GAGASAN DASAR DEVELOPMENTALISME


     Sekian banyak pembahasan tentang pembangunan lazimnya selalu berangkat dari dua urutan historisitas pemikiran ekonomi,yaitu dari paradigma ekonomi klasik dan neo-klasik (Keynesian). Pada gerbong ekonomi klasik dimotori oleh Adam Smith, David Ricardo dan Thomas Malthus. Sementara itu, dalam paradigma yang berbeda dan bahkan bermusuhan, Karl Marx dan Lenin, dengan sosialismenya, memberikan kontribusi penting bagi perkembangan ekonomi klasik ini.
Kemudian dilanjutkan pada periode neo-klasik yang dikomandani oleh John Maynard Keynes, E. Domar dan R. Harrold serta WW. Rostow dkk. Sesuatu yanng mesti dicatat adalah bahwa pada periode inilah pemikiran ekonomi mulai diletakkan pada posisi penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro. Secara sederhana bisa dilukiskan bahwa pandangan tersebut menyebutkan adanya hubungan antara agregat konsumsi dan investasi. Pada periode ini pula pendapat-pendapat ekonomi mulai diletakkan pada dasar-dasar pikiran tentang perekonomian nasional serta dampaknya dalam rangka menurunkan angka pengangguran. Juga dikenalkan konsep stabilitas ekonomi dan politik secara nasional.
Sedikit melakukan review terhadap materi teori pembangunan dunia ketiga, Arif Budiman membagi teori pembangunan kedalam tiga kategori besar: yaitu modernisasi, dependensi, dan pasca-dependensi. Teori Modernisasi meletakkan faktor manusia dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan. Kategori ini dipelopori oleh orang-orang seperti: (1) Harrod Domar dengan konsep tabungan dan investasi (saving and investation), (2) Weber dengan tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (The Protestan Ethics and The Spirit of Capitalism) (3) David McClelland dengan konsep kebutuhan berprestasi (Need of achievement), (4) WW. Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five stage of economic growth) (5) Alex Inkeles dan David Smith dengan konsep manusia modern, serta (6) Bert Hoselitz dengan konsep-konsep faktor-faktor non-ekonominya.
Secara teoritis, diskursus pembangunan memang acapkali dilandasi oleh perspektif berbeda, yang hal itu kemudian menimbulkan perdebatan sengit. Perdebatan teoritik ini dipandang sebagai sesuatu yang wajar karena ia bermula dari perbedaan paradigma atau sudut pandang yang berupa ruang, waktu sekaligus kepentingan yang berbeda pula. Tetapi meskipun paradigma yang digunakan untuk menjelaskan pembangunan tersebut berbeda, hal itu tetap tidak menghalangi penyimpulan yang menyatakan bahwa kajian pembangunan adalah kajian tentang perubahan sosial (social change). Hampir keseluruhan  pembahasan pembangunan selalu menyinggung tentang proses perubahan dalam suatu masyarakat dari kondisi tertentu ke kondisi yang lain. Dengan bahasa lain, pembangunan bisa diartikan sebagai proses perubahan dari masyarakat tradisional agraris ke masyarakat industrial modern. Oleh karena itu, pembangunan acapkali diberi pengertian sebagai proses perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social change).
Pembangunan dipahami sebagai konsep yang tersusun dan terencana secara sistematis, yang bertujuan menciptakan suasana serta sistem baru. Emanuel Subangun (1994) memberikan definisi sekaligus interpretasi bahwa pembangunan adalah proses perubahan yang bisa menjamin adanya konsolidasi sistem dan membuka peluang baru. Dalam artian seperti ini, maka pembangunan mesti ditafsirkan sebagai perbaikan tata pergaulan secara terus-menerus yang melingkupi seluruh sistem segi pergaulan.
Banyak sekali definisi dan pemahaman tentang pembangunan. Dari berbagai definisi tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemaknaan pembangunan adalah proses transformasi segala bidang dari kondisi tertentu menuju kondisi lain yang lebih baik. Hal senada diungkap oleh Sail M. Katz, yang memberi penjelasan bahwa pembangunan adalah pergeseran suatu kondisi nasional tertentu menuju kondisi nasional yang dianggap lebih baik dan menyejahterakan.
Pembangunan terkait dengan apa yang dianggap baik atau buruk menurut pengalaman suatu bangsa. Katz membagi pengertian pembangunan dalam dua model, yaitu (1) culture spesific, sebuah konsep pembangunan yang didasarkan pada negara mana yang melaksanakannya, dan (2) time spesific, yang didasarkan pada waktu melaksanakannya. Sebagai contoh, pembangunan di Indonesia di masa Orde Lama berbeda dengan masa Orde Baru. Orla menekankan pada pembangunan politik sedangkan Orba menekankan pada pembangunan ekonomi.
Untuk memahami model-model pembangunan yang diterapkan oleh suatu negara, Martin Staniland (1985) membuat kategorisasi kedalam empat orientasi, yang selanjutnya menjadi fokus utama ke arah mana pembangunan itu dijalankan oleh negara tersebut. Pertama, orthodox liberalism adalah bentuk pembangunan yang diterapkan oleh negara yang dalam proses pembangunannya sangat mengagungkan konsep individualisme. Konsep ini menganggap bahwa masyarakat hanya sekedar sebagai agregasi dari sintesa seluruh kepentingan individu. Model ini biasa dipakai oleh negara-negara dengan sistem ekonomi kapitalisme. Kedua, social critique of liberalism, adalah respon dari model yang pertama. Pandangan ini menghujat konsep liberal-ortodoks yang seolah-olah menegasikan kepentingan sosial dalam pembangunan ekonomi. Menurut pandangan ini, model pembanginan yang pertama mengesankan bahwa kehidupan individu berada dalam isolasi dan ruang kosong. Karenanya, kepentingan sosial mesti disertakan dalam pembangunan ekonomi. Ketiga, economism perspektive, sepintas model ini mirip dengan liberal ortodoks. Perbedaannya adalah posisi kebijakan-kebijakan ekonomi dianggap sebagai segala-galanya. Kebijakan politik dan aktifitas kenegaraan lainnya harus ditentukan oleh tindakan-tindakan ekonomi. Keempat, policism perspektive. Menurutnya, justeru faktor-faktor politiklah yang mesti dominan dalam seluruh rangkaian kebijakan ekonomi.
Mahbub ul-Haq menggunakan pendekatan pembangunan dari faktor manusianya. Menurutnya, tujuan utama yang mesti diprioritaskan dalam pembangunan adalah menciptakan kondisi yang bisa memungkinkan masyarakat bisa menikmati kesejahteraan kehidupan yang lebij baik. Tujuan lain dari pembangunan adalah menegasikan kehendak peningkatan akumulasi kapital secara terus menerus. Pendekatan semacam ini didukung oleh berbagai pengalaman yang menunjukkan bahwa kaitan antara pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia seutuhnya tidaklah terjadi secara alami. Hal ini senada dengan Dennis Goulet yang menguraikan bahwa pembangunan harus menghasilkan solidaritas baru yang mengakar ke bawah, yang mana tidak terjadi pada masyarakat kapitalisme. Disamping itu, pembangunan juga harus memperhatikan keragaman budaya, lingkungan serta menjunjung tinggi martabat dan kebebasan manusia dan masyarakat. Dalam literatur yang lain Goulet sepakat dengan Gutieres yang menolak istilah pembangunan. Ia lebih menyukai istilah pembebasam (liberation).
Menurut Alex Inkeles, kegagalan dan keberhasilan pembangunan diakubatkan oleh faktor mikro atau psiko individual yang berproses ke arah modernitas melalui transformasi karakterisrik  dari pribadi tradisional ke modern. Dengan kata lain, karakter masyarakat yang masih tradisional harus diubah ke masyarakat modern, dengan cara apapun. Tradisi masyarakat tradisional yang sulit untuk ditembus modernisasi, menurutnya, adalah hambatan besar bagi pembangunan. Arif Budiman, berpendapat bahwa pembangunan pada akhirnya mesti ditujukan pada manusianya lagi. Manusia yang dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif, mereka harus merasa bahagia, aman dan bebas dari rasa takut. Karenanya harus diciptakan lingkungan politik dan budaya yang kondusif, sehat dan dinamis. Ia lebih humanis dalam menilai faktor manusia, berbeda dengan Inkeles yang memaksakan pendapatnya untuk merubah tatanan masyarakat dan manusia dengan kemodernan.
Bagaimana sesungguhnya realitas yang sedang terjadi? Bagaimana ikhwal pembangunan bisa bergeser menjadi ideologi yang teramat mengesankan bagi negara Dunia Ketiga, yang bernama developmentalisme itu, lepas dari normativitas pemahaman dan konsep pembangunan diatas?
