GAGASAN DASAR DEVELOPMENTALISME
Sekian
banyak pembahasan tentang pembangunan lazimnya selalu berangkat dari dua urutan
historisitas pemikiran ekonomi,yaitu dari paradigma ekonomi klasik dan
neo-klasik (Keynesian). Pada gerbong ekonomi klasik dimotori oleh Adam Smith,
David Ricardo dan Thomas Malthus. Sementara itu, dalam paradigma yang berbeda
dan bahkan bermusuhan, Karl Marx dan Lenin, dengan sosialismenya, memberikan
kontribusi penting bagi perkembangan ekonomi klasik ini.
Kemudian
dilanjutkan pada periode neo-klasik yang dikomandani oleh John Maynard Keynes,
E. Domar dan R. Harrold serta WW. Rostow dkk. Sesuatu yanng mesti dicatat
adalah bahwa pada periode inilah pemikiran ekonomi mulai diletakkan pada posisi
penting konsep pertumbuhan ekonomi dalam skala makro. Secara sederhana bisa
dilukiskan bahwa pandangan tersebut menyebutkan adanya hubungan antara agregat
konsumsi dan investasi. Pada periode ini pula pendapat-pendapat ekonomi mulai
diletakkan pada dasar-dasar pikiran tentang perekonomian nasional serta
dampaknya dalam rangka menurunkan angka pengangguran. Juga dikenalkan konsep
stabilitas ekonomi dan politik secara nasional.
Sedikit
melakukan review terhadap materi teori pembangunan dunia ketiga, Arif Budiman
membagi teori pembangunan kedalam tiga kategori besar: yaitu modernisasi,
dependensi, dan pasca-dependensi. Teori Modernisasi meletakkan faktor manusia
dan budayanya yang dinilai sebagai elemen fundamental dalam proses pembangunan.
Kategori ini dipelopori oleh orang-orang seperti: (1) Harrod Domar dengan
konsep tabungan dan investasi (saving and investation), (2) Weber dengan
tesis etika protestan dan semangat kapitalisme (The Protestan Ethics and The
Spirit of Capitalism) (3) David McClelland dengan konsep kebutuhan berprestasi
(Need of achievement), (4) WW. Rostow dengan lima tahap pertumbuhan ekonomi (the five
stage of economic growth) (5) Alex Inkeles dan David Smith dengan konsep
manusia modern, serta (6) Bert Hoselitz dengan konsep-konsep faktor-faktor
non-ekonominya.
Secara
teoritis, diskursus pembangunan memang acapkali dilandasi oleh perspektif
berbeda, yang hal itu kemudian menimbulkan perdebatan sengit. Perdebatan
teoritik ini dipandang sebagai sesuatu yang wajar karena ia bermula dari
perbedaan paradigma atau sudut pandang yang berupa ruang, waktu sekaligus
kepentingan yang berbeda pula. Tetapi meskipun paradigma yang digunakan untuk
menjelaskan pembangunan tersebut berbeda, hal itu tetap tidak menghalangi
penyimpulan yang menyatakan bahwa kajian pembangunan adalah kajian tentang
perubahan sosial (social change). Hampir keseluruhan pembahasan pembangunan selalu menyinggung
tentang proses perubahan dalam suatu masyarakat dari kondisi tertentu ke
kondisi yang lain. Dengan bahasa lain, pembangunan bisa diartikan sebagai
proses perubahan dari masyarakat tradisional agraris ke masyarakat industrial
modern. Oleh karena itu, pembangunan acapkali diberi pengertian sebagai proses
perubahan tatanan hidup masyarakat yang sengaja direncanakan (planned social
change).
Pembangunan
dipahami sebagai konsep yang tersusun dan terencana secara sistematis, yang
bertujuan menciptakan suasana serta sistem baru. Emanuel Subangun (1994)
memberikan definisi sekaligus interpretasi bahwa pembangunan adalah proses
perubahan yang bisa menjamin adanya konsolidasi sistem dan membuka peluang
baru. Dalam artian seperti ini, maka pembangunan mesti ditafsirkan sebagai
perbaikan tata pergaulan secara terus-menerus yang melingkupi seluruh sistem
segi pergaulan.
Banyak
sekali definisi dan pemahaman tentang pembangunan. Dari berbagai definisi
tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pemaknaan pembangunan adalah proses
transformasi segala bidang dari kondisi tertentu menuju kondisi lain yang lebih
baik. Hal senada diungkap oleh Sail M. Katz, yang memberi penjelasan bahwa
pembangunan adalah pergeseran suatu kondisi nasional tertentu menuju kondisi
nasional yang dianggap lebih baik dan menyejahterakan.
Pembangunan
terkait dengan apa yang dianggap baik atau buruk menurut pengalaman suatu
bangsa. Katz membagi pengertian pembangunan dalam dua model, yaitu (1) culture
spesific, sebuah konsep pembangunan yang didasarkan pada negara mana yang
melaksanakannya, dan (2) time spesific, yang didasarkan pada waktu
melaksanakannya. Sebagai contoh, pembangunan di Indonesia di masa Orde Lama
berbeda dengan masa Orde Baru. Orla menekankan pada pembangunan politik
sedangkan Orba menekankan pada pembangunan ekonomi.
Untuk
memahami model-model pembangunan yang diterapkan oleh suatu negara, Martin
Staniland (1985) membuat kategorisasi kedalam empat orientasi, yang selanjutnya
menjadi fokus utama ke arah mana pembangunan itu dijalankan oleh negara
tersebut. Pertama, orthodox liberalism adalah bentuk pembangunan yang
diterapkan oleh negara yang dalam proses pembangunannya sangat mengagungkan
konsep individualisme. Konsep ini menganggap bahwa masyarakat hanya sekedar
sebagai agregasi dari sintesa seluruh kepentingan individu. Model ini biasa
dipakai oleh negara-negara dengan sistem ekonomi kapitalisme. Kedua, social
critique of liberalism, adalah respon dari model yang pertama. Pandangan ini
menghujat konsep liberal-ortodoks yang seolah-olah menegasikan kepentingan
sosial dalam pembangunan ekonomi. Menurut pandangan ini, model pembanginan yang
pertama mengesankan bahwa kehidupan individu berada dalam isolasi dan ruang
kosong. Karenanya, kepentingan sosial mesti disertakan dalam pembangunan
ekonomi. Ketiga, economism perspektive, sepintas model ini mirip dengan liberal
ortodoks. Perbedaannya adalah posisi kebijakan-kebijakan ekonomi dianggap
sebagai segala-galanya. Kebijakan politik dan aktifitas kenegaraan lainnya
harus ditentukan oleh tindakan-tindakan ekonomi. Keempat, policism perspektive.
Menurutnya, justeru faktor-faktor politiklah yang mesti dominan dalam seluruh
rangkaian kebijakan ekonomi.
Mahbub
ul-Haq menggunakan pendekatan pembangunan dari faktor manusianya. Menurutnya,
tujuan utama yang mesti diprioritaskan dalam pembangunan adalah menciptakan
kondisi yang bisa memungkinkan masyarakat bisa menikmati kesejahteraan
kehidupan yang lebij baik. Tujuan lain dari pembangunan adalah menegasikan
kehendak peningkatan akumulasi kapital secara terus menerus. Pendekatan semacam
ini didukung oleh berbagai pengalaman yang menunjukkan bahwa kaitan antara
pembangunan ekonomi dan pembangunan manusia seutuhnya tidaklah terjadi secara
alami. Hal ini senada dengan Dennis Goulet yang menguraikan bahwa pembangunan
harus menghasilkan solidaritas baru yang mengakar ke bawah, yang mana tidak
terjadi pada masyarakat kapitalisme. Disamping itu, pembangunan juga harus
memperhatikan keragaman budaya, lingkungan serta menjunjung tinggi martabat dan
kebebasan manusia dan masyarakat. Dalam literatur yang lain Goulet sepakat
dengan Gutieres yang menolak istilah pembangunan. Ia lebih menyukai istilah
pembebasam (liberation).
Menurut
Alex Inkeles, kegagalan dan keberhasilan pembangunan diakubatkan oleh faktor
mikro atau psiko individual yang berproses ke arah modernitas melalui
transformasi karakterisrik dari pribadi
tradisional ke modern. Dengan kata lain, karakter masyarakat yang masih
tradisional harus diubah ke masyarakat modern, dengan cara apapun. Tradisi
masyarakat tradisional yang sulit untuk ditembus modernisasi, menurutnya,
adalah hambatan besar bagi pembangunan. Arif Budiman, berpendapat bahwa
pembangunan pada akhirnya mesti ditujukan pada manusianya lagi. Manusia yang
dibangun adalah manusia yang kreatif. Untuk bisa kreatif, mereka harus merasa
bahagia, aman dan bebas dari rasa takut. Karenanya harus diciptakan lingkungan
politik dan budaya yang kondusif, sehat dan dinamis. Ia lebih humanis dalam
menilai faktor manusia, berbeda dengan Inkeles yang memaksakan pendapatnya
untuk merubah tatanan masyarakat dan manusia dengan kemodernan.
