SISTEM KAPITALISME GLOBAL
A.
Gagasan Dasar Kapitalisme
Membincarakan dasar teori ekonomi kapitalisme,
sosok Adam Smith dengan buku termasyhurnya, The Wealth of Nations, dapat
di sebut sebagai Bapak Kapitalisme. Dalam membahas teori dasar kapitalisme adalah dengan mengetahui ciri dasar
sistem tersebut, yaitu pemaksimalan keuntungan individu melalui
kegiatan-kegiatan ekonomi yang dimaksudkan membantu kepentingan publik.
Makna kapitalisme untuk
kepentingan publik tersebut, oleh Adam Smith diilustrasikan dengan sangat
jelas: “Apa yang kita harapkan untuk makan malam kita tidaklah datang dari
keajaiban dari si tukang daging, si pemasak bir atau si tukang roti, melainkan
dari apa yang mereka hormati dan kejar sebagai kepentingan pribadi. Malah
seseorang umumnya tidak berkeinginan untuk
memajukan kepentingan publik dan ia juga tidak tahu sejauh mana ia
memiliki andil untuk memajukannya. Yang ia hormati dan ia kejar adalah
keuntungan bagi dirinya sendiri. Di sini ia dituntun oleh tangan-tangan yang
tak terlihat (the invisible hands) untuk mengejar yang bukan bagian dari
kehendak sendiri. Bahwa itu juga bukan merupakan bagian dari masyarakat, itu
tidak lantas berarti suatu yang lebih buruk dari masyarakat. Dengan mengejar
kepentingan sendiri, ia kerap kali memajukan kepentingan masyarakat lebih efektif
dibandingkan dengan jika ia sungguh-sungguh bermaksud memajukannya. Saya tidak
pernah menemukan kebaikan yang dilakukan mereka yang sok berdagang demi
kepentingan publik”.[1]
Penjelasan ilustratif
tersebut sebenarnya tidak bermaksud lain kecuali kehendak untuk memaknai
kapitalisme dengan memadukan kepentingan individu di satu pihak dan kepentingan
publik di pihak yang lain. Dari premis itu ialah bahwa kapitalisme merupakan
sebuah sistem ekonomi yang lebih berorientasi pada pemenuhan kebutuhan ekonomi
secara individu. Meskipun demikian, orientasi individu tetap merupakan tahapan
awal bagi kepentingan publik atau sosial. Motif sosial yang tersembunyi (hidden social motive) yang
disebut Smith sebagai the invisible hands.
Kehendak untuk memadukan
kepentingan privat dan publik ini selanjutnya dijelaskan bahwa setiap manusia,
dengan demikian, dipimpin langsung oleh kepentingan dan tindak tanduk
ekonominya. Manusia yang bersangkutanlah yang mengetahui apa kepentingan mereka
sesungguhnya. Oleh sebab itu, dialah yang dapat memenuhi kepentingan dengan
sebaik-baiknya. Hal ini bukan dimaksudkan untuk mengesampingkan kepentingan
bersama, tetapi mereka berfikir bahwa kepentingan bersama ini akan dapat
diperhatikan dengan sebaik-baiknya pula apabila setiap individu mendapat
kesempatan untuk memenuhi, memuaskan, dan mengekspresikan kepentingannya
masing-masing tanpa restriksi.
Setelah ia menulis The Wealth of Nations, Smith
sudah mengemukakan dalam Theory of Moral Sentiments sebagai dasar
filsafat teori ekonominya. Ia menentang dengan tegas pendapat de Mandeville bahwa privet vice makes
public benevit. De Mandeville memandang bahwa kemewahan atau
pengejaran keuntungan ekonomi itu dosa, meski dosa itu sendiri diperlukan untuk
kesejahteraan masyarakat. Smith justru melihat sebaliknya, dengan meniru
gurunya Francis Hutcheson, ia mengatakan bahwa kebajikan adalah pengendali
nafsu dan bukan sebuah antipati yang mutlak. Dalam The Wealth of Nations sendiri, Smith pernah mengatakan
bahwa: “The nature and causes of the wealth of nations is what is properly
called political economy”. Ini menunjukkan bahwa nama bukunya saja sudah
cukup untuk menjelaskan apa sesungguhnya yang menjadi tujuan dari aktifitas
ekonomi.[2]
Mempelajari paradigma dan
ide dasar kapitalisme juga bisa dilakukan dengan membuat
interpretasi-interpretasi karya Smith seperti yang banyak dilakukan. Kita
memahami bahwa masterpiece Smith tersebut sesungguhnya hanya meletakkan
gagasan-gagasan cemerlangnya secara umum saja. Sjahrir (1995) menerjemahkan The
Wealth of Nations yang membidani lahirnya teori kapitalisme itu dengan
membuat rincian sederhana seperti, apa yang harus diproduksi dan dialokasikan,
bagaimana cara memproduksi dan mengalokasikan sumber daya, serta bagaimana cara
mendistribusikan sumber daya dan hasil produksi.[3]
Pemahaman lain tentang ide
dasar kapitalisme juga diberikan oleh Max Weber[4].
Ia mendefinisikan kapitalisme sebagai sistem produksi komoditi berdasarkan
kerja berupah untuk dijual dan diperdagangkan guna mencari keuntungan. Ciri
produksi berdasarkan upah buruh itu merupakan karakter mendasar bagi
kapitalisme. Bagi Weber, ciri kapitalisme yang lebih mendasar lagi adalah pada
sistem pertukaran di pasar. Sistem di pasar ini menimbulkan konsekuensi logis
berupa rasionalisasi yang mengacu pada bagaimana cara meraih keuntungan yang
sebesar-besarnya. Dengan kata lain, bagaimana melakukan akumulasi kapital
secara terus menerus. Akumulasi kapital itu dimaksudkan untuk melakukan
produksi barang atau jasa yang lebih menguntungkan (more profitable). Keuntungan
inilah yang secara dominan bagi rasionalitas tekhnologi.
Sedangkan bagi Marx,
kapitalisme tidak didefinisikan oleh motif atau orientasi kaum kapitalis.