Developmentalisme merupakan konsep pembangunan yang dipahami Dunia Ketiga sebagai alernatif yang mau tak mau harus diselenggarakan. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkait erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Di hampir seluruh Dunia Ketiga, penafsiran konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum dalam standar hidup. Kehadiran pembangunan mesti dipahami sebagai sarana untuk memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola seragam dari negara satu ke negara lainnya. Pandangan seperti inilah yang kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan rakyat sebagi objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.
Dunia Ketiga yang rata-rata adalah mantan negara koloni, pada tingkat pertumbuhan ekonominya jelas tertinggal jauh dengan Dunia Pertama. Fenomena ini secara tidak langsung menimbulkan dampak kuat pada sisi politiknya. Pemerintah Dunia Ketiga serta merta nelegitimasi pelaksanaan pembangunan sebagai sal;ah satu sarana akurat untuk memperkuat posisi status quo-nya. Kehadiran pembangunan di Dunia Ketiga ini lebih lanjut dijelaskan seolah-olah tanpa kendala apapun. Konsepsi pembangunan tampaknya diterima begitu saja oleh Dunia Ketiga tanpa kritik dan koreksi yang serius dan mendalam.
Pada dasarnya, pembangunan diterima begitu saja oleh para birokrat, akademisi, dan aktifis LSM negara Dunia Ketiga tanpa mempertanyakan landasan ideollogis dan diskursusnya. Pertanyaan terhadap pembangunan semata-mata hanya mengenai metodologi atau pendekatan dan bagaimana teknik pelaksanaan pembangunan. Padahal yang semestinya dipertanyakan secara serius dan mendasar adalah justeru pembangunan itu sendiri merupakan suatu gagasan yang kontroversial atau bahkan kontraproduktif. Benarkah pembangunan benar-benar jawaban untuk memcahkan masalah bagi berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga, atau semata-mata alat untuk menyembunyikan penyakit yang sebenarnya yang lebih mendasar?
Mueller mengatakan bahwa pembangunan adalah seperangkat praktik yang dikendalikan oleh pranata-pranata Dunia Pertama. Hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang sengaja diciptakan. Dunia Ketiga diberi pengertian sebagai negara miskin dan terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju. Perbedaan secara ekonomi inilah yang kemudian mewujud dalam hubungan tersebut, dimana teknologi dan informasi dari Dunia Pertama dapat ditransfer  ke Dunia Ketiga. Dari fenomena tersebut Mueller menyebutkan bahwa hubungan itu adalah hubungan imperialisme.
Hubungan yang bersifat imperialistik dan eksploitatif pada gilirannya banyak melahirkan persoalan baru di Dunia Ketiga. Terutama setelah negara-negara industri besar melakukan investasi pada kebijakan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga. Mereka menegaskan bahwa kapitalisme Dunia Ketiga yang terutama muncul akibat dikte negara-negara industri besar dan bisnis internasional tersebut menumbuhkan kepentingan regional dan sektoral yang berakibat pada meningkatnya ketimpangan pendapatan dan kekayaan, menciptakan pengangguran dan berkurangnya kesempatan kerja yang kronis, serta hanya memberi keuntungan kepada sekelompok elit kecil ekonomi dan politik.
Pembangunan yang kehadirannya disambut suka cita oleh negara Dunia Ketiga, sesungguhnya sarat dengan muatan ideologis yang membawa masalah baru. Masalah-masalah baru yang segera tampak jelas adalah semakin meningkatnya angka kemiskinan absolut dan bertambahnya jumlah pengangguran. Ini bisa dikatakan, karena meskipun pembangunan di Dunia Ketiga telah diselenggarakan, angka-angka kemiskinan itu tidak kunjung mengalami penurunan, malah justeru meningkat dengan tajam.
Persoalan baru yang menimpa negara Dunia Ketiga yang diakibatkan oleh pembangunan semakin memperkuatkan pandangan bahwa pembangunan bukan lagi merupakan upaya untuk menuntaskan masalah.  namun pembangunan itu sendiri ialah biang keladi dan sumber dari masalah itu. Pembangunan yang dicita-citakan sebagai sebagai harapan dunia ketiga untuk memecahkan masalah, ternyata pada gilirannya berubah menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Pembangunan menciptakan masalah struktural dan sebaliknya proses ekonomi, politik dan kultural di Dunia Ketiga juga membentuk konsep pembangunan.
Realitas tersebut merupakan dampak langsung dari hegemoni lembaga internasional, negara kapitalis maju sekaligus globalisasi ekonomi yang tak terelakkan oleh diskursus kapitalisme global. Fenomena selanjutnya yang terjadi adalah terjebaknya Dunia Ketiga pada konseptualisasi pembangunan ala kapitalisme. Konsep pembangunan yang diterima apa adanya oleh negara-negara Dunia Ketiga yang selanjutnya diseseuaikan dengan doktrin industri maju, merupakan konsep yang meletakkan paradigma pertumbuhan sebagai variabel penting dalam tujuan pembangunan. Konsep ini tidak lain adalah salah satu ajaran dari sistem ekonomi kapitalisme. Sehingga fenomena pembangunan di Dunia Ketiga sering disebut dengan kapitalisme Dunia Ketiga.
Hubungan yang lebih erat antara developmentalisme sebagai model pembangunan di Dunia Ketiga dengan konsep pembangunan ala kapitalisme, bisa diungkapkan. Secara umum, dimensi makro mengenai perubahan masyarakat Dunia Ketiga, sebenarnya bisa kita lacak dari gagasan mengenai developmentalisme yang mengedepankan aspek pertumbuhan.  Sebuah perekonomian yang dikuasai oleh mekanisme pasar dan keterkaitan pada pertumbuhan yang ada dalam sistem perekonomian, ternyata tidak satupun diantara dua kekuatan ini yang ditiadakan oleh realitas bahwa pasar sering dipengaruhi atau diatur melalui tindakan yang secara resmi atau tidak resmi membatasi persaingan, atau oleh fakta bahwa laju pertumbuhan bisa jauh berbeda pada masa yang berbeda. Karena itu, meminjam kritik Berger, masuk akal kiranya bahwa dalam serangan-serangan terhadap kapitalisme belakangan ini, kritik terhadap pasar erat kaitannya dengan kritik terhadap pertumbuhan.
Pertumbuhan ekonomi dalam pembangunan negara Dunia Ketiga melalui proses industrialisasi lebih lanjut berkembang menjadi legitimasi mutlak pada institusi perdagangan internasional yang dipercaya sebagai sarana untuk mendistribusikan produk domestik. Selain itu, perdagangan internasional dapat juga difungsikan sebagai sarana untuk menciptakan produk-produk yang tidak diproduksi pasar domestik. Dalam realitasnya, negara-negara berkembang (Asia, Amerika Latin dan Afrika) tidak bisa segera memulai dan mempercepat perdagangan internasional.
Mengapa? Karena di negara-negara tersebut, yang akibat kolonialisasi sampai tahun 1930-an, sama sekali tidak memiliki basis industri. Dengan alasan itulah, begitu Perang Dunia Kedua selesai, negara-negara berkembang segera mengembangkan basis industri untuk menciptakan produk-produk andalan sebagai dasar melakukan perdagangan internasional.
Aparat pembangunan percaya bahwa perdagangan internasional merupakan kunci untuk menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang bagi negara berkembang. Perdagangan internasional dapat mempercepat perluasan pasar bagi produk lokal yang dapat meningkatkan efisiensi, alokasi sumber daya dan dana yang lebih baik. Perdagangan internasional juga diharapkan mampu menyediakan produk negara maju yang dibutuhkan oleh negara berkembang. Produk negara maju yang berteknologi tinggi tersebut selanjutnya ditransfer ke negara berkembang, atau biasa dikenal dengan alih teknologi. Kapitalisme dengan ideologinya terus berusaha memperluas horizon pasar dan menciptakan suasana ketergantungan negara Dunia Ketiga terhadap rasionalitas teknologi. Muncullah apa yang kita sebut sebagai konsep alih teknologi. Parahnya, kejadian kejadian setelah itu adalah meluasnya semangat konsumerisme serta kepuasan pada kesenangan jangka pendek. Sebuah kondisi yang disebut Illich sebagai keterbelakangan mental.
Transfer teknologi dari negara Dunia Pertama ke Dunia Ketiga ini bukan berarti serta merta menjadikan negara-negara Dunia Ketiga segera mengikuti perkembangan ekonomi negara maju. Namun, dibalik transfer teknologi tersebut ada banyak hal yang secara otomatis menjadi konsekuensi logis dan dampaknya.