Bagaimana
sesungguhnya realitas yang sedang terjadi? Bagaimana ikhwal pembangunan bisa
bergeser menjadi ideologi yang teramat mengesankan bagi negara Dunia Ketiga,
yang bernama developmentalisme itu, lepas dari normativitas pemahaman dan
konsep pembangunan diatas?
Developmentalisme
merupakan konsep pembangunan yang dipahami Dunia Ketiga sebagai alernatif yang
mau tak mau harus diselenggarakan. Dalam hal ini, realitas pembangunan berkait
erat dengan peran penting pemerintah sebagai penyelenggara. Di hampir seluruh
Dunia Ketiga, penafsiran konsep pembangunan dipahami sebagai perbaikan umum
dalam standar hidup. Kehadiran pembangunan mesti dipahami sebagai sarana untuk
memperkuat negara, terutama melalui proses industrialisasi yang mengikuti pola
seragam dari negara satu ke negara lainnya. Pandangan seperti inilah yang
kemudian memposisikan pemerintah sebagai subjek pembangunan dan memperlakukan
rakyat sebagi objek, resipen, klien dan partisipan pembangunan.
Dunia
Ketiga yang rata-rata adalah mantan negara koloni, pada tingkat pertumbuhan
ekonominya jelas tertinggal jauh dengan Dunia Pertama. Fenomena ini secara
tidak langsung menimbulkan dampak kuat pada sisi politiknya. Pemerintah Dunia
Ketiga serta merta nelegitimasi pelaksanaan pembangunan sebagai sal;ah satu
sarana akurat untuk memperkuat posisi status quo-nya. Kehadiran pembangunan di
Dunia Ketiga ini lebih lanjut dijelaskan seolah-olah tanpa kendala apapun.
Konsepsi pembangunan tampaknya diterima begitu saja oleh Dunia Ketiga tanpa
kritik dan koreksi yang serius dan mendalam.
Pada
dasarnya, pembangunan diterima begitu saja oleh para birokrat, akademisi, dan
aktifis LSM negara Dunia Ketiga tanpa mempertanyakan landasan ideollogis dan
diskursusnya. Pertanyaan terhadap pembangunan semata-mata hanya mengenai
metodologi atau pendekatan dan bagaimana teknik pelaksanaan pembangunan. Padahal
yang semestinya dipertanyakan secara serius dan mendasar adalah justeru
pembangunan itu sendiri merupakan suatu gagasan yang kontroversial atau bahkan
kontraproduktif. Benarkah pembangunan benar-benar jawaban untuk memcahkan
masalah bagi berjuta-juta rakyat Dunia Ketiga, atau semata-mata alat untuk
menyembunyikan penyakit yang sebenarnya yang lebih mendasar?
Mueller
mengatakan bahwa pembangunan adalah seperangkat praktik yang dikendalikan oleh
pranata-pranata Dunia Pertama. Hubungan antara Dunia Pertama dan Ketiga memang
sengaja diciptakan. Dunia Ketiga diberi pengertian sebagai negara miskin dan
terbelakang, sementara Dunia Pertama diberi label negara industri maju.
Perbedaan secara ekonomi inilah yang kemudian mewujud dalam hubungan tersebut,
dimana teknologi dan informasi dari Dunia Pertama dapat ditransfer ke Dunia Ketiga. Dari fenomena tersebut
Mueller menyebutkan bahwa hubungan itu adalah hubungan imperialisme.
Hubungan
yang bersifat imperialistik dan eksploitatif pada gilirannya banyak melahirkan
persoalan baru di Dunia Ketiga. Terutama setelah negara-negara industri besar
melakukan investasi pada kebijakan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga. Mereka
menegaskan bahwa kapitalisme Dunia Ketiga yang terutama muncul akibat dikte
negara-negara industri besar dan bisnis internasional tersebut menumbuhkan
kepentingan regional dan sektoral yang berakibat pada meningkatnya ketimpangan
pendapatan dan kekayaan, menciptakan pengangguran dan berkurangnya kesempatan
kerja yang kronis, serta hanya memberi keuntungan kepada sekelompok elit kecil
ekonomi dan politik.
Pembangunan
yang kehadirannya disambut suka cita oleh negara Dunia Ketiga, sesungguhnya
sarat dengan muatan ideologis yang membawa masalah baru. Masalah-masalah baru
yang segera tampak jelas adalah semakin meningkatnya angka kemiskinan absolut
dan bertambahnya jumlah pengangguran. Ini bisa dikatakan, karena meskipun
pembangunan di Dunia Ketiga telah diselenggarakan, angka-angka kemiskinan itu
tidak kunjung mengalami penurunan, malah justeru meningkat dengan tajam.
Persoalan
baru yang menimpa negara Dunia Ketiga yang diakibatkan oleh pembangunan semakin
memperkuatkan pandangan bahwa pembangunan bukan lagi merupakan upaya untuk
menuntaskan masalah. namun pembangunan
itu sendiri ialah biang keladi dan sumber dari masalah itu. Pembangunan yang
dicita-citakan sebagai sebagai harapan dunia ketiga untuk memecahkan masalah,
ternyata pada gilirannya berubah menjadi bagian dari masalah itu sendiri.
Pembangunan menciptakan masalah struktural dan sebaliknya proses ekonomi, politik
dan kultural di Dunia Ketiga juga membentuk konsep pembangunan.
Realitas
tersebut merupakan dampak langsung dari hegemoni lembaga internasional, negara
kapitalis maju sekaligus globalisasi ekonomi yang tak terelakkan oleh diskursus
kapitalisme global. Fenomena selanjutnya yang terjadi adalah terjebaknya Dunia
Ketiga pada konseptualisasi pembangunan ala kapitalisme. Konsep
pembangunan yang diterima apa adanya oleh negara-negara Dunia Ketiga yang
selanjutnya diseseuaikan dengan doktrin industri maju, merupakan konsep yang
meletakkan paradigma pertumbuhan sebagai variabel penting dalam tujuan
pembangunan. Konsep ini tidak lain adalah salah satu ajaran dari sistem ekonomi
kapitalisme. Sehingga fenomena pembangunan di Dunia Ketiga sering disebut
dengan kapitalisme Dunia Ketiga.
Hubungan
yang lebih erat antara developmentalisme sebagai model pembangunan di
Dunia Ketiga dengan konsep pembangunan ala kapitalisme, bisa diungkapkan.
Secara umum, dimensi makro mengenai perubahan masyarakat Dunia Ketiga, sebenarnya
bisa kita lacak dari gagasan mengenai developmentalisme yang mengedepankan
aspek pertumbuhan. Sebuah perekonomian
yang dikuasai oleh mekanisme pasar dan keterkaitan pada pertumbuhan yang ada
dalam sistem perekonomian, ternyata tidak satupun diantara dua kekuatan ini
yang ditiadakan oleh realitas bahwa pasar sering dipengaruhi atau diatur
melalui tindakan yang secara resmi atau tidak resmi membatasi persaingan, atau
oleh fakta bahwa laju pertumbuhan bisa jauh berbeda pada masa yang berbeda.
Karena itu, meminjam kritik Berger, masuk akal kiranya bahwa dalam
serangan-serangan terhadap kapitalisme belakangan ini, kritik terhadap pasar
erat kaitannya dengan kritik terhadap pertumbuhan.
Pertumbuhan
ekonomi dalam pembangunan negara Dunia Ketiga melalui proses industrialisasi
lebih lanjut berkembang menjadi legitimasi mutlak pada institusi perdagangan
internasional yang dipercaya sebagai sarana untuk mendistribusikan produk
domestik. Selain itu, perdagangan internasional dapat juga difungsikan sebagai
sarana untuk menciptakan produk-produk yang tidak diproduksi pasar domestik.
Dalam realitasnya, negara-negara berkembang (Asia, Amerika Latin dan Afrika)
tidak bisa segera memulai dan mempercepat perdagangan internasional.
Mengapa?
Karena di negara-negara tersebut, yang akibat kolonialisasi sampai tahun
1930-an, sama sekali tidak memiliki basis industri. Dengan alasan itulah,
begitu Perang Dunia Kedua selesai, negara-negara berkembang segera
mengembangkan basis industri untuk menciptakan produk-produk andalan sebagai
dasar melakukan perdagangan internasional.