Apapun motif yang mereka sadari, mereka sebenarnya didorong oleh logika sistem
ekonomi untuk memupuk modal. Kapitalisme bagi Marx suatu bentuk masyarakat
kelas yang distrukturasikan dengan cara khusus di mana manusia diorganisasikan
untuk produksi kebutuhan hidup.[5]
Sejalan dengan zaman,
kapitalisme terus berkembang, bergerak dan beradaptasi dengan sejarah. Jorge
Larrain mengemukakan, “Kapitalisme dicirikan oleh dominasi obyek atas subyek,
modal atas pekerja, kondisi produksi atas produsen, buruh mati atas buruh
hidup. Bahkan menurut Marx, kapitalisme adalah hasil dari praktek reproduksi
manusia. Marx menganalisa hal tersebut tidak hanya untuk mengetahui bagaimana
sistem itu bekerja dan memproduksi diri sendiri, tetapi juga untuk menunjukkan
kondisi yang mampu menggantikannya”.[6]
Kapitalisme yang dibuat
oleh Lorens Bagus, berasal dari bahasa Inggris, capitalism atau kata
latin, caput yang berarti kepala. Kapitalisme itu sendiri adalah sistem
perekonomian yang menekankan peranan kapital atau modal.[7] Poin-poin penting yang bisa dilihat dan biasa
digunakan untuk mengartikan kapitalisme adalah: Pertama, kapitalisme
adalah ungkapan kapitalisme klasik yang dikaitkan dengan apa yang dimaksud oleh
Adam Smith sebagai permainan pasar yang memiliki aturan sendiri. Ia yakin bahwa
dengan kompetisi, pekerjaan dari tangan yang tidak kelihatan akan menaikkan
harga pada tingkat alamiah dan mendorong tenaga kerja atau modal mengalami
pergeseran dari perusahaan yang kurang menguntungkan. Ini berarti kapitalisme
merupakan usaha-usaha kompetitif manusia yang akan dengan sendirinya berubah
menjadi kepentingan bersama atau kesejahteraan sosial (social welfare).
Kedua, kapitalisme merupakan ungkapan Prancis laissez-faire,
laissez-passer, yang berarti ‘semaunya’, yang dilekatkan sebagai ungkapan
penyifat. Ungkapan laissez-faire menekankan sebuah pandangan bahwa dalam
sistem ini, kepentingan ekonomi dibiarkan berjalan sendiri agar perkembangan
berlangsung tanpa pengendalian Negara dan dengan regulasi seminimal mungkin. Ketiga,
kapitalisme adalah ungkapan Max Weber bahwa ada keterkaitan antara
bangkitnya kapitalisme dengan protestanisme. Kapitalisme merupakan bentuk
sekuler dari penekanan protestanisme pada Individualisme dan keharusan
mengusahakan keselamatan sendiri.
B.
Akar Historis Kapitalisme
Sistem perekonomian
kapitalisme muncul dan semakin dominan sejak peralihan zaman feodal ke zaman
modern. Kapitalisme seperti temuan Karl Marx
menjadi sistem yang dipraktekkan di dunia bermula di penghujung abad XIV
dan awal abad XV. Kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia terkait erat
dengan kolonialisme. Pada zaman kolonialisme ini akumulasi modal yang
terkonsentrasi di Eropa (Inggris) didistribusikan ke penjuru dunia, yang
menghadirkan segenap kemiskinan di wilayah jajahannya.
Kelahiran kapitalisme ini
dibidani oleh tiga tokoh besar, yaitu Martin Luther yang memberi dasar-dasar
teosofik, Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik dan Adam Smith
yang memberikan dasar-dasar ekonominya. Martin Luther yang memberi dasar-dasar
teosofik adalah seorang Jerman yang melakukan gerakan monumentalnya, 31 Oktober
1571 dengan menempelkan tulisan protesnya di seluruh penjuru Roma. Ia tidak
menerima kenyataan praktik pengampunan dosa yang diberlakukan gereja Roma.
Kemudian ia meletakkan ajaran dasarnya, yaitu: “Manusia menurut kodratnya
menjadi suram karena dosa-dosanya dan semata-mata lewat perbuatan dan karya
yang lebih baik saja mereka dapat menyelamatkan dirinya dari kutukan abadi”.
Sedangkan bagi Benjamin Franklin yang memberi dasar-dasar filosofik, mengajak
orang untuk bekerja keras mengakumulasi modal atas usahanya sendiri. Kemudian
Franklin mengamanatkan: “Waktu adalah Uang”. Bagi Adam Smith yang memberikan
dasar-dasar ekonominya dan tarcantum dalam buku An Inquiry into The Nature
and Causes of The Wealth Nations, Adam Smith lebih mengkongkretkan spirit
kapitalismenya dalam sebuah konsep sebagai mekanisme pasar. Basis folologisnya
adalah laissez-faire, laissez-passer. Ia mengatakan bahwa barang langka
akan menyebabkan harga barang tersebut menjadi mahal sehingga menjadi sulit
didapatkan terutama oleh mereka yang berpenghasilan rendah. Tetapi menurut
Smith bahwa yang harus dilihat adalah perilaku produsen. Ketika harga barang
mahal, maka keuntungan akan meningkat. Ketika keuntungan yang dijanjikan atas
barang tersebut tinggi, maka banyak produsen yang memproduksinya. Sehingga dengan
demikian kelangkaan barang tersebut akan terpenuhi dan menjadi murah dan
kebutuhan masyarakat akan terpenuhi. Sehingga
masalah yang terjadi di masyarakat akan diselesaikan oleh the invisible
hands.
Banyak pakar memberikan
penjelasan bahwa kapitalisme sebagai sistem perekonomian dunia baru dimulai
sejak abad XVI. Menurut Dudley Dillard pada zaman kuno sebenarnya sudah
terdapat model-model ekonomi yang merupakan cikal-bakal kapitalisme. Bagi
Dillard, kapitalisme tidak saja dipahami sebagai sistem ekonomi pasca abad XVI.