Ketergantungan Dunia Ketiga terhadap Dunia Pertama
Konsep alih teknologi yang bagi Dunia Ketiga dianggap dapat memberi harapan itupun digunakan oleh Dunia Pertama sebagai sarana untuk mengeksploitasi sumber daya alam negara Dunia Ketiga. Sementara itu, proses pembangunan tidak berjalan seimbang antara kondisi senyatanya masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya, dipadukan dengan konsep pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme yang menciptakan penciptaan angka gross national product setinggi-tingginya merupakan penyebab tak terelakkan dalam masalah ketergantungan Dunia Ketiga pada negara Dunia Pertama. Ketergantungan Dunia Ketiga pada Dunia Pertama berakibat erat pada situasi sosial politik di negara yang bersangkutan. Tuntutan negara industri maju pada negara miskin adalah tuntutan yang sepihak dan berusaha mencapai kepentingan dominan negara industri maju tersebut.
Karakter ekspolitasi yang bermuara pada dependensia, melekat erat dan menjadi sifat yang dominan dalam setiap proses pembangunan di negara Dunia Ketiga. Fenomena tersebut diperparah dengan adanya wacana globalisasi di penghujung abad ke XIX sampai sekarang. Dalam wacana globalisasi, berarti proses pembanguna di suatu negara tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan negara lain. Artinya, proses pembanguna di suatu negara akan terkait erat dengan proses pembangunan di negara lain.
Globalisasi ini juga memunculkan institusi urgen yang tidak bisa dilepaskan pembahasannya. Ia adalah media massa. Media massa menjadi salah satu instrumen yang kuat dalam memberikan kontribusi terhadap developmentalisme di Dunia Ketiga. Media massa berfungsi sebagai sarana untuk menyebarluaskan gagasan pembangunan secara merata. Melalui mesia massa,  developmentalisme mendapat dukungan untuk membuat legitimasi-legitimasi pada mekanisme pasar, alih teknologi dan pembenaran-pembenaran tingkah laku serta gaya hidup modern. Sedangkan yang demikian adalah perangkap kapitalisme.
Developmentalisme telah menciptakan keinginan bagi Dunia Ketiga untuk menjadi modern. Developmentalisme dan modernisme menjadi pasangan serasi yang selalu bergandengan mesra, dan kemudian bergerak menuju Dunia Ketiga dengan tawaran konsep pertumbuhan ekonomi. Dengan demikian, sekurang-kurangnya bisa kita simpulkan bahwa developmentalisme adalah modal pembangunan yang ditawarkan negara-negara Dunia Pertama yang kapitalistik pada negara Dunia Ketiga dengan memakai angka-angka pertumbuhan ekonomi sebagai alat ukur dan parameter keberhasilannya. Developmentalisme atau pembangunanisme yang terjadi di Dunia Ketiga dimaknai sebagai pembangunan ekonomi an sich. Sementara pembangunan ekonomi adalah pembangunan yang meletakkan parameter pertumbuhan ekonomi sebagai indikasi mutlak atas keberhasilan dan kegagalannya.
Sekarang yang menjadi persoalan ialah, sampai sejauh mana pertumbuhan ekonomi bisa mengukur keberhasilan sebuah pembangunan? Bagaimanakah dengan realitas ekonomi Dunia Ketiga yang tidak membaik sementara mereka telah melaksanakan pembangunan? Sementara sesuatu yang sedang terjadi pada pembangunan di Dunia Ketiga adalah bahwa konsepsi pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan justeru menjadi bumerang yang menikam balik. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak berhasiln digunakan sebagai parameter untuk menilai suatu pembangunan.
Kemiskinan, pengangguran, angka inflasi yang terus merangkak naik, eksploitasi yang semakin tajam, intervensi Dunia Pertama pada Dunia Ketiga, merupakan rentetan contoh dari masalah baru Dunia Ketiga sebagai akibat dari ideologi pembangunan yang mengkhawatirkan sekaligus mencekam itu. Apakah fenomena tersebut lebih diakibatkan karena kesalahan paradigma? Memang banyak konsepsi pembangunan yang mutakhir yang menderita karena sifatnya yang ahistoris-universal dan tidak terikat waktu. Hal ini bahwa dunia telah berhasil menumbuhkan atau merubah cara-cara secara obyektiv dan bahwa teori-teori itu sendiri tidak berkembang. Sebagai akibatnya, ada dan akan selalu ada ekonom, politisi, perencana pembangunan yang dengan sengaja masih menerapkan teori-teori usang yang tidak sesuai dan acapkali diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi yang sangat distorsif. Hal ini bisa ditunjukkan oleh fakta sosial ekonomi yang ada. Misal, penerapan filsafat pasar bebasnya Milton Friedman di Argentina, Chili, Uruguay dan Brazil, adalah sangat cocok dengan kepentingan-kepentingan politik pengusaha-pengusaha militer di sana. Hasilnya, penerapan itu kemudian melahirkan konsekuensi ekonomi, sosial dan politik yang benar-benar negatif.
Namun, bagaimanapun juga negara-negara Dunia Ketiga tetap pada pendiriannya bahwa pembangunan tetap harus dilaksanakan. Penyelenggaraan pembangunan, selain untuk menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan mapan secara ekonomi, juga dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dari Dunia Barat. Barangkali bagi Dunia Ketiga, pembangunan memang menyakitkan, meski tetap harus dilakukan. Perhatikan apa yang dikatakan oleh Dudley Seers dari Institut Studi-Studi Pembangunan Universitas Sussex dalam pidato kepresidenannya pada Kongres Dunia Masyarakat Pembangunan Internasional Kesebelas (SII) di New Delhi, November 1969:
"Kita telah salah mengartikan hakekat tantangan utama pada paruh kedua abad kedua puluh dengan membuat lima persen tingkat pertumbuhan gross national product  sebagai target bagi Dasawarsa Pembangunan Pertama. Kecerobohan kita adalah karena kita mengartikan pembangunan dengan pembangunan ekonomi dan selanjutnya mengartikan pembangunan ekonomi dengan pertumbuhan ekonomi. Adalah naif mengasumsikan bahwa peningkatan dalam pendapatan nasional lebih cepat dari pertumbuhan penduduk akan membawa dampak pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih baik. Pertumbuhan ekonomi, cepat atau lambat akan membawa dampak perpecahan pada masalah sosial politik, namun karakteristik tertentu dari pertumbuhan ekonomi sesungguhnya merupakan biang keladi dari semua persoalan itu. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang segera dapat diajukan dalam pembangunan ekonomi suatu negara adalah: apa yang telah terjadi dengan kemiskinan? apa yang sedang terjadi dengan pengangguran? Apa yang telah terjadi dengan ketimpangan? Jika satu atau dua hari masalah utama tersebut semakin memburuk, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka sangat aneh untuk menyebut hal itu sebagai sebuah pembangunan, walaupun pendapatan perkapita naik dua kali lipat.

