektik
2.
Interdependen:
masyarakat dianggap sebagai keseluruhan sistem yang kreatif, dialektik.
3.
Partisipasi:
kepentingan umum merupakan input masyarakat, hasil definisi masyarakat
4.
Transformasi
kultural: masyarakat terbentuk secara kreatif melalui dialog maupun cita-cita
utopis anggotanya.
5.
Kreatif:
konflik merupakan penggerak sejarah, dan kemajuan.
Tahap Penarikan Kesimpulan Analisa Sosial
Pada tahap ini, setelah berbagai aspek tersebut ditemukan,
maka pada akhirnya suatu kesimpulan akan diambil; kesimpulan merupakan gambaran
utuh dari suatu situasi, yang didasarkan kepada hasil analisa. Dengan demikian
kualitas kesimpulan sangat bergantung dari proses tahap-tahap analisa, juga
tergantung pada kompleksitas isu, kekayaan data dan akurasi data yang tersedia,
ketepatan pertanyaan atau rumusan terhadap masalah, dan kriteria yang
mempengaruhi penilaian-penilaian alas unsur-unsur akar masalah.
Dasar Penarikan Kesimpulan Analisa
Sosial
Yang tidak kalah penting adalah menemukan apa yang menjadi
akar masalah. Untuk menemukan akar masalah dapat dituntun dengan pertanyaan: mengapa?
Untuk sampai kepada akar masalah, maka penting
dilakukan kualifikasi secara ketat, guna menentukan faktor mana yang paling penting.
Kesimpulan tidak lain berbicara mengenai faktor apa yang memberikan pengaruh paling
dominan (paling kuat) dan demi kepentingan siapa unsur akar tersebut bekerja.
Sebagaimana diungkapkan di depan, kesimpulan tidak menjadi sesuatu yang final,
melainkan akan mungkin diperbaiki menurut temuan-temuan atau data baru.
Komentar
Posting Komentar