Aparat
pembangunan percaya bahwa perdagangan internasional merupakan kunci untuk
menciptakan pertumbuhan ekonomi dalam jangka panjang bagi negara berkembang.
Perdagangan internasional dapat mempercepat perluasan pasar bagi produk lokal
yang dapat meningkatkan efisiensi, alokasi sumber daya dan dana yang lebih
baik. Perdagangan internasional juga diharapkan mampu menyediakan produk negara
maju yang dibutuhkan oleh negara berkembang. Produk negara maju yang berteknologi
tinggi tersebut selanjutnya ditransfer ke negara berkembang, atau biasa dikenal
dengan alih teknologi. Kapitalisme dengan ideologinya terus berusaha memperluas
horizon pasar dan menciptakan suasana ketergantungan negara Dunia Ketiga
terhadap rasionalitas teknologi. Muncullah apa yang kita sebut sebagai konsep
alih teknologi. Parahnya, kejadian kejadian setelah itu adalah meluasnya
semangat konsumerisme serta kepuasan pada kesenangan jangka pendek. Sebuah
kondisi yang disebut Illich sebagai keterbelakangan mental.
Transfer
teknologi dari negara Dunia Pertama ke Dunia Ketiga ini bukan berarti serta
merta menjadikan negara-negara Dunia Ketiga segera mengikuti perkembangan
ekonomi negara maju. Namun, dibalik transfer teknologi tersebut ada banyak hal
yang secara otomatis menjadi konsekuensi logis dan dampaknya.
Ketergantungan
Dunia Ketiga terhadap Dunia Pertama
Konsep
alih teknologi yang bagi Dunia Ketiga dianggap dapat memberi harapan itupun
digunakan oleh Dunia Pertama sebagai sarana untuk mengeksploitasi sumber daya
alam negara Dunia Ketiga. Sementara itu, proses pembangunan tidak berjalan
seimbang antara kondisi senyatanya masyarakat Dunia Ketiga pada umumnya,
dipadukan dengan konsep pertumbuhan ekonomi ala kapitalisme yang
menciptakan penciptaan angka gross national product setinggi-tingginya
merupakan penyebab tak terelakkan dalam masalah ketergantungan Dunia Ketiga
pada negara Dunia Pertama. Ketergantungan Dunia Ketiga pada Dunia Pertama
berakibat erat pada situasi sosial politik di negara yang bersangkutan.
Tuntutan negara industri maju pada negara miskin adalah tuntutan yang sepihak
dan berusaha mencapai kepentingan dominan negara industri maju tersebut.
Karakter
ekspolitasi yang bermuara pada dependensia, melekat erat dan menjadi sifat yang
dominan dalam setiap proses pembangunan di negara Dunia Ketiga. Fenomena
tersebut diperparah dengan adanya wacana globalisasi di penghujung abad ke XIX
sampai sekarang. Dalam wacana globalisasi, berarti proses pembanguna di suatu
negara tidak bisa dilepaskan dengan keberadaan negara lain. Artinya, proses
pembanguna di suatu negara akan terkait erat dengan proses pembangunan di
negara lain.
Globalisasi
ini juga memunculkan institusi urgen yang tidak bisa dilepaskan pembahasannya.
Ia adalah media massa. Media massa menjadi salah satu instrumen yang kuat dalam
memberikan kontribusi terhadap developmentalisme di Dunia Ketiga. Media massa
berfungsi sebagai sarana untuk menyebarluaskan gagasan pembangunan secara
merata. Melalui mesia massa, developmentalisme
mendapat dukungan untuk membuat legitimasi-legitimasi pada mekanisme pasar,
alih teknologi dan pembenaran-pembenaran tingkah laku serta gaya hidup modern.
Sedangkan yang demikian adalah perangkap kapitalisme.
Developmentalisme
telah menciptakan keinginan bagi Dunia Ketiga untuk menjadi modern. Developmentalisme
dan modernisme menjadi pasangan serasi yang selalu bergandengan mesra, dan
kemudian bergerak menuju Dunia Ketiga dengan tawaran konsep pertumbuhan
ekonomi. Dengan demikian, sekurang-kurangnya bisa kita simpulkan bahwa developmentalisme
adalah modal pembangunan yang ditawarkan negara-negara Dunia Pertama yang
kapitalistik pada negara Dunia Ketiga dengan memakai angka-angka pertumbuhan
ekonomi sebagai alat ukur dan parameter keberhasilannya. Developmentalisme atau
pembangunanisme yang terjadi di Dunia Ketiga dimaknai sebagai
pembangunan ekonomi an sich. Sementara pembangunan ekonomi adalah
pembangunan yang meletakkan parameter pertumbuhan ekonomi sebagai indikasi
mutlak atas keberhasilan dan kegagalannya.
Sekarang yang
menjadi persoalan ialah, sampai sejauh mana pertumbuhan ekonomi bisa mengukur
keberhasilan sebuah pembangunan? Bagaimanakah dengan realitas ekonomi Dunia
Ketiga yang tidak membaik sementara mereka telah melaksanakan pembangunan?
Sementara sesuatu yang sedang terjadi pada pembangunan di Dunia Ketiga adalah
bahwa konsepsi pertumbuhan ekonomi yang ditawarkan justeru menjadi bumerang
yang menikam balik. Pertumbuhan ekonomi ternyata tidak berhasiln digunakan
sebagai parameter untuk menilai suatu pembangunan.
Kemiskinan,
pengangguran, angka inflasi yang terus merangkak naik, eksploitasi yang semakin
tajam, intervensi Dunia Pertama pada Dunia Ketiga, merupakan rentetan contoh
dari masalah baru Dunia Ketiga sebagai akibat dari ideologi pembangunan yang
mengkhawatirkan sekaligus mencekam itu. Apakah fenomena tersebut lebih
diakibatkan karena kesalahan paradigma? Memang banyak konsepsi pembangunan yang
mutakhir yang menderita karena sifatnya yang ahistoris-universal dan tidak
terikat waktu. Hal ini bahwa dunia telah berhasil menumbuhkan atau merubah
cara-cara secara obyektiv dan bahwa teori-teori itu sendiri tidak berkembang.
Sebagai akibatnya, ada dan akan selalu ada ekonom, politisi, perencana
pembangunan yang dengan sengaja masih menerapkan teori-teori usang yang tidak
sesuai dan acapkali diikuti dengan konsekuensi-konsekuensi yang sangat
distorsif. Hal ini bisa ditunjukkan oleh fakta sosial ekonomi yang ada. Misal,
penerapan filsafat pasar bebasnya Milton Friedman di Argentina, Chili, Uruguay
dan Brazil, adalah sangat cocok dengan kepentingan-kepentingan politik
pengusaha-pengusaha militer di sana. Hasilnya, penerapan itu kemudian
melahirkan konsekuensi ekonomi, sosial dan politik yang benar-benar negatif.
Namun,
bagaimanapun juga negara-negara Dunia Ketiga tetap pada pendiriannya bahwa
pembangunan tetap harus dilaksanakan. Penyelenggaraan pembangunan, selain untuk
menciptakan tatanan kehidupan masyarakat yang sejahtera dan mapan secara
ekonomi, juga dimaksudkan untuk mengejar ketertinggalan pertumbuhan ekonomi dari
Dunia Barat. Barangkali bagi Dunia Ketiga, pembangunan memang menyakitkan,
meski tetap harus dilakukan. Perhatikan apa yang dikatakan oleh Dudley Seers
dari Institut Studi-Studi Pembangunan Universitas Sussex dalam pidato
kepresidenannya pada Kongres Dunia Masyarakat Pembangunan Internasional
Kesebelas (SII) di New Delhi, November 1969:
"Kita
telah salah mengartikan hakekat tantangan utama pada paruh kedua abad kedua
puluh dengan membuat lima persen tingkat pertumbuhan gross national product sebagai target bagi Dasawarsa Pembangunan
Pertama. Kecerobohan kita adalah karena kita mengartikan pembangunan dengan
pembangunan ekonomi dan selanjutnya mengartikan pembangunan ekonomi dengan
pertumbuhan ekonomi. Adalah naif mengasumsikan bahwa peningkatan dalam pendapatan
nasional lebih cepat dari pertumbuhan penduduk akan membawa dampak pertumbuhan
ekonomi secara keseluruhan menjadi lebih baik. Pertumbuhan ekonomi, cepat atau
lambat akan membawa dampak perpecahan pada masalah sosial politik, namun
karakteristik tertentu dari pertumbuhan ekonomi sesungguhnya merupakan biang
keladi dari semua persoalan itu. Oleh karena itu, pertanyaan-pertanyaan yang
segera dapat diajukan dalam pembangunan ekonomi suatu negara adalah: apa yang
telah terjadi dengan kemiskinan? apa yang sedang terjadi dengan pengangguran?