Akar Historis Pembangunan
Tatkala PD II usai, muncul situasi yang sering disebut dengan Perang Dingin, yakni perang untuk memperebutkan simpati Dunia Ketiga antara Blok Sosialis dan Blok Kapialis. Front yang tercipta dalam perang dingin pada tahun 1950-an adalah dengan mengatasnamakan dua adikuasa, mereka melakukan gerakan untuk memperoleh pengaruh bagi Dunia Ketiga. Paling tidak sama persis dengan apa yang dilakukan oleh GATT pada tahun 1956 ketika menunjukkan perhatiannya akan permasalahan perdagangan negara-negara berkembang. Uni Soviet menandinginya dengan mengusulkan suatu konferensi ekonomi dunia untuk membahas permasalahan pembangunan dan perdagangan.
Menurut catatan sejarah, dua seteru ini saling melempar agitasi, provokasi dan persuasi agar Dunia Ketiga mengikuti salah satu dari paham ideologi mereka. Perang dingin antara Blok Kapitalis dengan Blok Sosialis acapkali direpresentasikan sebagai perang antara USA dengan sekutunya versus USSR dan negara Eropa Timur komunis lainnya. Negara-negara kapitalis berusaha keras agar paham sosialisme-komunisme tidak menjadi paham yang mendunia. Demikian pula sebaliknya, blok sosialisme-komunisme dengan gencar melancarkan jargon anti-kapitalisme.
Para kaum kapitalis kemudian membuat strategi gerakan agar kapitalisme bisa diterima. Setidaknya berangkat dari kecerdasan ideologi ini akhirnya kapitalisme berhasil membuat produk baru yang dikemudian hari kita sebut sebagai pembangunan. Pada waktu bersamaan, komunisme bagai ditelan ombak, mati tak bersuara lagi. Blok kapitalisme yang diwakili Amerika Serikat melalui Presiden Harry S. Truman pada tanggal 20 Januari 1949 menggagas istilah baru yang kemudian dikenal dengan konsep underdevelopment  atau keterbelakangan.
Inilah awal mula diskursus sekaligus konsep pembangunan secara resmi diluncurkan. Berbagai bantuan teknis secara besar-besaran, bilateral maupun multilateral, langsung dijalankan ketika Presiden Truman menyatakan Butir Keempat dalam pidato pelantikannya (20/1/49) yang berbunyi: "Suatu program baru yang berani menyediakan keuntungan-keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan dan industri bagi bagi perbaikan dan pertumbuhan di wilayah terbelakang". Program Butir Keempat tersebut adalah pengungkapan praktis dari sikap Amerika terhadap negara-negara Dunia Ketiga yang sedang diancam oleh dominasi komunisme.
Wacana pembangunan selanjutnya menjadi isu sentral perbincangan kenegaraan dimana-mana. Bahkan untuk tidak memperlemah apa yang disampaikan Presiden Truman, pemerintah Amerika Serikat menjadikannya sebagai kebijakan resmi. Maksudnya jelas, yakni upaya dalam rangka membendung pengaruh sosialisme-komunisme di  negara Dunia Ketiga. Upaya selanjutnya dari pemerintah Amerika Serikat adalah bagaimana melakukan sosialisasi gagasan pembangunan ini di negara-negara Dunia Ketiga. Para ilmuwan pun dikerahkan untuk memberikan kontribusi pemikirannya pada gagasan baru ini.
Apa yang dilakukan oleh Amerika Serikat pada waktu itu memang tidak sia-sia. Hal ini dibuktikan dengan sambutan luar biasa dari Dunia Ketiga atas gagasan pembangunan tersebut. Dunia Ketiga yang ekonominya lemah secara otomatis terpikat. Apalagi pembangunan datang dengan membawa persuasi cantik memikat, dan berusaha meyakinkan bahwa dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga akan bertambah maju. Mereka mengatakan bahwa pembangunan juga berusaha memberikan kepastian akan jaminan kesejehteraan dan kemapaman ekonomi.
Literatur pertama yang menjelaskan tentang pembangunan ini adalah The International Economy  yang dikaji oleh Ellsworth. Ellsworth menjelaskan bahwa salah satu kecenderungan sosial utama pasca Perang Dunia II adalah mimpi buruk sekaligus keresahan yang semakin memuncak bagi negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomi. Realitas semacam ini menjadikan semakin kuatnya keinginan negara Dunia Ketiga, pasca Perang Dunia Kedua berakhir, untuk memutuskan pembangunan ekonomi sebagai alternatif pemecah masalah.
Perang Dunia Kedua telah mempercepat proses pemberian kemerdekaan pada daerah-daerah terjajah di Asia dan Afrika. Pengalaman yang pahit dalam perang menimbulkan kesadaran bagi negara-negara terkemuka di Dunia Barat akan kewajiban menghormati hak setiap masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri. Kolonialisasi dianggap sebagai bentuk penindasan yang mesti dihapuskan. Bersamaan dengan terjadinya perubahan-perubahan ini, perhatian terhadap masalah pembangunan ekonomi di negara miskin pun mulai diseriuskan. Sebelum Perang Dunia Kedua, umumnya negara yang baru berkembang (underdeveloment country) merupakan negara-negara koloni. Negara-negara kolonial (developed country) tersebut memposisikan koloninya sebatas wilayah eksploitasi sumberdaya alam dan lokasi pendistribusian produksi negara kolonial.
Masalah lain negara koloni pada saat itu adalah kurang perhatiannya para pemimpin negara Dunia Ketiga pada aspek pemberdayaan ekonomi. konsolidasi internal yang lemah dan labilnya situasi negara dunia ketiga pada tataran politik, berimbas kuat pada lemahnya sektor perekonomian. Maka pasca perang Perang Dunia Kedua yang berdampak pada tuntasnya kolonialisme di negara-negara berkembang menjadikan konsentrasi dalam membangun ekonomi negara Dunia Ketiga mulai pulih.
Labilitas politik itulah yang di kemudian hari memunculkan adanya militerisme Dunia Ketiga. Bahwa sektor militer juga harus diperkuat untuk menjaga kemungkinan-kemungkinan baru yang dianggap merusak. Kemungkinan yang dianggap akan menghambat roda pembangunan. Maka logis jika militer di Dunia Ketiga yang sedang mengembangkan ekonominya lewat jalur developmentalisme memiliki posisi yang teramat kuat. Yang pada gilirannya, dalam pembangunan ekonomi dikenal sebuah konsep yang bernama stabilitas politik. Dengan logika, jika stabilitas politik bisa ditertibkan secara konstitusional ataupun inkonstitusional, maka pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan aman dan lancar.
Apa yang bisa kita petik dari uraian tentang historisitas dan diskurusus developmentalisme berkait erat dengan: (1) Fenomena kolonialisme negara kapitalis Barat pada negara terbelakang, (2) Fenomena perang dingin antara blok kapitalis dan blok sosialis, serta (3) Keberhasilan kapitalisme mengatasi sosialisme dengan developmentalisme-nya untuk dijalankan di Dunia Ketiga.