Kantong-kantong kapitalisme sebagai cikal-bakal dan ruh kapitalisme justru
mulai berkembang diakhir abad pertengahan. Dillard membagi urutan perkembangan
kapitalisme menjadi tiga tahapan.[8] Secara kronologis dalam tahapan sejarah
perkembangannya: Kapitalisme Awal, Kapitalisme Klasik dan Kapitalisme Lanjut.
1.
Kapitalisme Awal (1500-1750).
Kapitalisme untuk periode
ini masih mendasarkan pada pemenuhan kebutuhan pokok yang ditandai dengan
kehadiran industri sandang di Inggris sejak abad XIV sampai abad XVIII. Meski
industri sandang tersebut masih menggunakan mesin pemintal yang sangat sederhana,
pada gilirannya mampu meningkatkan apa yang disebut sebagai surplus sosial.
Seperti dijelaskan Dillar, dalam prakteknya industri sandang mengahadapi banyak
problem dan kesulitan. Namun demikian, berbagai kendala tersebut tak mampu
menjadi penghalang bagi kesuksesan industri tersebut. Bahkan di beberapa
wilayah pelosok Inggris, industri tersebut terus berkembang pesat selama kurun
waktu abad XVI sampai XVII. Surplus sosial yang didapatkan terus menerus secara
produktif ternyata mampu menjadikan kapitalisme mampu bersaing dengan sistem
ekonomi sebelumnya. Kelebihan itu didayagunakan untuk usaha perkapalan,
pergudangan, bahan-bahan mentah, barang-barang jadi dan variasi untuk kekayaan
yang lain.
Perluasan demi perluasan
dengan argumentasi produktifitas yang dilakukan selanjutnya mengahdirkan
fenomena dramatis dengan munculnya kolonisasi atau imperealisme ke
daerah-daerah lain yang tak memiliki keseimbangan produksi. Lebih lanjut pada
informasi yang sama, Dillar juga pernah menguraikan bahwa perkembangan
kapitalisme pada tahapan ini didukung oleh tiga faktor yang sangat penting
yaitu: (1) dukungan agama dengan menanamkan sikap dan karakter kerja keras dan
ajuran untuk hidup hemat, (2) hadirnya logam mulia terhadap distribusi
pendapatan atas upah, laba dan sewa, serta (3) keikutsertaan Negara dalam
membantu membentuk modal untuk berusaha.
Studi Russel, Modes of
Productions individu Wolrd History London and New York, Routledge, 1988,
menjelaskan bahwa kapitalisme pada fase ini tidak bisa tidak menyebut bahwa
Eropa dan Inggris abad ke-12 adalah sebagai lokasi awal perkembangan
kapitalisme. Russel menunjuk wilayah perkotaan untuk mencontohkan bahwa saudagar
kapitalis menjual barang-barang produksi mereka dalam suatu perjalanan dari
satu tempat ke tempat lainnya. Mula-mula mereka hanya menjual barang kepada
teman sesama saudagar perjalanan. Kegiatan
ini kemudian berkembang menjadi perdagangan publik.
2.
Kapitalisme Klasik (1750-1914).
Pada fase ini terjadi
pergeseran perilaku para kapitalis yang semula hanya perdagangan publik, ke
wilayah yang mempunyai jangkauan lebih luas yaitu industri. Transformasi dari
dominasi modal perdagangan ke dominasi modal industri yang seperti itu
merupakan ciri Revolusi Industri di Inggris. Perubahan dalam cara menentukan
pilihan tekhnologi dan cara berorganisasi berhasil memindahkan industri dari
pedesaan ke sentra-sentra perdagangan lama di perkotaan selama Revolusi Industri.
Akumulasi kapital yang terus menerus membengkak selama dua atau tiga abad mulai
menunjukkan hasil yang baik pada abad XVIII. Penerapan praktis dari ilmu
pengetahuan teknis yang tumbuh selama berabad-abad dapat sedikit demi sedikit
dilakukan. Kapitalisme mulai menjadi penggerak bagi perubahan tehnologi karena
akumulasi modal memungkinkan penggunaan berbagai inovasi.
Tepat pada fase ini
kapitalisme mulai meletakkan dasarnya yaitu laissez-faire, laissez-passer sebagai
doktrin mutlak Adam Smith. Dillar menerangkan bahwa perkembangan kapitalisme
pada fase kedua ini semata-mata menggunakan argumentasi ekonomis. Perkembangan
ini tentu saja menjadi parameter keberhasilan bagi kaum borjuis dalam struktur
sosial masyarakat. Kesuksesan ekonomis berimbas pada kesuksesan di bidang
politik, yaitu hubungan antara kapitalis dan Negara. Proses ini menguntungkan
kapitalisme terutama dalam penentuan gaya eksplorasi, eksploitasi dan perluasan
daerah kekuasaan sebagai lahan distribusi produksi. Periode kapitalisme klasik
erat kaitannya dengan karya Adam Smith An Inquiry into The Nature and Causes
of The Wealth Nations (1776) melalaui karya ini terdapat analisa bahwa
kapitalisme kuno sudah berakhir dan bergeser menjadi kapitalisme klasik.
3.
Kapitalisme Lanjut (Pasca 1914).
Kapitalisme lanjut dijelaskan mulai berkembang sejak abad XIX, tepatnya
tahun 1914, Perang Dunia I sebagai momentum utama. Abad XX ditandai oleh
perkembangan kapitalisme yang sudah tidak lagi bisa disebut sebagai kapitalisme
tradisional. Kapitalisme fase lanjut sebagai peristiwa penting ini ditandai
paling tidak oleh tiga momentum. Pertama, pergeseran dominasi modal dari
Eropa ke Amerika. Kedua, bangkitnya kesadaran bangsa-bangsa di Asia dan
Afrika terhadap kolonialisme Eropa sebagai ekses dari kapitalisme klasik, yang
kemudian memanifestasikan kesadaran itu dengan perlawanan. Ketiga,
Revolusi Bolzhevik Rusia yang berhasrat meluluhlantakkan institusi fundamental
kapitalisme yang berupa pemilikan kapital secara individu atas penguasaan
sarana produksi, struktur kelas sosial, bentuk pemerintahan dan kemapanan
agama. Dari sana kemudian muncul ideologi tandingan, yaitu komunisme.