Apa yang telah terjadi dengan ketimpangan? Jika satu atau dua hari masalah
utama tersebut semakin memburuk, apalagi kalau ketiga-tiganya, maka sangat aneh
untuk menyebut hal itu sebagai sebuah pembangunan, walaupun pendapatan
perkapita naik dua kali lipat.
Akar
Historis Pembangunan
Tatkala
PD II usai, muncul situasi yang sering disebut dengan Perang Dingin, yakni
perang untuk memperebutkan simpati Dunia Ketiga antara Blok Sosialis dan Blok
Kapialis. Front yang tercipta dalam perang dingin pada tahun 1950-an adalah
dengan mengatasnamakan dua adikuasa, mereka melakukan gerakan untuk memperoleh
pengaruh bagi Dunia Ketiga. Paling tidak sama persis dengan apa yang dilakukan
oleh GATT pada tahun 1956 ketika menunjukkan perhatiannya akan permasalahan
perdagangan negara-negara berkembang. Uni Soviet menandinginya dengan
mengusulkan suatu konferensi ekonomi dunia untuk membahas permasalahan
pembangunan dan perdagangan.
Menurut
catatan sejarah, dua seteru ini saling melempar agitasi, provokasi dan persuasi
agar Dunia Ketiga mengikuti salah satu dari paham ideologi mereka. Perang
dingin antara Blok Kapitalis dengan Blok Sosialis acapkali direpresentasikan
sebagai perang antara USA dengan sekutunya versus USSR dan negara Eropa
Timur komunis lainnya. Negara-negara kapitalis berusaha keras agar paham
sosialisme-komunisme tidak menjadi paham yang mendunia. Demikian pula
sebaliknya, blok sosialisme-komunisme dengan gencar melancarkan jargon
anti-kapitalisme.
Para kaum
kapitalis kemudian membuat strategi gerakan agar kapitalisme bisa diterima.
Setidaknya berangkat dari kecerdasan ideologi ini akhirnya kapitalisme berhasil
membuat produk baru yang dikemudian hari kita sebut sebagai pembangunan. Pada
waktu bersamaan, komunisme bagai ditelan ombak, mati tak bersuara lagi. Blok
kapitalisme yang diwakili Amerika Serikat melalui Presiden Harry S. Truman pada
tanggal 20 Januari 1949 menggagas istilah baru yang kemudian dikenal dengan
konsep underdevelopment atau
keterbelakangan.
Inilah
awal mula diskursus sekaligus konsep pembangunan secara resmi diluncurkan.
Berbagai bantuan teknis secara besar-besaran, bilateral maupun multilateral,
langsung dijalankan ketika Presiden Truman menyatakan Butir Keempat dalam
pidato pelantikannya (20/1/49) yang berbunyi: "Suatu program baru yang
berani menyediakan keuntungan-keuntungan kemajuan ilmu pengetahuan dan industri
bagi bagi perbaikan dan pertumbuhan di wilayah terbelakang". Program Butir
Keempat tersebut adalah pengungkapan praktis dari sikap Amerika terhadap
negara-negara Dunia Ketiga yang sedang diancam oleh dominasi komunisme.
Wacana
pembangunan selanjutnya menjadi isu sentral perbincangan kenegaraan
dimana-mana. Bahkan untuk tidak memperlemah apa yang disampaikan Presiden
Truman, pemerintah Amerika Serikat menjadikannya sebagai kebijakan resmi.
Maksudnya jelas, yakni upaya dalam rangka membendung pengaruh
sosialisme-komunisme di negara Dunia
Ketiga. Upaya selanjutnya dari pemerintah Amerika Serikat adalah bagaimana melakukan
sosialisasi gagasan pembangunan ini di negara-negara Dunia Ketiga. Para ilmuwan
pun dikerahkan untuk memberikan kontribusi pemikirannya pada gagasan baru ini.
Apa yang
dilakukan oleh Amerika Serikat pada waktu itu memang tidak sia-sia. Hal ini
dibuktikan dengan sambutan luar biasa dari Dunia Ketiga atas gagasan
pembangunan tersebut. Dunia Ketiga yang ekonominya lemah secara otomatis
terpikat. Apalagi pembangunan datang dengan membawa persuasi cantik memikat,
dan berusaha meyakinkan bahwa dengan pembangunan ekonomi Dunia Ketiga akan bertambah
maju. Mereka mengatakan bahwa pembangunan juga berusaha memberikan kepastian
akan jaminan kesejehteraan dan kemapaman ekonomi.
Literatur
pertama yang menjelaskan tentang pembangunan ini adalah The International
Economy yang dikaji oleh Ellsworth.
Ellsworth menjelaskan bahwa salah satu kecenderungan sosial utama pasca Perang
Dunia II adalah mimpi buruk sekaligus keresahan yang semakin memuncak bagi
negara-negara Dunia Ketiga secara ekonomi. Realitas semacam ini menjadikan
semakin kuatnya keinginan negara Dunia Ketiga, pasca Perang Dunia Kedua
berakhir, untuk memutuskan pembangunan ekonomi sebagai alternatif pemecah
masalah.
Perang
Dunia Kedua telah mempercepat proses pemberian kemerdekaan pada daerah-daerah
terjajah di Asia dan Afrika. Pengalaman yang pahit dalam perang menimbulkan
kesadaran bagi negara-negara terkemuka di Dunia Barat akan kewajiban
menghormati hak setiap masyarakat dalam menentukan nasibnya sendiri.
Kolonialisasi dianggap sebagai bentuk penindasan yang mesti dihapuskan.
Bersamaan dengan terjadinya perubahan-perubahan ini, perhatian terhadap masalah
pembangunan ekonomi di negara miskin pun mulai diseriuskan. Sebelum Perang
Dunia Kedua, umumnya negara yang baru berkembang (underdeveloment country)
merupakan negara-negara koloni. Negara-negara kolonial (developed country)
tersebut memposisikan koloninya sebatas wilayah eksploitasi sumberdaya alam dan
lokasi pendistribusian produksi negara kolonial.
Masalah
lain negara koloni pada saat itu adalah kurang perhatiannya para pemimpin
negara Dunia Ketiga pada aspek pemberdayaan ekonomi. konsolidasi internal yang
lemah dan labilnya situasi negara dunia ketiga pada tataran politik, berimbas
kuat pada lemahnya sektor perekonomian. Maka pasca perang Perang Dunia Kedua
yang berdampak pada tuntasnya kolonialisme di negara-negara berkembang
menjadikan konsentrasi dalam membangun ekonomi negara Dunia Ketiga mulai pulih.
Labilitas
politik itulah yang di kemudian hari memunculkan adanya militerisme Dunia
Ketiga. Bahwa sektor militer juga harus diperkuat untuk menjaga
kemungkinan-kemungkinan baru yang dianggap merusak. Kemungkinan yang dianggap
akan menghambat roda pembangunan. Maka logis jika militer di Dunia Ketiga yang
sedang mengembangkan ekonominya lewat jalur developmentalisme memiliki posisi
yang teramat kuat. Yang pada gilirannya, dalam pembangunan ekonomi dikenal
sebuah konsep yang bernama stabilitas politik. Dengan logika, jika stabilitas
politik bisa ditertibkan secara konstitusional ataupun inkonstitusional, maka
pembangunan dan pertumbuhan ekonomi akan aman dan lancar.
Apa yang
bisa kita petik dari uraian tentang historisitas dan diskurusus developmentalisme
berkait erat dengan: (1) Fenomena kolonialisme negara kapitalis Barat pada
negara terbelakang, (2) Fenomena perang dingin antara blok kapitalis dan blok
sosialis, serta (3) Keberhasilan kapitalisme mengatasi sosialisme dengan developmentalisme-nya
untuk dijalankan di Dunia Ketiga.
Problematika Developmentalisme
Developmentalisme tidak dapat menyembunyikan
berbagai problematika yang sering diperbincangkan seputar masalah pembangunan.
Sejak digulirkannya terminologi pembangunan Dunia Ketiga pasca PD II hingga
hampir memasuki millenium ketiga, sekurang-kurangnya problematika developmentalisme
bisa dikategorikan dalam lima agenda dunia.
Dependensia dan eksploiatasi
Perspektif
dependensia adalah perspektif teori yang menjelaskan bentuk ketergantungan
negara Dunia Ketiga pada Dunia Pertama. Setidaknya bisa ditandai dengan
derasnya arus barang dan jasa yang membanjiri negara-negara berkembang dari
negara kapitalis maju. Selain barang dan jasa, arus kapital berupa invesasi
langsung (direct investation) yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan
multinasional raksasa (MNCs) pada negara miskin Dunia Ketiga juga semakin
melengkapi perbincangan masalah dependensia atau ketergantungan ini.