Problematika Developmentalisme
Developmentalisme tidak dapat menyembunyikan berbagai problematika yang sering diperbincangkan seputar masalah pembangunan. Sejak digulirkannya terminologi pembangunan Dunia Ketiga pasca PD II hingga hampir memasuki millenium ketiga, sekurang-kurangnya problematika developmentalisme bisa dikategorikan dalam lima agenda dunia.
Dependensia dan eksploiatasi
Perspektif dependensia adalah perspektif teori yang menjelaskan bentuk ketergantungan negara Dunia Ketiga pada Dunia Pertama. Setidaknya bisa ditandai dengan derasnya arus barang dan jasa yang membanjiri negara-negara berkembang dari negara kapitalis maju. Selain barang dan jasa, arus kapital berupa invesasi langsung (direct investation) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan multinasional raksasa (MNCs) pada negara miskin Dunia Ketiga juga semakin melengkapi perbincangan masalah dependensia atau ketergantungan ini.
Tokoh yang dianggap sebagai penggagas pertama teori ketergantungan adalah Paul Prebsich pada tahun 1950, dengan karyanya yang berjudul The Economic Development of Latin America and its Principal Problem. Karya tersebut kemudian dikenal dengan manifesto ECLA (Economic Commision for Latin America). Apa yang tertuang dalam karya itu sebagian besar adalah analisa kritis tentang efek perdagangan internasional bagi negara Dunia Ketiga. Prebsich mengemukakan teori pembagian kerja secara internasional yang didasarkan pada teori keunggulan komparatif (Comparative Advantage Theory) karya David Ricardo. Dengan mendasarkan pada teori inilah, negara di dunia melakukan spesialisasi pada masing-masing produknya. Kesimpulan umum dari teori ini adalah terbentuknya dua model negara, yakni negara maju sebagai penghasil barang industri dan negara berkembang sebagai penghasil produk-produk pertanian.
Seharusnya, kedua komoditi dari kedua jenis negara tersebut, demikian teori ini, bisa saling melengkapi. Namun realitas yang terjadi adalah sebaliknya, kehendak negara maju untuk mengeksploitasi sumberdaya alam negara berkembang. Hanya kemudian Prebsich mengajukan argumantasi bahwa semua itu disebabkan rendahnya nilai tukar komoditi pertanian dibandingkan dengan komoditi industri. Mahalnya komoditi industri menyebabkan adanya defisit pada neraca perdagangan negara-negara terbelakang dan berkembang yang memproduksi hasil-hasil pertanian. Defisit yang membengkak ini membuat negara-negara Dunia Ketiga semakin lama semakin bergantung pada Dunia Pertama.
Berbeda dengan Prebsich, Frank mengungkapkan bahwa pada dasarnya, setiap situasi ketergantungan pasti terdapat tiga faktor penting. Faktor tersebut ialah: (1) modal asing yang menyerbu negara Dunia Ketiga, (2) kolaborasi pemerintah lokal dengan, (3) kaum borjuis. Frank melontarkan kritik tajam terhadap Dana Moneter Internasional (IMF) yang dianggapnya tidak lebih sebagai agen kapitalis internasional yang berkedok sebagai dewa penolong, tetapi sesungguhnya mengeruk kekayaan negara miskin. Dan memang demikianlah, pekerjaan dan tugas dari IMF itu.
Theotonio Dos Santos menyempurnakan pandangan Frank dengan mengajukan tiga model ketergantungan. Model-model itu ialah: (1) model ketergantungan kolonial, adalah pola ketergantungan antara negara koloni dengan kolonial pada PD II. (2) Model ketergantungan finansial-industrial, dalam pengertian bahwa negara maju selalu berusaha untuk menentukan format financial-administracy-nya negara Dunia Ketiga, dan (3) model ketergantungan teknologi, yaitu meskipun negara berkembang sudah melakukan proses industrialisasi namum teknologinya masih tergantung pada negara maju.
Kesimpulan menarik dalam ulasan tentang fakta pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga mengatakan bahwa meskipun pembangunan terus berlangsung, angka kemiskinan rakyat Dunia Ketiga terus meningkat. Ini memang berdasarkan teori yang mengatakan bahwa timbulnya kemiskinan ekonomi berkaitan erat dengan sistem ekonomi yang dipraktikan oleh sebuah pembangunan. Fakih menyebutkan bahwa kemiskinan di Dunia Ketiga bukan diakibatkan oleh nilai dan sikap mereka yang oleh Barat dianggap tradisional-fatalistik. Namun kemiskinan terjadi karena proses relasi antara Dunia Ketiga dan Pertama yang bernuansa dependensia. Karakter dependensia inilah yang menjadikan Dunia Pertama semakin rajin melakukan eksploitasi pada Dunia Ketiga.
Sampai saat ini, kita bisa mengerti bahwa penjajahan baru negara kaya pada negara miskin sudah bergeser dari model penjajahan fisik dan geografis menuju model yang lebih halus dan tidak kentara, yakni cukup dengan menciptakan ketergantungan ekonomi negara miskin pada negara kaya. Salah satu bukti paling konkret dari adanya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme ini adalah dengan kehadiran lembaga-lembaga dunia yang dijadikan simbolisasi kapitalisme dengan dalih untuk membantu kesulitan negara berkembang atau terbelakang. International Monetary Fund (IMF), International Bank of Reconstruction Development (IBRD) atau yang sekarang bernama World Bank, dan berbagai badan pembangunan PBB lainnya, yang kesemua itu didominasi oleh Amerika Serikat, merupakan beberapa contoh dan simbol kapitalisme.

Transformasi Ideologi, Nilai dan Budaya
Kehadiran pembangunan dan industrialisasi di Dunia Ketiga bukan hanya dimaknai sebagai kehadiran barang, jasa, teknologi dan informasi an sich. Namun realitas industri barang, jasa, teknologi dan informasi ini sendiri sangat sarat dengan beban berat dengan nilai-nilai dan budaya negara maju. Dengan demikian, transformasi industri juga berarti transformsi nilai. Negara-negara terbelakang sebara otomatis menerima getah dari proses ini. Konsep pembangunan dan industrialisasi selalu berjajar dengan konsep lainnya, yaitu modernisasi. Apalagi bagi masyarakat Dunia Ketiga, modernisasi dipahami sebagai perubahan perilaku tradisional secara kolektif kepada perilaku yang cenderung mengadopsi nilai dan budaya negara kapitalis maju, yang tentu saja hegemonik.
Modernisasi merupakan contoh dalam memahami bagaimana hegemoni berlangsung. Karena pada dasarnya ia berusaha untuk menciptakan ideologi baru dengan pengaruh kultural dan politik melalui penciptaan diskursus sistemik dan terstruktur. Ini dilakukan dengan pelbagai propaganda canggih untuk mereformasi ideologi dan kultur subordinat. Terutama dalam konotasi intelektualitas dan moralitas. Transformasi industri melalui pembangunan besar-besaran yang membawa kandungan dan nilai budaya barat, selanjutnya banyak merombak tatanan sistem sosio-budaya dan ekonomi masyarakat Dunia Ketiga. Sistem ekonomi yang semula fatalistik dan subsistensial didekonstruksikan secara total oleh perangkat-perangkat kapitalisme dengan orientasi dan semangat pemenuhan standar individu sebesar-besarnya.
Budaya lokal dinegasikan dan diganti dengan nilai dan budaya Barat (westernisasi). Oleh karena itu, pola, gaya hidup serta tingkah laku masyarakat Dunia Ketiga hampir sama dengan pola dan gaya hidup masyarakat Barat yang kapitalis, profit oriented dan mengagungkan perilaku konsumtif. Globalisasi gaya hidup yang acap ditunjukkan sebagai determinasi imperialisme budaya atau imperialisme media ini. Dengan begitu, boleh kita katakan sebagai hedonisasi masyarakat Dunia Ketiga, terutama untuk elit dan kelas menengahnya. Denis Goulet mengibaratkan industrialisasi dan teknologisasi yang terjadi di negara Dunia Ketiga bagaikan sebilah pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan penghancur nilai-nilai.