Kapitalisme abad XX berhasil tampil meliuk-liuk dengan performance
yang selalu bergerak mengadaptasikan kebutuhan umat manusia pada zaman dan
situasi lingkungannya. Bagi Daniel Bell,[9] fleksibilitas ini sukses membawa kapitalisme
sebagai akhir ideologi (The End of Ideology) yang mengantarkan umat
manusia tidak hanya menuju gerbang yang penuh pesona ekstasi melainkan juga
pada gerbang yang berpeluang besar untuk kehancuran umat manusia.
Budiman (1997; 86) menyebut bahwa kapitalisme seolah menjadi pesolek tanpa
tanding dalam merebut perhatian para teoritisi sosial dunia. Salah satu hal
yang membuat kapitalisme bertahan adalah kelenturan produk yang ditawarkan.
Produk-produk yang disediakan bersifat adaptif dengan zamannya. Citra-citra
yang disodorkan tidak pernah dibiarkan begitu saja dan menjadi sebentuk
kesombongan ideologis yang menjenuhkan, melainkan disesuaikan dengan berbagai
desakan pluralisasi wacana kehidupan. Kapitalisme berhasil tetap bertahan
karena ia mampu menghadirkan demokrasi ekonomi dan politik sebagai bentuk
keinginan umat manusia yang paling mutakhir, tapi sebatas citra, demokrasi yang
semu. Produk kapitalisme yang menggairahkan tersebut dipandang Guy Debord
sebagai trap, bahwa saat ini kapitalisme sedang menyiapkan perangkat
kebudayaan yang mengantarkan umat manusia pada kondisi komoditi yang final dan
melelahkan.[10]
Produk lain yang ditunjukkan oleh kapitalisme lanjut adalah sedemikian
menjamurnya korporasi-korporasi modern. Korporasi sudah tidak lagi bergerak di
bidang industri manufaktur, melainkan jasa dan informasi. Ia berusaha
mendominasi dunia dengan kecanggihan tekhnologi serta orientasi menghadapi
ekonomi global. Ia lazim berbentuk MNC/TNC
(MultiNational Corporation/Trans National Corporation). Kehadirannya semakin mempertegas bahwa pelaku
aktifitas ekonomi sesungguhnya bukanlah institusi Negara, melainkan para
pengusaha bermodal besar. Sebab hanya dengan modal mereka bisa melakukan
kegiatan ekonomi apa dan di mana saja.
Dengan semakin pentingnya modal, peranan Negara menjadi tereduksi, tapi
juga hilang sama sekali. Negara hanya sekedar menjadi aktor pelengkap (Complement
Actor) saja dalam percaturan ekonomi dunia, meski dalam beberapa kasus peran
Negara tetap dibutuhkan sebagai fasilitator untuk mendukung roda ekonomi yang
sedang diputar kapitalis. Inilah yang dinubuat Galbraith dengan mengatakan
bahwa korporasi modern menerapkan kekuasaan melalui pemerintahan. Para
kapitalis ini tetap membutuhkan keterlibatan Negara untuk memfasilitasi setiap
produk yang dipasarkan. Hubungan simbiosis mutualisme ini selanjutnya menjadi
karakter dasar dari kapitalisme lanjut. Peristiwa ini menyebabkan para pakar
menyebut bahwa kapitalisme lanjut adalah kapitalisme monopoli (monopoly
capitalism) atau kapitalisme kroni (crony capitalism).[11]
Korporasi modern dan Negara menjalin hubungan yang didasarkan pada
distribusi kekuasaan dan profit. Hubungan yang berkembang antara korporasi
modern dan birokrasi publik, seperti kapitalis yang membuat mobil dan Negara
yang membangun jalan raya, kapitalis yang membuat pesawat tempur dengan Negara
yang mengendalikan Departemen Udara dan sebagainya.[12] Selain hal itu, apa yang diungkap Galbraith
sebagai kapitalisme lanjut adalah pemfungsian institusi Negara sebagai jaminan
kontrol dari doktrin mekanisme pasar. Bahkan para kapitalis dengan sengaja
berani membiayai dan merekayasa Negara. Tujuannya adalah untuk mengatasi
kemungkinan terjadinya disintegrasi sistem soaial dalam struktur masyarakat
yang diakibatkan oleh kontradiksi-kontradisi dalam tubuh kapitalisme itu sendiri.
Asumsi ini diperkuat oleh fakta pertumbuhan industri-industri kapitalisme
hingga menciptakan sindroma korporasi-korporasi modern ternyata memiliki
pengaruh yang sangat besar terhadap kekuasaan politik.
Dalam hal ini Galbraith memperkuat argumentasinya dengan uraian yang
mendalam tentang keterkaitan Negara dalam dimensi politis dan kapitalis dalam
dimensi ekonomis. Semakin menguatnya campur tangan institusi Negara ke dalam
aktifitas-aktifitas ekonomi acap mendisfungsionalisasikan fungsi dari Negara itu
sendiri. Hal itu bisa ditunjukkan dengan merosotnya atensi Negara yang
bersangkutan terhadap persoalan-persoalan lain di luar masalah teknis
administratif.
Sementara menurut pandangan Clauss Offe dalam Habermas, sejauh kegiatan
Negara diarahkan pada stabilitas dan pertumbuhan ekonomi, politik selalu
menampilkan sifat negatif yang khas. Politik diarahkan untuk mengatasi
disfungsionalitas dan menghindari resiko-resiko yang membahayakan sistem.
Politik tidak diupayakan untuk merealisasikan tujuan-tujuan, melainkan pada
pemecahan masalah-masalah teknis. Kegiatan Negara dibatasi hanya pada
persoalan-persoalan teknis yang bisa dipecahkan secara administratif sehingga
dimensi praksisnya hilang.[13] Hubungan faktor politik-kapitalis dengan
melakukan kolaborasi adalah cara pandang Keynes, dan persoalan itu susah untuk
dihindarkan. Keynes sangat tertarik pada keseluruhan adegan sosial dan politik
yang diproduksi secara bersamaan. Ia memandang teori ekonomi sebagai suatu alat
kebijakan politik. Ia membelokkan apa yang disebut metode ilmu ekonomi klasik
yang bebas nilai untuk melayani tujuan dan target mental, dan untuk itu ia
membuat ilmu ekonomi menjadi persoalan politik dengan cara yang berbeda.