Tokoh
yang dianggap sebagai penggagas pertama teori ketergantungan adalah Paul
Prebsich pada tahun 1950, dengan karyanya yang berjudul The Economic
Development of Latin America and its Principal Problem. Karya tersebut
kemudian dikenal dengan manifesto ECLA (Economic Commision for Latin America).
Apa yang tertuang dalam karya itu sebagian besar adalah analisa kritis tentang
efek perdagangan internasional bagi negara Dunia Ketiga. Prebsich mengemukakan
teori pembagian kerja secara internasional yang didasarkan pada teori
keunggulan komparatif (Comparative Advantage Theory) karya David
Ricardo. Dengan mendasarkan pada teori inilah, negara di dunia melakukan
spesialisasi pada masing-masing produknya. Kesimpulan umum dari teori ini adalah
terbentuknya dua model negara, yakni negara maju sebagai penghasil barang
industri dan negara berkembang sebagai penghasil produk-produk pertanian.
Seharusnya,
kedua komoditi dari kedua jenis negara tersebut, demikian teori ini, bisa
saling melengkapi. Namun realitas yang terjadi adalah sebaliknya, kehendak
negara maju untuk mengeksploitasi sumberdaya alam negara berkembang. Hanya
kemudian Prebsich mengajukan argumantasi bahwa semua itu disebabkan rendahnya
nilai tukar komoditi pertanian dibandingkan dengan komoditi industri. Mahalnya
komoditi industri menyebabkan adanya defisit pada neraca perdagangan
negara-negara terbelakang dan berkembang yang memproduksi hasil-hasil
pertanian. Defisit yang membengkak ini membuat negara-negara Dunia Ketiga semakin
lama semakin bergantung pada Dunia Pertama.
Berbeda
dengan Prebsich, Frank mengungkapkan bahwa pada dasarnya, setiap situasi
ketergantungan pasti terdapat tiga faktor penting. Faktor tersebut ialah: (1)
modal asing yang menyerbu negara Dunia Ketiga, (2) kolaborasi pemerintah lokal
dengan, (3) kaum borjuis. Frank melontarkan kritik tajam terhadap Dana Moneter
Internasional (IMF) yang dianggapnya tidak lebih sebagai agen kapitalis
internasional yang berkedok sebagai dewa penolong, tetapi sesungguhnya mengeruk
kekayaan negara miskin. Dan memang demikianlah, pekerjaan dan tugas dari IMF
itu.
Theotonio
Dos Santos menyempurnakan pandangan Frank dengan mengajukan tiga model
ketergantungan. Model-model itu ialah: (1) model ketergantungan kolonial,
adalah pola ketergantungan antara negara koloni dengan kolonial pada PD II. (2)
Model ketergantungan finansial-industrial, dalam pengertian bahwa negara maju
selalu berusaha untuk menentukan format financial-administracy-nya
negara Dunia Ketiga, dan (3) model ketergantungan teknologi, yaitu meskipun
negara berkembang sudah melakukan proses industrialisasi namum teknologinya
masih tergantung pada negara maju.
Kesimpulan
menarik dalam ulasan tentang fakta pembangunan ekonomi di Dunia Ketiga
mengatakan bahwa meskipun pembangunan terus berlangsung, angka kemiskinan
rakyat Dunia Ketiga terus meningkat. Ini memang berdasarkan teori yang
mengatakan bahwa timbulnya kemiskinan ekonomi berkaitan erat dengan sistem
ekonomi yang dipraktikan oleh sebuah pembangunan. Fakih menyebutkan bahwa
kemiskinan di Dunia Ketiga bukan diakibatkan oleh nilai dan sikap mereka yang
oleh Barat dianggap tradisional-fatalistik. Namun kemiskinan terjadi karena
proses relasi antara Dunia Ketiga dan Pertama yang bernuansa dependensia.
Karakter dependensia inilah yang menjadikan Dunia Pertama semakin rajin
melakukan eksploitasi pada Dunia Ketiga.
Sampai
saat ini, kita bisa mengerti bahwa penjajahan baru negara kaya pada negara
miskin sudah bergeser dari model penjajahan fisik dan geografis menuju model
yang lebih halus dan tidak kentara, yakni cukup dengan menciptakan
ketergantungan ekonomi negara miskin pada negara kaya. Salah satu bukti paling
konkret dari adanya neo-kolonialisme atau neo-imperialisme ini adalah dengan
kehadiran lembaga-lembaga dunia yang dijadikan simbolisasi kapitalisme dengan
dalih untuk membantu kesulitan negara berkembang atau terbelakang. International
Monetary Fund (IMF), International Bank of Reconstruction Development
(IBRD) atau yang sekarang bernama World Bank, dan berbagai badan pembangunan
PBB lainnya, yang kesemua itu didominasi oleh Amerika Serikat, merupakan
beberapa contoh dan simbol kapitalisme.
Transformasi Ideologi, Nilai dan
Budaya
Kehadiran
pembangunan dan industrialisasi di Dunia Ketiga bukan hanya dimaknai sebagai
kehadiran barang, jasa, teknologi dan informasi an sich. Namun realitas
industri barang, jasa, teknologi dan informasi ini sendiri sangat sarat dengan
beban berat dengan nilai-nilai dan budaya negara maju. Dengan demikian,
transformasi industri juga berarti transformsi nilai. Negara-negara terbelakang
sebara otomatis menerima getah dari proses ini. Konsep pembangunan dan
industrialisasi selalu berjajar dengan konsep lainnya, yaitu modernisasi.
Apalagi bagi masyarakat Dunia Ketiga, modernisasi dipahami sebagai perubahan
perilaku tradisional secara kolektif kepada perilaku yang cenderung mengadopsi
nilai dan budaya negara kapitalis maju, yang tentu saja hegemonik.
Modernisasi
merupakan contoh dalam memahami bagaimana hegemoni berlangsung. Karena pada
dasarnya ia berusaha untuk menciptakan ideologi baru dengan pengaruh kultural
dan politik melalui penciptaan diskursus sistemik dan terstruktur. Ini
dilakukan dengan pelbagai propaganda canggih untuk mereformasi ideologi dan
kultur subordinat. Terutama dalam konotasi intelektualitas dan moralitas.
Transformasi industri melalui pembangunan besar-besaran yang membawa kandungan
dan nilai budaya barat, selanjutnya banyak merombak tatanan sistem sosio-budaya
dan ekonomi masyarakat Dunia Ketiga. Sistem ekonomi yang semula fatalistik dan
subsistensial didekonstruksikan secara total oleh perangkat-perangkat
kapitalisme dengan orientasi dan semangat pemenuhan standar individu
sebesar-besarnya.
Budaya
lokal dinegasikan dan diganti dengan nilai dan budaya Barat (westernisasi).
Oleh karena itu, pola, gaya hidup serta tingkah laku masyarakat Dunia Ketiga
hampir sama dengan pola dan gaya hidup masyarakat Barat yang kapitalis, profit
oriented dan mengagungkan perilaku konsumtif. Globalisasi gaya hidup yang
acap ditunjukkan sebagai determinasi imperialisme budaya atau imperialisme
media ini. Dengan begitu, boleh kita katakan sebagai hedonisasi masyarakat
Dunia Ketiga, terutama untuk elit dan kelas menengahnya. Denis Goulet
mengibaratkan industrialisasi dan teknologisasi yang terjadi di negara Dunia
Ketiga bagaikan sebilah pedang bermata dua, yakni sebagai pembawa dan
penghancur nilai-nilai.
Hegemoni
Pengetahuan
Bahasan
mengenai pengetahuan dalam diskursus pembangunan dan bagaimana pengetahuan
membentuk sistem sosio-politik di Dunia Ketiga, Fakih menggunakan analisa
diskursus (discourse analysis) yang dikembangkan Foucalt. Di akhir tahun
1960-an, Foucalt memberikan kontribusi berharga dalam hal bagaimana konsep
pengetahuan didekonstruksikan. Karyanya tentang analisa diskursus memiliki
implikasi radikal, tidak hanya bagi disiplin ilmu humaniora, kesusteraan, tapi
juga pada kebanyakan ilmu pengetahuan lainnya. Banyak pemikiran Foucalt yang
bisa dijadikan rujukan untuk memulai penelitian teoritis tentang diskursus
pembangunan sebagai model dominasi terhadap Dunia Ketiga.