Hegemoni Pengetahuan
Bahasan mengenai pengetahuan dalam diskursus pembangunan dan bagaimana pengetahuan membentuk sistem sosio-politik di Dunia Ketiga, Fakih menggunakan analisa diskursus (discourse analysis) yang dikembangkan Foucalt. Di akhir tahun 1960-an, Foucalt memberikan kontribusi berharga dalam hal bagaimana konsep pengetahuan didekonstruksikan. Karyanya tentang analisa diskursus memiliki implikasi radikal, tidak hanya bagi disiplin ilmu humaniora, kesusteraan, tapi juga pada kebanyakan ilmu pengetahuan lainnya. Banyak pemikiran Foucalt yang bisa dijadikan rujukan untuk memulai penelitian teoritis tentang diskursus pembangunan sebagai model dominasi terhadap Dunia Ketiga.
Pengetahuan bukan sesuatu yang ada tanpa berhubungan dengan kekuasaan yang dijalankan. Justeru pengetahuan adalah alat peredaran perwakilan negara, perusahaan multinasional, universitas dan organisasi formal lainnya yang tentu saja untuk memajukan kapitalisme. Jadi, pengetahuan pembangunan dan modernisasi tidak saja berposisi sebagai hasrat untuk mengetahui an sich, tetapi juga mengandung fungsi bagaimana cara menguasai sekaligus menghegemoni. Diskursus pengetahuan dalam pembangunan, dengan demikian, berbanding lurus dengan wacana sosial politik yang berkembang dalam suatu negara. Statemen tentang pembangunan, epistemologi dan konsepsinya sudah barang tentu akan depend on kekuasaan hegemonik dominan yang berada pada penguasa tingkat lokal, regional maupun global.
Konsep hegemoni merupakan kontribusi penting Gramsci, yang awalnya ditujukan untuk teori-teori politik. Konsep ini bersumber dari revisi gagasan Marxisme-klasik, yang ia tafsirkan secara crocean. Maka sejak diskursus pembangunan menggurita di Dunia Ketiga, ia selanjutnya menjadi satu-satunya bentuk pengetahuan ekonomi politik dan budaya yang absah. Diskursus pembangunan mengharamkan bentuk-bentuk cara mengetahui yang non-positivistik, seperti cara pertanian tradisional yang digantikan dengan cara modern. Diskursus pembangunan menghancurkan formasi sosial non-kapitalistik.
Semua itu menunjukkan hubungan yang saling terkait antara intelektual, politik dan ideologi yang termasuk bagian integral diskursus pembangunan. Pengetahuan dalam pembangunan memiliki arti penting sebagai sarana legitimasi kebijakan-kebijakan. Dengan pengetahuan, pembangunan mendapat posisi yang fundamental dalam proses pengembangan ekonomi sebuah negara. Seluruh kerangka peembangunan dijalankan harus dilegitimasi oleh konsepsi-konsepsi pengetahuan yang sudah disepakati rasio. Aparatur pembangunan selanjutnya memiliki kewenangan baru, yakni menindak tegas instrumen-instrumen negara yang menolak pembangunan. Legitimasi pembangunan yang didasarkan pada konsep pengetahuan pada gilirannya diharuskan sepi dari cemooh dan kritik-kritik, meskipun hal itu acapkali konstruktif bagi pembangunan itu sendiri.
Dominasi pengetahuan dalam sebuah pembangunan juga dapat dipahami sebagai legalitas konstitusi negara tersebut. Negara berhak sepenuhnya untuk memformat segala kebijajkan-kebijakan dalam skala makro maupun mikro. Formasi yang disodorkan pemerintah berbentuk legal formal, seringkali bukan merupakan hasil kesimpulan dari perdebatan panjang dari instrumen yang terkait untuk merumuskan strategi apa yang akan diterapkan dalam sebuah mekanisme pembangunan. Pentingnya posisi pengetahuan yang notabene menganut aliran positivistik ini, dengan demikian menolak keras bahkan menghantam segala dogma atau ajaran yang keluar dari jalur tersebut.
Kesimpulan sederhana yang bisa ditarik adalah bahwa pengetahuan, modernisasi, kekuasaan dan pembangunan masih tetap bermuara pada satu mata rantai, yakni ideologi developmentalisme. Hegemoni sekaligus dominasi diskursus pengetahuan oleh kepentingan kekuasaan demi terciptanya modernisasi dan pembangunan salah satu dari sekian problematika developmentalisme. Pengetahuan yang berupa konsepsi-konsepsi rangka pikir pembangunan di Dunia Ketiga merupakan alat ampuh untuk mendapatkan capaian akhir yang dikehendaki, yakni kenaikan pertumbuhan ekonomi yang terus menerus, dan lebih lanjut adalah berdiri sejajar dengan tingkat pertumbuhan ekonomi Barat. Ironisnya, keinginan semacam ini tidak diberi landasan kritik yang memadai sehingga Dunia Ketiga terjebak pada capaian yang semu, abstrak dan menjebak.