Keterkaitan Negara-kapitalis yang ditunjukkan dengan bergesernya mekanisme
kapitalisme bisa dipahami dari Negara Amerika. Yang terjadi di Amerika dewasa
ini bukanlah paham kapitalisme yang asli yang menganut paham laissez-faire,
laissez-passer, melainkan suatu sistem ekonomi yang tetap menggunakan
prinsip dasar kapitalisme yang disesuaikan dengan berbagai rambu hukum yang
membatasi penguasaan resaources dan konsumsi yang berlebihan, baik
secara individual maupun pada tingkat perusahaan.[14] Nilai-nilai yang berlaku pada sistem kapitalisme
Amerika selalu mempertimbangkan beberapa aspek.
Pertama, asas kebebasan (freedom),
dengan pengertian, bebas berkonsumsi dan berinvestasi (free entry individu
consumption and investment) serta pembatasan investasi pemerintah sekaligus
mengikhtiarkan model politik yang demokratis. Kedua, asas keseimbangan (equality),
dengan pengertian, adanya difusi antara kekuatan politik dan ekonomi; adanya bargaining
power yang sama untuk produsen dan konsumen serta adanya kesempatan yang
sama sekaligus upaya untuk menciptakan pemerataan. Ketiga, asas keadilan
(fairness), dengan pengertian, sebuah upaya untuk menghindari praktik
yang tidak adil seperti adanya upah buruh yang tidak memenuhi standar; hubungan
tuan dan majikan yang eksploitatif dan sebagainya. Oleh karena itu, setiap
praktek ekonomi harus dilandasi dengan sikap yang penuh dengan kejujuran dan
keterbukaan (full honesty and disclosure). Keempat, asas
kesejahteraan (welfare), dengan pengertian, adanya pertimbangan
efisiensi alokasi dan produksi. Parameter kesejahteraan bisa diketahui melalui
pengawasan pemerintah terhadap stabilitas harga serta upaya untuk menciptakan
kondisi ketenagakerjaan yang bersifat full employment. Kesehatan dan
keselamatan lingkungan hidup juga mendapat perhatian yang besar. Kelima,
asas pertumbuhan berkesinambungan (sustainable growth) yang indikasinya
adalah pertumbuhan pendapatan riil dan kemajuan tekhnologi. Ada beberapa
kebijaksanaan pemerintah Amerika yang menjadi prioritas dalam menjamin
kebesaran kapitalisme. Di antaranya
adalah kebijaksanaan yang menjamin terciptanya kompetisi seperti terciptanya UU
Anti Trust (Sherman Act and Clayton Act). Tujuannya untuk mencegah persaingan yang tidak
sehat diantara pihak yang bersaing. Peraturan ini secara teknis bertujuan untuk
menjamin kebebasan dan keamanan dalam berinvestasi (free exit and entry).
Kemudian kebijaksanaan yang mengatur ke mana arah kompetisi digerakkan.
Pengaturan-pengaturan ini berfungsi untuk melindungi konsumen dan produsen.
Hal itu bisa dilakukan dengan menetapkan etika periklanan dan standarisasi
barang-barang dari segi kualitas maupun kuantitas. Perlindungan merk dagang dan
hak cipta juga mendapatkan perhatian yang cukup serius. Selain itu, adanya
kebijaksanaan yang menjadi jaminan bagi distribusi pendapatan, yakni melalui
pajak. Pajak bisa difungsikan sebagai sarana pemerataan, insentif serta
regulator untuk mempengaruhi alokasi produksi maupun konsumsi.
Yang penting lagi adalah adanya kebijaksanaan yang mengatur public
utility. Ide dasar kapitalisme klasik laissez-faire, laissez passer
dan jargon the invisible hand merupakan asas fundamental yang
terus-menerus diperbaiki dan digunakan untuk mencirikan kapitalisme. Mereka
berpandangan bahwa teori ekonomi secara jelas menunjukkan bahwa mekanisme pasar
tidak akan mampu menyelesaikan proses alokasi barang-barang publik seperti
hukum, pertahanan dan lingkungan. Padahal barang-barang ini merupakan sesuatu
yang vital bagi terjaminnya hidup manusia. Jika mekanisme pasar dibiarkan
dengan sendirinya untuk menentukan alokasi barang-barang publiknya, maka
penyediaannya akan cenderung lebih kecil dibandingkan dengan permintaan
masyarakat (socially desirealible). Karenanya diperlukan peranan
pemerintah untuk menyediakannya. Tindakan ini menjamin produksi barang-barang
kebutuhan dasar (merit goods) diproduksi pada tingkat optimal secara
sosial.[15]
Suasana lain dari kapitalisme lanjut adalah kompetisi (competition),
dan kompetisi dalam kapitalisme Amerika merupakan poin penting dari buku The
New Industrial State (1971) yang ditulis Galbraith. Menurutnya, dalam ilmu
ekonomi klasik persaingan adalah banyaknya penjual yang memperoleh bagian yang
kecil dari pasaran. Galbraith kemudian mengatakan bahwa model persaingan klasik
ini sebagian besar sudah lenyap karena banyak pasar yang dikuasai oleh beberapa
perusahaan. Galbraith juga mengatakan bahwa dalam perkembangan kapitalisme,
timbul institusi yang berusaha mengimbangi kelas kapitalis, yang disebutnya
sebagai kekuatan pengimbang (countervailing power). Kekuatan tersebut
bisa berupa lembaga konsumen yang mengontrol perilaku dan pengaruh produsen,
himpunan buruh yang mengimbangi kekuatan kelas pemilik modal dan kelas manajer.
Lembaga pelindung konsumen, pelindung alam serta organisasi-organisasi volunteer
lain yang berusaha untuk mempertahankan sekaligus memperjuangkan kepentingan
golongan lemah (marginal) dalam masyarakat, yang tentunya mayoritas.