Pengetahuan
bukan sesuatu yang ada tanpa berhubungan dengan kekuasaan yang dijalankan.
Justeru pengetahuan adalah alat peredaran perwakilan negara, perusahaan
multinasional, universitas dan organisasi formal lainnya yang tentu saja untuk
memajukan kapitalisme. Jadi, pengetahuan pembangunan dan modernisasi tidak saja
berposisi sebagai hasrat untuk mengetahui an sich, tetapi juga
mengandung fungsi bagaimana cara menguasai sekaligus menghegemoni. Diskursus
pengetahuan dalam pembangunan, dengan demikian, berbanding lurus dengan wacana
sosial politik yang berkembang dalam suatu negara. Statemen tentang
pembangunan, epistemologi dan konsepsinya sudah barang tentu akan depend on kekuasaan
hegemonik dominan yang berada pada penguasa tingkat lokal, regional maupun
global.
Konsep
hegemoni merupakan kontribusi penting Gramsci, yang awalnya ditujukan untuk
teori-teori politik. Konsep ini bersumber dari revisi gagasan Marxisme-klasik,
yang ia tafsirkan secara crocean. Maka sejak diskursus pembangunan
menggurita di Dunia Ketiga, ia selanjutnya menjadi satu-satunya bentuk
pengetahuan ekonomi politik dan budaya yang absah. Diskursus pembangunan
mengharamkan bentuk-bentuk cara mengetahui yang non-positivistik, seperti cara
pertanian tradisional yang digantikan dengan cara modern. Diskursus pembangunan
menghancurkan formasi sosial non-kapitalistik.
Semua
itu menunjukkan hubungan yang saling terkait antara intelektual, politik dan
ideologi yang termasuk bagian integral diskursus pembangunan. Pengetahuan dalam
pembangunan memiliki arti penting sebagai sarana legitimasi
kebijakan-kebijakan. Dengan pengetahuan, pembangunan mendapat posisi yang
fundamental dalam proses pengembangan ekonomi sebuah negara. Seluruh kerangka
peembangunan dijalankan harus dilegitimasi oleh konsepsi-konsepsi pengetahuan
yang sudah disepakati rasio. Aparatur pembangunan selanjutnya memiliki
kewenangan baru, yakni menindak tegas instrumen-instrumen negara yang menolak
pembangunan. Legitimasi pembangunan yang didasarkan pada konsep pengetahuan
pada gilirannya diharuskan sepi dari cemooh dan kritik-kritik, meskipun hal itu
acapkali konstruktif bagi pembangunan itu sendiri.
Dominasi
pengetahuan dalam sebuah pembangunan juga dapat dipahami sebagai legalitas
konstitusi negara tersebut. Negara berhak sepenuhnya untuk memformat segala
kebijajkan-kebijakan dalam skala makro maupun mikro. Formasi yang disodorkan
pemerintah berbentuk legal formal, seringkali bukan merupakan hasil kesimpulan
dari perdebatan panjang dari instrumen yang terkait untuk merumuskan strategi
apa yang akan diterapkan dalam sebuah mekanisme pembangunan. Pentingnya posisi
pengetahuan yang notabene menganut aliran positivistik ini, dengan demikian
menolak keras bahkan menghantam segala dogma atau ajaran yang keluar dari jalur
tersebut.
Kesimpulan
sederhana yang bisa ditarik adalah bahwa pengetahuan, modernisasi, kekuasaan
dan pembangunan masih tetap bermuara pada satu mata rantai, yakni ideologi
developmentalisme. Hegemoni sekaligus dominasi diskursus pengetahuan oleh
kepentingan kekuasaan demi terciptanya modernisasi dan pembangunan salah satu
dari sekian problematika developmentalisme. Pengetahuan yang berupa
konsepsi-konsepsi rangka pikir pembangunan di Dunia Ketiga merupakan alat ampuh
untuk mendapatkan capaian akhir yang dikehendaki, yakni kenaikan pertumbuhan
ekonomi yang terus menerus, dan lebih lanjut adalah berdiri sejajar dengan
tingkat pertumbuhan ekonomi Barat. Ironisnya, keinginan semacam ini tidak
diberi landasan kritik yang memadai sehingga Dunia Ketiga terjebak pada capaian
yang semu, abstrak dan menjebak.
Distorsi
Gender
Sindroma
subordinasi dan marjinalisasi perempuan telah melestarikan pandangan bahwa
peranan dan fungsi perempuan dalam masyarakat adalah sekunder dan figuratif.
Bahkan hanya diposisikan sebagai objek dan resipen saja. World Survey on
Women in Development menarik
kesimpulan bahwa pada tingkatan global, kedudukan perempuan dalam masyarakat
dan peranannya dalam pembangunan justeru sangat penting. Kontribusi perempuan
dalam pembangunan ekonomi cukup besar. Ilustrasi kenyataan itu, bahwa kaum
perempuan menempati posisi satu diantara empat karyawan industri dan empat dari
sepuluh pekerja di bidang pertanian dan jasa. Perempuan memberikan 66 persen
dari jam kerjanya, tetapi hanya mendapatkan 10 persen dari upahnya. Perempuan
bertanggungjawab terhadap 50 persen produksi pangan dunia tetapi hanya
menguasai 1 persen saja dari material goods yang ada.
Uraian
singkat itu mendeskripsikan bahwa realitas perempuan dalam sistem produksi pun
selalu mengalami nasib serupa: berposisi subordinat. Dari sana kemudian timbul
beberapa pokok persoalan yang berkaitan dengan topik bahasan ini. Pertama,
mengapa sex differences seringkali melahirkan gender differences,
dan mengapa gender differences melahirkan gender inequalities. Kedua,
mengapa kenyataan ketidakadilan gender adalah marjinalisasi kaum perempuan baik
pada proses pembangunan maupun kasus-kasus lainnya.
Sebenarnya,
banyak sekali study-study yang dilakukan untuk membahas program-program
pembangunan yang menjadi penyebab dari kemiskinan dan terpinggirkannya kaum
perempuan. Pada umumnya, inti study tersebut mempersoalkan mengapa
kebijakan-kebijakan pembangunan yang dimunculkan di Dunia Ketiga sama sekali
tidak memperhatikan posisi perempuan. Bahkan tidak jarang kehadiran kebijakan
itu memanfaatkan kaum perempuan untuk dieksploitasi. Penilaian mereka bahwa
kaum perempuan dalam sistem produksi dan aktifitas produksi yang lain memiliki
peluang besar untuk dieksploitasi. Salah satu contoh kebijakan yang
meminggirkan kaum perempuan adalah program swasembada pangan dalam Green
Revolution. Program ini, diakui atau tidak, telah menyingkirkan kaum
perempuan secara ekonomis dari pekerjaan mereka. Program Revolusi Hijau dalam
developmentalisme di Dunia Ketiga, misalnya sengaja dirancang dengan tidak
mempertimbangkan aspek gender sama sekali.
Permasalahan
perempuan di Dunia Ketiga dalam hubungannya dengan developmentalisme bisa
dilakukan dengan memahami kajian-kajian seperti WID (Women In Development),
WAD (Women And Development), maupun GAD (Gender And Development).
Konsep
WID dimulai ketika pemerintah AS mengumumkan The Percy Amendement (Foreign
Assistance Act) pada tahun 1970. Konsep tersebut secara jelas mencantumkan
peran perempuan dalam program pembangunan internasional. Sehingga pada saat itu
dinyatakan sebagai Decade of Women (1976-1985). WID adalah konsep yang
membahas bagaimana meningkatkan peran perempuan dalam pembangunan. Konsep ini
terpengaruh struktural fungsionalism-nya Talcot Parson. Inti teori ini
adalah anggapan bahwa struktur sosial yang ada dipandang sebagai sesuatu yang given.
Oleh karena itu, konsep ini tidak mempertanyakan mengapa posisi perempuan
kurang begitu dihargai sebagai manusia dalam sebuah strategi pembangunan pada
masa itu. Konsentrasi perhatiannya pada bagaimana mengintegrasikan perempuan
dalam berbagai bidang pembangunan tanpa banyak mempersoalkan mengapa posisi
perempuan dalam masyarakat bersifat inferior, sekunder dan dalam hubungan yang
subordinatif terhadap laki-laki.
Program
ini lebih mengakibatkan pengekangan dan penjinakan ketimbang pembebasan
perempuan di Dunia Ketiga. Developmentalisme berupaya memanfaatkan perempuan
sebagai obyek tenaga kerja dengan WID sebagai satu-satunya kebijakan resmi yang
berkenaan dengan perempuan di sebagian besar negara Dunia Ketiga. Kebijakan ini
memberikan janji kepada masyarakat Dunia Ketiga bahwa hanya dengan pembangunan
ekonomi, posisi kaum perempuan dapat terangkat. Kebijakan ini mulai
diberlakukan ketika ada peningkatan tekanan yang diletakkan pada peran perempuan
dalam pembangunan ekonomi secara internasional.