Distorsi Gender
Sindroma subordinasi dan marjinalisasi perempuan telah melestarikan pandangan bahwa peranan dan fungsi perempuan dalam masyarakat adalah sekunder dan figuratif. Bahkan hanya diposisikan sebagai objek dan resipen saja. World Survey on Women in Development  menarik kesimpulan bahwa pada tingkatan global, kedudukan perempuan dalam masyarakat dan peranannya dalam pembangunan justeru sangat penting. Kontribusi perempuan dalam pembangunan ekonomi cukup besar. Ilustrasi kenyataan itu, bahwa kaum perempuan menempati posisi satu diantara empat karyawan industri dan empat dari sepuluh pekerja di bidang pertanian dan jasa. Perempuan memberikan 66 persen dari jam kerjanya, tetapi hanya mendapatkan 10 persen dari upahnya. Perempuan bertanggungjawab terhadap 50 persen produksi pangan dunia tetapi hanya menguasai 1 persen saja dari material goods yang ada.
Uraian singkat itu mendeskripsikan bahwa realitas perempuan dalam sistem produksi pun selalu mengalami nasib serupa: berposisi subordinat. Dari sana kemudian timbul beberapa pokok persoalan yang berkaitan dengan topik bahasan ini. Pertama, mengapa sex differences seringkali melahirkan gender differences, dan mengapa gender differences melahirkan gender inequalities. Kedua, mengapa kenyataan ketidakadilan gender adalah marjinalisasi kaum perempuan baik pada proses pembangunan maupun kasus-kasus lainnya.
Sebenarnya, banyak sekali study-study yang dilakukan untuk membahas program-program pembangunan yang menjadi penyebab dari kemiskinan dan terpinggirkannya kaum perempuan. Pada umumnya, inti study tersebut mempersoalkan mengapa kebijakan-kebijakan pembangunan yang dimunculkan di Dunia Ketiga sama sekali tidak memperhatikan posisi perempuan. Bahkan tidak jarang kehadiran kebijakan itu memanfaatkan kaum perempuan untuk dieksploitasi. Penilaian mereka bahwa kaum perempuan dalam sistem produksi dan aktifitas produksi yang lain memiliki peluang besar untuk dieksploitasi. Salah satu contoh kebijakan yang meminggirkan kaum perempuan adalah program swasembada pangan dalam Green Revolution. Program ini, diakui atau tidak, telah menyingkirkan kaum perempuan secara ekonomis dari pekerjaan mereka. Program Revolusi Hijau dalam developmentalisme di Dunia Ketiga, misalnya sengaja dirancang dengan tidak mempertimbangkan aspek gender sama sekali.
Permasalahan perempuan di Dunia Ketiga dalam hubungannya dengan developmentalisme bisa dilakukan dengan memahami kajian-kajian seperti WID (Women In Development), WAD (Women And Development), maupun GAD (Gender And Development).
Konsep WID dimulai ketika pemerintah AS mengumumkan The Percy Amendement (Foreign Assistance Act) pada tahun 1970. Konsep tersebut secara jelas mencantumkan peran perempuan dalam program pembangunan internasional. Sehingga pada saat itu dinyatakan sebagai Decade of Women (1976-1985). WID adalah konsep yang membahas bagaimana meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan. Konsep ini terpengaruh struktural fungsionalism-nya Talcot Parson. Inti teori ini adalah anggapan bahwa struktur sosial yang ada dipandang sebagai sesuatu yang given. Oleh karena itu, konsep ini tidak mempertanyakan mengapa posisi perempuan kurang begitu dihargai sebagai manusia dalam sebuah strategi pembangunan pada masa itu. Konsentrasi perhatiannya pada bagaimana mengintegrasikan perempuan dalam berbagai bidang pembangunan tanpa banyak mempersoalkan mengapa posisi perempuan dalam masyarakat bersifat inferior, sekunder dan dalam hubungan yang subordinatif terhadap laki-laki.
Program ini lebih mengakibatkan pengekangan dan penjinakan ketimbang pembebasan perempuan di Dunia Ketiga. Developmentalisme berupaya memanfaatkan perempuan sebagai obyek tenaga kerja dengan WID sebagai satu-satunya kebijakan resmi yang berkenaan dengan perempuan di sebagian besar negara Dunia Ketiga. Kebijakan ini memberikan janji kepada masyarakat Dunia Ketiga bahwa hanya dengan pembangunan ekonomi, posisi kaum perempuan dapat terangkat. Kebijakan ini mulai diberlakukan ketika ada peningkatan tekanan yang diletakkan pada peran perempuan dalam pembangunan ekonomi secara internasional.
Kritik pedas terhadap konsep WID banyak dipelopori oleh kaum feminisme, baik perspektif Liberal, Radikal, Marxis, maupun Sosialis. Tentang hal ini kita bisa melihat Rosamarie Tong (1989). Hanya kemudian muncul asumsi bahwa gerakan feminisme hanya merupakan aktualisasi kepentingan penguasa ketimbang kepentingan kaum perempuan itu sendiri.
Perspektif Feminisme-Liberal mengatakan, bahwa kebebasan dan kesempatan kerja berdasarkan rasionalitas. Kaum feminisme-liberal menuntuk kesempatan dan hak yang sama bagi setiap individu, termasuk perempuan, sebab mereka makhluk rasional. Bagi mereka, penindasan yang terjadi pada kaum perempuan sering diakibatkan bukan oleh dominasi kaum pria, namun oleh dominasi struktur ekonomi dan politik. Meskipun liberalisme telah muncul sejak feminisme gelombang pertama, yakni pada penghujung abad XIX dan permulaan abad XX, gerakan ini baru tampak sekitar tahun 1960-an. Gerakan ini semakin menonjol ketika menghembuskan issunya mengenai ketidakadilan gender di Dunia Ketiga. Keterbelakangan kaum perempuan di Dunia Ketiga menurut pandangan kaum Feminisme-Liberal, adalah karena kebodohan dan sikap irrasional yang bermula dari sikap tradisional yang dipegang teguh. Pandangan ini melihat bahwa modernisasi dan industrialisasi adalah sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan status perempuan.
Perspektif Feminisme-Radikal yang muncul sebagai kanter gerakan sexisme Barat sekitar tahun 1960-an justeru melihat sebaliknya. Berbeda dengan pandangan pertama, mereka beranggapan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan di dunia diakibatkan oleh superioritas kaum laki-laki yang memposisikan perempuan pada posisi yang marjinal dan inferior. Patriarkhi atau ideologi kelelakian, menurut pandangan kaum Feminisme-Radikal, adalah suatu sistem hierarkhi seksual dimana kaum pria dianggap memiliki kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang kaum perempuan. Pandangan ini mereduksi hubungan gender pada kenyataan alami yang bersumber pada aspek biologis. Kontribusi penting dari kaum Feminisme-Radikal terhadap perkembangan issu gender terletak pada kekuatan ideologinya.
Sedangkan perspektif Feminisme-Marxis mengasumsikan penindasan perempuan sebagai bagian dari penindasan kelas. Pandangan ini mengesankan teori konflik kelas yang diajukan Marx, yaitu antara kaum borjuis dan proletar dan bersifat struktural. Pandangan kaum Feminisme-Marxis menolak mentah gagasan dasar biologis yang mendasarkan perbedaan gender. Seperti biasanya, pandangan ini diletakkan sebagai kritik terhadap kapitalisme dan sekaligus berseberangan. Dalam banyak gagasannya, pandangan kaum Feminis-Marxis ini merujuk karya Engels yang bertitelkan The Origin of The Family: Private Property and The State. Engels menjelaskan kunci jatuhnya status perempuan bukan disebabkan oleh teknologi, namun lebih disebabkan oleh kelas sosial dan pemilikan kekayaan. Menurut analisis ini, kapitalisme selalu diuntungkan oleh perempuan sebagai tenaga kerja murah. Selain itu, kehadiran buruh perempuan juga diposisikan sebagai tenaga kerja cadangan, yang pada gilirannya akan memperkuat posisi bargaining dari intimidasi solidaritas kaum buruh. Kaum ini mengatakan bahwa perubahan status perempuan terjadi jika ada revolusi sosial dan penghapusan besar-besaran kerja domestik perempuan dalam rumah tangga (Marxis-Klasik).
Perspektif lainnya adalah yang dimuncullkan kaum Feminis-Sosialis. Perspektif merupakan sintesa antara model Historia-nya Marx dan The Personal Political-nya Engels. Pandangan kaum Feminis-Sosialis sudah tidak seperti Feminis-Marxis lagi, sebab mereka sudah tidak memposisikan faktor eksploitasi ekonomi sebagai sesuatu yang mendasar dari munculnya masalah penindasan gender. Perspektif Sosialis ini merupakan perkembangan lanjut dari perspektif Marxis. Bagi mereka, penindasan akan terjadi di level kelas mana saja. Mereka menolak asumsi umum yang mengatakan hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi sangat diperlukan untuk menaikkan status. Bagi pandangan ini, hal itu justeru tidak ada hubungannya sama sekali. Artinya, hubungan ekonomi tidak selalu berhasil menaikkan status perempuan. Justeru yang terjadi sebuah kontradiksi. Kaum perempuan yang terlibat terlalu jauh dengan aktifitas ekonomi berpeluang dijadikan sebagai budak (virtual slaves). Mereka berargumentasi bahwa meningkatnya partisipasi perempuan dalam ekonomi membawa dampak antagonisme seksual ketimbang status kemanusiaan.
Kritik bertubi-tubi yang menghantam program WID ini, pada saat yang sama memunculkan gerakan feminisme yang cukup gencar. Gerakan feminisme tersebut merupakan sebuah proses transformasi budaya yang bertujuan memaknai kembali hakekat kemanusiaan. Gerakan ini juga dinyatakan sebagai gerakan perempuan yang mempunyai dampak paling kuat di zaman ini. Gerakan feminisme terus menegakkan dirinya sebagai salah satu arus budaya terkuat akhir-akhir ini.
Cara pandang berikutnya terhadap perempuan berkembang pada WAD (Women And Development). Konsep ini didasarkan pada ide Feminis-Marxis. Analisis Marxian, seperti juga pada perspektif Marxis diatas, menjelaskan posisi perempuan yang terkait dengan sistem ekonomi. Perempuan dianggap sebagai kelas buruh. Artinya, disamping perempuan terus menerus ditempatkan pada posisi subordinat di bawah bayang-bayang laki-laki, ia juga dilokasikan layaknya hubungan seorang buruh dan pemodal. Pada perspektif humanisme, pandangan ini memang agak lebih baik daripada WID yang secara terus terang mengeksploitasi perempuan. Inti pandangan ini menyejajarkan perempuan dan pembangunan, meski kenyataan perempuan masih berada dalam posisi subordinat dengan kaum laki-laki.
Pembahasan berikutnya adalah GAD (Gender And Development). Pendekatan ini menekankan aspek humanitasnya dalam menganalisis cara masyarakat diorganisir, baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Fokus perhatiannya adalah konstruksi sosial gender yang mengatur alokasi peran, atribut, hak, kewajiban, tanggungjawab, maupun harapan baik laki-laki maupun perempuan. Jika WID menganggap pembangunan berorientasi produksi yang meletakkan nilai dan produktifitasnya pada tempat utama meski dengan mendegradasikan manusia sebagai utility maximizer atau profit maximizer, maka GAD justeru melihat pembangunan sebagai proses yang berorientasi kemanusiaan.