Deskripsi awal dengan menyebut Amerika sebagai pusat segala sesuatu untuk
mengkaji kapitalisme lanjut harap dimaklumkan mengingat kita tidak bisa menolak
bahwa Amerika adalah sentral kapitalisme dunia dari pasca perang dingin atau
awal abad XIX sampai detik ini. Namun sample ini bukan serta merta ingin
menunjukkan bahwa kapitalisme lanjut hanya terbatas (limited) seperti
yang tercermin di Amerika.
Seorang sejarawan peranakan Jepang, Francis Fukuyama, yang kemudian tenar
dengan karyanya, The End of History and Last Man, menyatakan bahwa
demokrasi liberal dan kapitalisme Amerika merupakan titik akhir dari
perkembangan ideologi manusia.[16] Fukuyama menjelaskan bahwa sejarah manusia ini
sudah berhenti pada satu titik yang ekstrim, yakni kapitalisme. Karenanya akhir
sejarah akan merupakan saat yang menyedihkan. Tatkala keberanian, semangat,
imajinasi, idealisme dan humanisme mulai digantikan dengan
perhitungan-perhitungan ekonomi yang rasional. Pada saat itu pula manusia akan
terjebak pada pemecahan masalah teknis yang tidak ada habis-habisnya.
Kapitalisme sibuk merancang kebutuhan konsumen yang bercita rasa melangit.
Sehingga Galbraith dalam karya yang sama juga menuturkan bahwa selama paruh
terakhir abad ini hampir tidak ada topik lain yang dibahas secara serius dan
mendalam kecuali tentang masa depan kapitalisme (The Future of Capitalism).[17]
Akumulasi modal sekarang tidak sekedar menjadi kebiasaan. Ia telah menjadi
sebuah hukum, di balik nuansa ini, tersimpan keniscayaan akan adanya alienasi
bagi mereka, para kelompok mayoritas seperti buruh, petani dan perempuan. Kita
menyadari bahwa kapitalisme model baru menyimpan keniscayaan atas penindasan
kelompok mayoritas. Segitiga konspirasi ala O’Donnel sampai hari ini masih
relevan dalam menjelaskan mekanisme ketertindasan struktural rakyat. Secara
empiris konspirasi itu dapat dilihat dari bagaimana kebijakan-kebijakan Negara
terbentuk atas pengaruh kepentingan TNC.
Tiga pilar neo klasik, TNC/MNC, World Bank/IMF, dan WTO berjalan linier,
sevisi, setujuan menuju kepentingan yang sama, yakni liberalisasi pasar. Di
samping itu ketiga institusi itu adalah kekuatan terbesar dunia abad ini.
Sehingga kita tidak pernah menemukan kebijakan internasional yang tanpa memuat
kepentingan ketiganya.
Kita memang bisa menyadari bahwa kapitalisme lanjut tidak hanya dipahami
sesederhana itu. Jika hujatan terpedas hari ini pada kapitalisme diserangkan
oleh kelompok Marx dengan asumsi konflik kelas, sesungguhnya saat ini kita juga
menyaksikan bagaimana kapitalisme menghadapinya dengan dada terbuka. Cita-cita
Marx yang tertuang dalam kata-kata msayarakat tanpa kelas, justru secara
mengejutkan, bukan terjadi dalam masyarakat komunisme, melainkan dalam
masyarakat kapitalisme. Konsep pilihan publik (public choice) yang
mencoba mengagregasikan kebutuhan-kebutuhan individu berhadapan dengan Negara,
justru pada akhirnya mampu menciptakan masyarakat tanpa kelas. Maka pada saat
kapitalisme, dalam kaitannya dengan Negara, mampu memelihara Negara dengan
mengupayakan reinventing government, bukan barang mustahil apabila
masyarakat tanpa kelas adalah milik kapitalisme, bukan komunisme. Masyarakat
tanpa kelas ternyata gagal dipraktekkan oleh komunisme. Barangkali inilah yang
disebut sebagai akhir sejarah itu, threshold capitalism.
C.
Globalisasi dan Sejarah Ekonomi Internasional
Globalisasi kegiatan
ekonomi dan persoalan pengelolaannya sering dianggap baru muncul setelah Perang
Dunia II, khususnya pada tahun 1960-an. Masa sesudah tahun 1960-an adalah masa
munculnya perusahaan multinasional (MNC) dan berkembangnya perdagangan
internasional. Kemudian, setelah sistem nilai tukar setengah-tetap Bretton
Woods ditinggalkan pada tahun 1971-1973, investasi dalam bentuk surat-surat
berharga internasional dan pemberian kredit oleh bank mulai berkembang dengan
cepat, seiring dengan meluasnya pasar modal ke seluruh dunia, yang menambah
rumit hubungan ekonomi internasional dan membuka jalan bagi globalisasi ekonomi
dunia yang terintegrasi dan saling tergantung.
Sejarah meluasnya kegiatan
perusahaan ke seluruh dunia adalah sejarah yang teramat panjang, dan bukannya
baru dimulai pada tahun 1960. kegiatan dagang, misalnya, telah ada sejak zaman
peradaban kuno, tetapi pada Abad Pertengahan, barulah di Eropa, muncul kegiatan
dagang yang teratur lintas Negara, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga yang
sifatnya korporasi swasta, meski seringkali mendapat dukungan dan bantuan yang
besar dari pemerintahannya. Pada abad ke-14, para pedagang petualang
memperdagangkan wol dan tekstil yang dihasilkan Inggris ke Belanda, Belgia,
Luxemburg, dan Negara-negara lain. Selain itu, di Italia, perusahaan-perusahaan
dagang dan bank-bank memainkan peran penting dalam kegiatan perdagangan ke
seluruh dunia pada masa-masa awal Renaissance. Pada akhir abad ke-14, di
Italia, ada sekitar 150 bank yang sudah melakukan kegiatan di berbagai Negara
(Duning, 1993, hlm. 97-98). Dalam abad
ke-17 dan ke-18 dukungan oleh Negara meluas dengan berdirinya
perusahaan-perusahaan dagang besar kolonial, seperti Dutch East India Company,
British East India Company, Muscovy Company, Royal Africa Company dan Hudson
Bay Company. Semua perusahaan ini mempelopori perdagangan berskala besar di
wilayah yang kelak menjadi wilayah jajahan yang penting.