Kritik
pedas terhadap konsep WID banyak dipelopori oleh kaum feminisme, baik
perspektif Liberal, Radikal, Marxis, maupun Sosialis. Tentang hal ini kita bisa
melihat Rosamarie Tong (1989). Hanya kemudian muncul asumsi bahwa gerakan
feminisme hanya merupakan aktualisasi kepentingan penguasa ketimbang
kepentingan kaum perempuan itu sendiri.
Perspektif
Feminisme-Liberal mengatakan, bahwa kebebasan dan kesempatan kerja
berdasarkan rasionalitas. Kaum feminisme-liberal menuntuk kesempatan dan hak
yang sama bagi setiap individu, termasuk perempuan, sebab mereka makhluk
rasional. Bagi mereka, penindasan yang terjadi pada kaum perempuan sering
diakibatkan bukan oleh dominasi kaum pria, namun oleh dominasi struktur ekonomi
dan politik. Meskipun liberalisme telah muncul sejak feminisme gelombang
pertama, yakni pada penghujung abad XIX dan permulaan abad XX, gerakan ini baru
tampak sekitar tahun 1960-an. Gerakan ini semakin menonjol ketika menghembuskan
issunya mengenai ketidakadilan gender di Dunia Ketiga. Keterbelakangan kaum
perempuan di Dunia Ketiga menurut pandangan kaum Feminisme-Liberal, adalah
karena kebodohan dan sikap irrasional yang bermula dari sikap tradisional yang
dipegang teguh. Pandangan ini melihat bahwa modernisasi dan industrialisasi
adalah sebagai satu-satunya cara untuk meningkatkan status perempuan.
Perspektif
Feminisme-Radikal yang muncul sebagai kanter gerakan sexisme Barat
sekitar tahun 1960-an justeru melihat sebaliknya. Berbeda dengan pandangan
pertama, mereka beranggapan bahwa penindasan terhadap kaum perempuan di dunia
diakibatkan oleh superioritas kaum laki-laki yang memposisikan perempuan pada
posisi yang marjinal dan inferior. Patriarkhi atau ideologi kelelakian, menurut
pandangan kaum Feminisme-Radikal, adalah suatu sistem hierarkhi seksual dimana
kaum pria dianggap memiliki kekuasaan yang lebih tinggi ketimbang kaum
perempuan. Pandangan ini mereduksi hubungan gender pada kenyataan alami yang
bersumber pada aspek biologis. Kontribusi penting dari kaum Feminisme-Radikal
terhadap perkembangan issu gender terletak pada kekuatan ideologinya.
Sedangkan
perspektif Feminisme-Marxis mengasumsikan penindasan perempuan sebagai
bagian dari penindasan kelas. Pandangan ini mengesankan teori konflik kelas
yang diajukan Marx, yaitu antara kaum borjuis dan proletar dan bersifat
struktural. Pandangan kaum Feminisme-Marxis menolak mentah gagasan dasar
biologis yang mendasarkan perbedaan gender. Seperti biasanya, pandangan ini
diletakkan sebagai kritik terhadap kapitalisme dan sekaligus berseberangan.
Dalam banyak gagasannya, pandangan kaum Feminis-Marxis ini merujuk karya Engels
yang bertitelkan The Origin of The Family: Private Property and The State. Engels
menjelaskan kunci jatuhnya status perempuan bukan disebabkan oleh teknologi,
namun lebih disebabkan oleh kelas sosial dan pemilikan kekayaan. Menurut
analisis ini, kapitalisme selalu diuntungkan oleh perempuan sebagai tenaga
kerja murah. Selain itu, kehadiran buruh perempuan juga diposisikan sebagai
tenaga kerja cadangan, yang pada gilirannya akan memperkuat posisi bargaining
dari intimidasi solidaritas kaum buruh. Kaum ini mengatakan bahwa perubahan
status perempuan terjadi jika ada revolusi sosial dan penghapusan besar-besaran
kerja domestik perempuan dalam rumah tangga (Marxis-Klasik).
Perspektif
lainnya adalah yang dimuncullkan kaum Feminis-Sosialis. Perspektif
merupakan sintesa antara model Historia-nya Marx dan The Personal
Political-nya Engels. Pandangan kaum Feminis-Sosialis sudah tidak seperti
Feminis-Marxis lagi, sebab mereka sudah tidak memposisikan faktor eksploitasi
ekonomi sebagai sesuatu yang mendasar dari munculnya masalah penindasan gender.
Perspektif Sosialis ini merupakan perkembangan lanjut dari perspektif Marxis.
Bagi mereka, penindasan akan terjadi di level kelas mana saja. Mereka menolak
asumsi umum yang mengatakan hubungan antara partisipasi perempuan dalam ekonomi
sangat diperlukan untuk menaikkan status. Bagi pandangan ini, hal itu justeru
tidak ada hubungannya sama sekali. Artinya, hubungan ekonomi tidak selalu
berhasil menaikkan status perempuan. Justeru yang terjadi sebuah kontradiksi.
Kaum perempuan yang terlibat terlalu jauh dengan aktifitas ekonomi berpeluang
dijadikan sebagai budak (virtual slaves). Mereka berargumentasi bahwa meningkatnya
partisipasi perempuan dalam ekonomi membawa dampak antagonisme seksual
ketimbang status kemanusiaan.
Kritik
bertubi-tubi yang menghantam program WID ini, pada saat yang sama memunculkan
gerakan feminisme yang cukup gencar. Gerakan feminisme tersebut merupakan
sebuah proses transformasi budaya yang bertujuan memaknai kembali hakekat
kemanusiaan. Gerakan ini juga dinyatakan sebagai gerakan perempuan yang
mempunyai dampak paling kuat di zaman ini. Gerakan feminisme terus menegakkan
dirinya sebagai salah satu arus budaya terkuat akhir-akhir ini.
Cara
pandang berikutnya terhadap perempuan berkembang pada WAD (Women And
Development). Konsep ini didasarkan pada ide Feminis-Marxis. Analisis
Marxian, seperti juga pada perspektif Marxis diatas, menjelaskan posisi
perempuan yang terkait dengan sistem ekonomi. Perempuan dianggap sebagai kelas
buruh. Artinya, disamping perempuan terus menerus ditempatkan pada posisi
subordinat di bawah bayang-bayang laki-laki, ia juga dilokasikan layaknya
hubungan seorang buruh dan pemodal. Pada perspektif humanisme, pandangan ini
memang agak lebih baik daripada WID yang secara terus terang mengeksploitasi
perempuan. Inti pandangan ini menyejajarkan perempuan dan pembangunan, meski
kenyataan perempuan masih berada dalam posisi subordinat dengan kaum laki-laki.
Pembahasan
berikutnya adalah GAD (Gender And Development). Pendekatan ini
menekankan aspek humanitasnya dalam menganalisis cara masyarakat diorganisir,
baik secara ekonomi, politik maupun budaya. Fokus perhatiannya adalah
konstruksi sosial gender yang mengatur alokasi peran, atribut, hak, kewajiban,
tanggungjawab, maupun harapan baik laki-laki maupun perempuan. Jika WID
menganggap pembangunan berorientasi produksi yang meletakkan nilai dan
produktifitasnya pada tempat utama meski dengan mendegradasikan manusia sebagai
utility maximizer atau profit maximizer, maka GAD justeru melihat
pembangunan sebagai proses yang berorientasi kemanusiaan.
Dekomposisi
Ekologi
Pembangunan
yang diselenggarakan Dunia Ketiga dengan bingkai developmentalisme berimbas
pada sebuah karakter yang melekat sangat kuat dalam pembangunan itu sendiri,
yakni anti ekologi. Pembangunan ekonomi yang menggariskan industrialisasi
sebagai panglima segera melegitimasi watak ini. Kerusakan lingkungan dalam praktik
developmentalisme adalah sesuatu yang tak terhindarkan. Sebab, apabila saja
konsep ekologi dan konsep ekonomi dipertemukan, maka kepentingan keduanya
berbenturan satu sama lain.
Aspek
yang sangat kuat terkena dampak industrialisasi adalah bidang pertanian.
Industrialisasi pertanian terutama di pedesaan berjalan seiring dengan
berkembangnya diskursus pembangunan di Dunia Ketiga. Industrialisasi dan
kerusakan lingkungan sebagai mata rantai dialektik antara sebab dan akibat
merupakan fenomena. Masalah kawasan lingkungan di kawasan pedesaan Dunia Ketiga
ini lebih berakar pada imbas industrialisasi pertanian.