Dekomposisi Ekologi
Pembangunan yang diselenggarakan Dunia Ketiga dengan bingkai developmentalisme berimbas pada sebuah karakter yang melekat sangat kuat dalam pembangunan itu sendiri, yakni anti ekologi. Pembangunan ekonomi yang menggariskan industrialisasi sebagai panglima segera melegitimasi watak ini. Kerusakan lingkungan dalam praktik developmentalisme adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Sebab, apabila saja konsep ekologi dan konsep ekonomi dipertemukan, maka kepentingan keduanya berbenturan satu sama lain.
Aspek yang sangat kuat terkena dampak industrialisasi adalah bidang pertanian. Industrialisasi pertanian terutama di pedesaan berjalan seiring dengan berkembangnya diskursus pembangunan di Dunia Ketiga. Industrialisasi dan kerusakan lingkungan sebagai mata rantai dialektik antara sebab dan akibat merupakan fenomena. Masalah kawasan lingkungan di kawasan pedesaan Dunia Ketiga ini lebih berakar pada imbas industrialisasi pertanian.
Industrialisasi sebagai kekuatan progresif telah memanfaatkan teknologi untuk mengeksploitasi sumberdaya alam. Ia juga melarang pengurangan ketergantungan pada pertanian. Misalnya, dengan mengikuti alur logika indusrtrialisasi, pembangunan pertanian, khususnya pada Revolusi Hijau, dipraktikkan sebagai proses linier yang mengubah pengolahan ladang, metode penggunaan buruh dan tabungan kapital, menjadi cara pengolahan ladang yang permanen dan melalui stimulasi akselerasi penduduk yang menghasilkan arus balik dari industri. Penelitian tanaman, pestisida, pupuk dan mekanisasi, semuanya membantu memperbesar tabungan buruh dan modal intensif. Produksi industri yang berhasil menembus wilayah pertanian adalah bahan-bahan kimia seperti pestisida atau produk-produk bioteknologi lain. Namun, kehadiran bioteknologi bersamaan dengan Revolusi Hijau ini justeru dianggap sebagai biang perusakan ekosistem dan tata lingkungan yang ada. Revolusi Hijau yang terjadi serta merta mengukuhkan industrialisasi dan bioteknologi sebagai solusinya. Harapan program ini, dengan mengubah cara tanam dan penggunaan tenaga kerja serta pemodalan, otomatis didapatkan peningkatan produksi secara kuantitatif maupun kualitatif.
Tahapan berikutnya tampak bahwa program bioteknologi ini justeru tidak mampu menyelesaikan problema hama yang semula dialami para petani itu. Justeru program bioteknologi berbalik menempelak muka sendiri. Program inipun akhirnya tidak bisa mengelak dari tuduhan bahwa ia adalah penyebab utama kerusakan lingkungan yang baru dan berdampak lebih parah. Bibit dan racun kimia yang menjadi produk utama Green Revolution mengakibatkan tercemarnya lingkungan yang tak ternilai kerugiannya. Kita paham bahwa bibit unggul, pestisida, pupuk buatan dan mekanisasi akan mendorong ke industri padat modal. Namun bibit buatan mereka ini tidak unggul terhadap hama. Karenanya butuh pestcontrol dan plant protection dengan memakai pestisida besar-besaran. Ternyata pestisida bukan merupakan racun yang mampu mengontrol hama seperti resepnya, bahkan mengakibatkan hama baru disamping meningkatkan daya tahan hama lama. Belum lagi bahaya residu bagi manusia. Padahal sesungguhnya perang lawan dengan hama menggunakan pestisida itu tidak perlu dilakukan. Para petani telah mengetahui bahwa mekanisme kontrol hama sudah ada dalam ekologi tanaman itu sendiri.
Kesalahan besar jika pertanian diindustrialisasikan. Hal itu yang dikatakan oleh W.C. Clarke (1978), dalam The Adaption of Traditional Agriculture: Sosioeconomic Problem of Urbanization. Development Studies Centres Monograph, No. 11, 1978, sambil menunjukkan kebaikan-kebaikan pertanian pra-industrialisasi. Selain dampak bioteknologi pada Revolusi Hijau di bidang pertanian, persoalan lain yang mengakibatkan bidang pertanian mengalami kerusakan adalah pemanasan global. Pemanasan global sebagai gejala ekologi akibat industrialisasi, efek rumah kaca dan dampak teknologi lain yang bersifat destruktif. Pengaruh pemanasan global yang terjadi pada pertanian Dunia Ketiga merupakan model penyebab kecemasan lebih lanjut. Tamperatus tinggi jelas berpengaruh pada persediaan air, polusi atmosfer, penyusutan hutan. Hal itu akan mengurangi keanekaragamamn hayati spesies tumbuh-tumbuhan.
Hal sama seperti yang dialami sektor pertanian adalah sektor perikanan dan kelautan. Bidang inipun tidak lepas dari ekses pembangunan dan industrialisasi yang membawa teknologi pukat modern ke Dunia Ketiga sebagai instrumen yang disengaja meningkatkan hasil produksi. Namun imbasnya, kacaunya ekosistem kehidupan laut. Impor teknologi Utara yang tidak tepat guna secara progresif telah menghancurkan sistem produksi asli di Selatan yang sebenarnya lebih cocok dan dapat menopang daya dukung ekologi. Ia tidak berpretensi menghancurkan sumber-sumber alam, seperti penangkapan ikan dengan pukat modern yang diperkenalkan pada Dunia Ketiga melalui program-program bantuan bilateral maupun multilateral. Prosesnya, sistem pukat ini justeru menghancurkan cara penangkapan tradisional yang lebih bersifat berkesinambungan (sustuinable) secara ekologis.
Siapa sessungguhnya yang mesti mempertanggungjawabkan seluruh problema ini? Kok Peng berkomentar bahwa sistem ekonomi kapitalisme dan para anteknya-lah yang harus bertanggungjawab. Sebab sistem ekonomi kapitalismeb telah mendorong manusia memiliki motivasi eksploitasi total sumberdaya alam yang ada. Diskursus kapitalisme global dan dengan berbagai bentuknya yang dipraktekan dunia tercatat menjadi segala penyebab kehancuran tata ekologi bumi. Hal itulah yang mesti memunculkan adanya globalisasi penemuan solusi.

Subordinasi Agama
Sejauh mana posisi vital agama dalam wacana developmentalisme? Itulah pertanyaan yang coba kita jawab dalam sekian problematikan developmentalisme sejauh yang kita bahas diatas. Sebelumnya, ada permasalahan pokok yang harus diajukan terlebih dahulu sebelum memulai kajian tentang agama dan developmentalisme. Pertama, bagaimana sesungguhnya elan agama memberikan kontribusinya pada prosesi ekonomi, dan pada gilirannya adalah pada developmentalisme. Kedua, bagaimana prosesi ekonomi yang termanifestasikan pembangunan ekonomi bersikap dan bereaksi atas eksistensi agama, atau sebaliknya, bagaimana fenomena agama dalam bingkai pembangunan (yang linier dengan konsep pertumbuhan ekonomi).
Upaya memahami keterkaitan antara agama dan pembangunan, kita terlebih dahulu mengemukakan tesis Weber The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism, yang selanjutnya menjadi perbincangan serius di Dunia Barat. Weber meyakini bahwa ada hubungan yang sangat erat antara model keberagamaan individu dengan etos kerja yang dimilikinya. Dogma Etika Protestan ialah tuntutan individu untuk melakukan kerja keras demi keberlangsungan hidupnya di dunia. Etika Protestan disebut sebagai ornamen ideologis (juga teologis) yang sukses membawa kebesaran serta keangkuhan kapitalisme. Etos kerja individu yang tinggi sebagai manifestasi dasar teologi semacam ini berjasa besar dalam mendorong kegairahan kapitalisme makin memuncak. Model keberagamaan seseorang, demikian Weber, ternyata sama sekali tidak bisa dilepaskan dari aktifitas pembangunan ekonomi di Eropa masa itu. Dengan begitu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Etika Protestan adalah mangsa pertama dogma agama yang sanggup mempengaruhi pembangunan.
Tesis Weber mendapatkan sambutan positif Martin Luther King yang terkenal dengan konsep 'panggilan agama untuk bekerja'. Luther King menganggap bahwa kontribusi penting agama untuk kapitalisme terletak pada konsepsinya yang mengajarkan sikap hidup keras. Intinya, agama harus menjadi motivator dan memanggil pemeluknya untuk bekerja keras demi kelangsungan hidupnya. Ini persis dengan yang dikatakan Emile Durkheim mengenai dimensi-dimensi agama. Menurut Durkheim, semua agama di dunia memiliki karakter yang sama dan memiliki dua unsur dominan, yaitu hal-hal yang dianggap suci atau imanen dan hal-hal yang dianggap duniawi atau profan. Manifestasi dua domain ini bisa nampak bersamaan maupun secara terpisah, atau justeru saling menegasikan. Keduanya bisa bergabung dalam sebuah institusi agama yang bisa dianggap suci dan sakral tetapi mewujud dalam bentuk  fisik dan profan.

Komentar

  1. afwan background dgnti aj dhe, kasihan yg mbaca susah plgy kyak aku yg kacamatanan hehehehe

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

MANAJEMEN AKSI MASSA

LATAR HISTORIS PEMIKIRAN KARL MARX

POSTMODERNISME DAN IMPLIKASINYA DALAM PENDIDIKAN