Tetapi, penyebaran
industri ke seluruh dunialah, sebagai akibat dari revolusi industri, yang paling
dekat dengan perusahaan multinasional di zaman modern. Di sini peranan
perusahaan Inggris sebagai perusahaan multinasional pertama penghasil barang
pabrik tampak jelas. Mula-mula Amerika Utara dan Amerika Selatan membuka
peluang untuk penanaman modal yang paling menguntungkan, disusul kemudian oleh
Afrika & Australia. Muncul perdebatan apakah “investasi kolonial” dapat
dianggap pendahulu penanaman modal asing, tetapi yang pasti produksi untuk
pasar lokal mulai dengan cara ini. Perkembangan teknik & organisasi setelah
tahun 1870-an memungkinkan berbagai jenis barang yang sama dapat dihasilkan di
dalam & di luar negeri oleh perusahaan yang sama, eksplorasi &
pengelolaan bahan tambang & bahan baku lainnya juga menarik penanaman modal
asing dalam jumlah besar (Dunning, 1993, Bab 5).
Namun, salah satu masalah
dengan klasifikasi yang berlaku surut seperti itu adalah konsep model
“penanaman modal asing” di satu pihak (ada pengendalian dari luar) dan
investasi “potofolio” di pihak lain (jual beli surat berharga yang diterbitkan
lembaga luar negeri untuk mendapat keuntungan tanpa ikut serta mengendalikan
atau mengelola) baru pada tahun 1960-an muncul, bersamaan dengan munculnya
istilah MNC (multinational corporation). Meski tidak ada klasifikasi
data yang konsisten, pada umumnya disepakati, MNC sudah ada dalam ekonomi dunia
setelah pertengahan abad ke-19 dan berdiri kokoh tidak lama sebelum Perang
Dunia I. kegiatan bisnis intenasional tumbuh pesat pada tahun 1920-an ketika
perusahaan multinasioanl yang benar-benar terdiversifikasi dan terintegrasi
kokoh, tetapi kemudian menurun selama masa depresi tahun 1930-an, hancur lebur
karena perang pada tahun 1940-an, dan bangkit kembali setelah tahun 1950.[18]
Sejarah bangsa-bangsa
adalah sejarah perang berbasis kepentingan ekonomi. Perang meliputi perang
senjata, perang ekonomi, dan perang budaya. Perang senjata adalah perangnya
antar Negara penjajah dalam memperebutkan daerah jajahan yang kaya sumberdaya
alam. Perang yang demikian adalah perwujudan dari kerakusan sistem
kapitalisme-kolonialisme dalam akumulasi modal melalui peperangan, akibatnya
adalah Negara-negara terjajah bangkit rasa nasionalismenya melawan penjajah dan
melahirkan Negara-negara merdeka, yang lazim disebut Negara Sedang Berkembang
(NSB).[19]
Kapitalisme sebagai suatu
sistem dunia bermula pada akhir abad 15 dan awal abad 16 ketika orang-orang
Eropa yang menguasai pengetahuan pelayaran jarak jauh, menghambur keluar dari
sudut kecil dunia mereka dan mengarungi tujuh lautan, untuk melanklukan,
merampas dan berniaga. Sejak itu kapitalisme terdiri dari dua bagian yang
berbeda tajam: di satu pihak ada sejumlah kecil Negara-negara dominan yang
memeras, dan di pihak lain, dengan jauh lebih besar Negara-negara yang dikuasai
dan diperas. Keduanya terjalin secara tak terpisahkan dan tidak ada kejadian
dalam kedua Negara itu yang dapat dimengerti jika dilihat terpisah dari sistem
itu yang menjadi sebuah keharusan. Penting untuk menekankan bahwa hal itu
benar, baik untuk “kapitalisme modern”, dalam arti sistem kapitalisme
masa kini, maupun ketika ia masih merupakan kapitalisme merkantilis dari masa
sebelum revolusi industri.[20]
Seperti sejarah yang
mengalir mengikuti perubahan zaman, pola eksploitasi kapitalisme internasional
pun mengalami perubahan wujud eksploitasinya. Pada awal abad ke-16 di Inggris
terjadi revolusi industri yang memacu laju perkembangan kapitalisme awal.
Proses ini didorong lagi oleh munculnya revolusi Prancis pada tahun 1789, yaitu
revolusi yang mengakhiri hegemoni kaum feodal di Eropa Barat dan mendorong
matangnya kekuasan kaum borjuis. Di tangan para borjuis Eropalah kapitalisme
mulai menanamkan kuku eksploitasinya sampai ujung dunia.[21]
Ketika di Eropa Barat
terjadi over-produksi akibat maraknya industrialisasi, maka yang kemudian harus
dilakukan oleh Negara-negara Eropa adalah ekspansi ke daerah-daerah terbelakang
seperti Asia, Afrika, Pasifik dan Amerika. Maka lahirlah pembagian kekuasaan
atas wilayah-wilayah tersebut untuk memasarkan hasil industri dari Eropa dan
juga untuk mengambil bahan-bahan mentah bagi kepentingan industrialisasi di
Eropa. Daerah-daerah ini adalah daerah-daerah yang ketika itu belum mengalami
proses perubahan sejarah masyarakat seperti Eropa Barat zaman itu. Karena
perubahan kepentingan pula, maka dua Perang Dunia dihasilkan oleh kepentingan
kapitalisme internasional, Perang Dunia Pertama pada tahun 1918-1939 dan
kemudian Perang Dunia Kedua pada tahun 1940-1945 adalah sejarah nyata di mana
kapitalisme Vs kapitalisme berperang untuk menanamkan pengaruhnya terhadap
wilayah-wilayah jajahannya. Jadi perang yang dilakukan antara Blok Sekutu dan
Blok Fasis adalah perang antara dua kapitalis yang ingin melebarkan sayap
eksploitasinya terhadap Negara-negara dunia ketiga.