Industrialisasi
sebagai kekuatan progresif telah memanfaatkan teknologi untuk mengeksploitasi
sumberdaya alam. Ia juga melarang pengurangan ketergantungan pada pertanian.
Misalnya, dengan mengikuti alur logika indusrtrialisasi, pembangunan pertanian,
khususnya pada Revolusi Hijau, dipraktikkan sebagai proses linier yang mengubah
pengolahan ladang, metode penggunaan buruh dan tabungan kapital, menjadi cara
pengolahan ladang yang permanen dan melalui stimulasi akselerasi penduduk yang
menghasilkan arus balik dari industri. Penelitian tanaman, pestisida, pupuk dan
mekanisasi, semuanya membantu memperbesar tabungan buruh dan modal intensif.
Produksi industri yang berhasil menembus wilayah pertanian adalah bahan-bahan
kimia seperti pestisida atau produk-produk bioteknologi lain. Namun, kehadiran
bioteknologi bersamaan dengan Revolusi Hijau ini justeru dianggap sebagai biang
perusakan ekosistem dan tata lingkungan yang ada. Revolusi Hijau yang terjadi
serta merta mengukuhkan industrialisasi dan bioteknologi sebagai solusinya.
Harapan program ini, dengan mengubah cara tanam dan penggunaan tenaga kerja
serta pemodalan, otomatis didapatkan peningkatan produksi secara kuantitatif
maupun kualitatif.
Tahapan
berikutnya tampak bahwa program bioteknologi ini justeru tidak mampu
menyelesaikan problema hama yang semula dialami para petani itu. Justeru
program bioteknologi berbalik menempelak muka sendiri. Program inipun akhirnya
tidak bisa mengelak dari tuduhan bahwa ia adalah penyebab utama kerusakan
lingkungan yang baru dan berdampak lebih parah. Bibit dan racun kimia yang
menjadi produk utama Green Revolution mengakibatkan tercemarnya
lingkungan yang tak ternilai kerugiannya. Kita paham bahwa bibit unggul,
pestisida, pupuk buatan dan mekanisasi akan mendorong ke industri padat modal.
Namun bibit buatan mereka ini tidak unggul terhadap hama. Karenanya butuh pestcontrol
dan plant protection dengan memakai pestisida besar-besaran.
Ternyata pestisida bukan merupakan racun yang mampu mengontrol hama seperti
resepnya, bahkan mengakibatkan hama baru disamping meningkatkan daya tahan hama
lama. Belum lagi bahaya residu bagi manusia. Padahal sesungguhnya perang lawan
dengan hama menggunakan pestisida itu tidak perlu dilakukan. Para petani telah
mengetahui bahwa mekanisme kontrol hama sudah ada dalam ekologi tanaman itu
sendiri.
Kesalahan
besar jika pertanian diindustrialisasikan. Hal itu yang dikatakan oleh W.C.
Clarke (1978), dalam The Adaption of Traditional Agriculture: Sosioeconomic
Problem of Urbanization. Development Studies Centres Monograph, No. 11,
1978, sambil menunjukkan kebaikan-kebaikan pertanian pra-industrialisasi.
Selain dampak bioteknologi pada Revolusi Hijau di bidang pertanian, persoalan
lain yang mengakibatkan bidang pertanian mengalami kerusakan adalah pemanasan
global. Pemanasan global sebagai gejala ekologi akibat industrialisasi, efek
rumah kaca dan dampak teknologi lain yang bersifat destruktif. Pengaruh pemanasan
global yang terjadi pada pertanian Dunia Ketiga merupakan model penyebab
kecemasan lebih lanjut. Tamperatus tinggi jelas berpengaruh pada persediaan
air, polusi atmosfer, penyusutan hutan. Hal itu akan mengurangi keanekaragamamn
hayati spesies tumbuh-tumbuhan.
Hal
sama seperti yang dialami sektor pertanian adalah sektor perikanan dan
kelautan. Bidang inipun tidak lepas dari ekses pembangunan dan industrialisasi
yang membawa teknologi pukat modern ke Dunia Ketiga sebagai instrumen yang
disengaja meningkatkan hasil produksi. Namun imbasnya, kacaunya ekosistem
kehidupan laut. Impor teknologi Utara yang tidak tepat guna secara progresif
telah menghancurkan sistem produksi asli di Selatan yang sebenarnya lebih cocok
dan dapat menopang daya dukung ekologi. Ia tidak berpretensi menghancurkan
sumber-sumber alam, seperti penangkapan ikan dengan pukat modern yang
diperkenalkan pada Dunia Ketiga melalui program-program bantuan bilateral
maupun multilateral. Prosesnya, sistem pukat ini justeru menghancurkan cara penangkapan
tradisional yang lebih bersifat berkesinambungan (sustuinable) secara
ekologis.
Siapa
sessungguhnya yang mesti mempertanggungjawabkan seluruh problema ini? Kok Peng
berkomentar bahwa sistem ekonomi kapitalisme dan para anteknya-lah yang harus
bertanggungjawab. Sebab sistem ekonomi kapitalismeb telah mendorong manusia
memiliki motivasi eksploitasi total sumberdaya alam yang ada. Diskursus
kapitalisme global dan dengan berbagai bentuknya yang dipraktekan dunia
tercatat menjadi segala penyebab kehancuran tata ekologi bumi. Hal itulah yang
mesti memunculkan adanya globalisasi penemuan solusi.
Subordinasi
Agama
Sejauh
mana posisi vital agama dalam wacana developmentalisme? Itulah
pertanyaan yang coba kita jawab dalam sekian problematikan developmentalisme
sejauh yang kita bahas diatas. Sebelumnya, ada permasalahan pokok yang harus
diajukan terlebih dahulu sebelum memulai kajian tentang agama dan developmentalisme.
Pertama, bagaimana sesungguhnya elan agama memberikan kontribusinya pada
prosesi ekonomi, dan pada gilirannya adalah pada developmentalisme. Kedua,
bagaimana prosesi ekonomi yang termanifestasikan pembangunan ekonomi bersikap
dan bereaksi atas eksistensi agama, atau sebaliknya, bagaimana fenomena agama
dalam bingkai pembangunan (yang linier dengan konsep pertumbuhan ekonomi).
Upaya
memahami keterkaitan antara agama dan pembangunan, kita terlebih dahulu
mengemukakan tesis Weber The Protestant Ethics and The Spirit of Capitalism,
yang selanjutnya menjadi perbincangan serius di Dunia Barat. Weber meyakini
bahwa ada hubungan yang sangat erat antara model keberagamaan individu dengan
etos kerja yang dimilikinya. Dogma Etika Protestan ialah tuntutan individu
untuk melakukan kerja keras demi keberlangsungan hidupnya di dunia. Etika
Protestan disebut sebagai ornamen ideologis (juga teologis) yang sukses membawa
kebesaran serta keangkuhan kapitalisme. Etos kerja individu yang tinggi sebagai
manifestasi dasar teologi semacam ini berjasa besar dalam mendorong kegairahan
kapitalisme makin memuncak. Model keberagamaan seseorang, demikian Weber,
ternyata sama sekali tidak bisa dilepaskan dari aktifitas pembangunan ekonomi
di Eropa masa itu. Dengan begitu, kita bisa menarik kesimpulan bahwa Etika
Protestan adalah mangsa pertama dogma agama yang sanggup mempengaruhi
pembangunan.
Tesis Weber mendapatkan
sambutan positif Martin Luther King yang terkenal dengan konsep 'panggilan
agama untuk bekerja'. Luther King menganggap bahwa kontribusi penting agama
untuk kapitalisme terletak pada konsepsinya yang mengajarkan sikap hidup keras.
Intinya, agama harus menjadi motivator dan memanggil pemeluknya untuk bekerja
keras demi kelangsungan hidupnya. Ini persis dengan yang dikatakan Emile
Durkheim mengenai dimensi-dimensi agama. Menurut Durkheim, semua agama di dunia
memiliki karakter yang sama dan memiliki dua unsur dominan, yaitu hal-hal yang
dianggap suci atau imanen dan hal-hal yang dianggap duniawi atau profan.
Manifestasi dua domain ini bisa nampak bersamaan maupun secara terpisah, atau
justeru saling menegasikan. Keduanya bisa bergabung dalam sebuah institusi
agama yang bisa dianggap suci dan sakral tetapi mewujud dalam bentuk fisik dan profan.
afwan background dgnti aj dhe, kasihan yg mbaca susah plgy kyak aku yg kacamatanan hehehehe
BalasHapus