James Petras mengatakan
bahwa globalisasi telah dimulai pada abad 15, yaitu sejak mulai berkembangnya
kapitalisme yang ditandai dengan ekspansi, penaklukan dan penghisapan
Negara-negara di Asia, Afrika, Amerika Latin dan bahkan Amerika Utara dan
Australia oleh kekaisaran global pada waktu itu, Spanyol dan Portugis. Karena
itulah globalisasi selalu diasosiasikan dengan imperialisme, yaitu hubungan
global yang didasarkan pada akumulasi untuk Eropa, penghisapan dunia ketiga
untuk akumulasi dunia pertama.[22] Menururt Pieterse, globalisasi dimulai sejak
1950-an. Menurut Marx dimulai 1500-an dengan tema kapitalisme modern. Wallerstein
mencatat mulai 1500-an dengan tema sistem dunia baru. Robertson menilai
globalisasi mulai 1870-1920-an dengan tema multidimensional, Giddens tahun
1800-an dengan tema modernitas, dan Tomilson tahun 1960-an dengan tema
planetarisasi budaya.[23]
Sementara Scholte,
menyatakan bahwa globalisasi berlangsung sejak tahun 1960-an, hal ini telah
membantu memperluas jangkauan dalam tiga komodifikasi dalam tiga wilayah. Pertama,
konsumerisme yang terhubungkan dengan produk-produk global yang diperluas oleh
kapitalisme industri. Kedua, pertumbuhan lembaga-lembaga yang beroperasi
dalam lingkup global (supra territorial) seperti global banking
dan global securities sehingga memperluas jangkauan modal uang. Ketiga,
globalisasi telah mendorong perluasan komodifikasi dalam wilayah baru yang
melibatkan informasi dan komunikasi sebagai akibatnya, item-item software
komputer dan telepon panggil telah menjadi objek akumulasi.[24]
Sebenarnya sejak Bank
Dunia dan Dana Moneter Internasional (IMF) berdiri pada tahun 1944 serta GATT
(sekarang WTO) pada tahun 1947, praktis dunia sudah memasuki globalisasi
ekonomi, karena masalah pembangunan menjadi tanggung jawab internasional. Bank
Dunia mengucurkan dana pinjaman berbunga rendah bagi proyek-proyek pembangunan
di berbagai Negara untuk memajukan ekonominya, sedangkan IMF memberikan
pinjaman bagi Negara-negara yang mengalami kesulitan dalam neraca pembayaran
luar negeri dan GATT berfungsi untuk mengatur perdagangan global.[25]
Pada fase pasca PD II,
strategi ekonomi politik yang dilancarkan oleh AS dan para sekutunya adalah
strategi Developmentalisme[26] (pembangunanisme), untuk mengamankan investasi
modalnya, kapitalisme internasional memberikan dukungan bagi orang-orang kuat
di sejumlah negara dunia ketiga yang berasal dari jajaran militernya. Di
Amerika Latin kita jumpai sejumlah regime yang dipimpin oleh militer
(otoriter), di Asia Tenggara dan Selatan juga dijumpai regime otoriter yang
kebanyakan dipimpin oleh militer. Militer pada zaman ini adalah anak emas yang
dibesarkan oleh kapitalisme dengan tujuan mengamankan investasi modal. Pada
fase ini (1960-1970-an)[27] dekolonisasi ditawarkan pada sejumlah
Negara-negara jajahan Eropa Barat dan Amerika Serikat di Asia, Afrika dan
Pasifik serta sebagian Negara-negara Amerika Latin.[28]
Setelah perang dingin
berakhir, komunis runtuh, Uni Sovyet pudar dan blok komunisme hancur, secara
riil AS menghadapi musuh barunya: Negara-negara Eropa. Kelompok politik dan
ekonomi ini telah menjadi musuh baru AS, sebab di satu sisi mereka memang
mempunyai kemampuan untuk menyaingi AS dalam perdagangan dunia. Di sisi lain,
Negara-negara Eropa itu telah mulai bergerak untuk menggabungkan Negara-negara
Eropa Timur ke dalam Uni Eropa setelah Negara-negara itu berpindah dari
sosialisme ke sistem kapitalisme.
Pergeseran dan perubahan
konstelasi politik internasional itu telah mendorong AS untuk mengumumkan
kelahiran Tata Dunia Baru. Prinsip utama Tata Dunia Baru di bidang ekonomi, tak
lain adalah perdagangan bebas dan pasar bebas. Prinsip ini dimaksudkan untuk
menjamin terbukanya pasar dunia bagi perdagangan dan pendapatan AS. Untuk
mewujudkan strategi ekonominya ini, AS berupaya memperlemah dan memperlambat
gerak pasar bersama Eropa dengan membentuk blok-blok perdagangan baru,
menghidupkan kesepakatan-kesepakatan lama dan mengaktifkan kembali, mendirikan
NAFTA yang beranggotakan Canada, AS, dan Mexiko dan juga, membentuk APEC.
Pada bulan November 1992,
atas undangan Presiden Clinton, telah diadakan pertemuan puncak untuk membentuk
organisasi kerjasama ekonomi bagi Negara-negara Asia Pasifik itu (APEC).
Pendirian organisasi ini bertujuan untuk mewujudkan kawasan perdagangan bebas,
membuka pasar-pasar, dan menekan bea masuk. Pendiriannya tidak dimaksudkan
untuk mewujudkan kesatuan ekonomi dan mata uang sebagaimana pasar bersama
Eropa. Pendirian APEC justru untuk tetap mengamankan pasar Asia Pasifik bagi AS
dari persaingannya dengan pasar bersama Eropa.[29]
AS melihat bahwa Uni Eropa
merupakan saingan kuat untuk menantang dan menyaingi AS di bidang ekonomi.
Alasan-alasan AS itu adalah: Pertama, kesatuan Eropa secara
politik dan ekonomi. Kedua, Eropa memiliki kemampuan bersaing di
bidang perdagangan, sebab Eropa mempunyai kemampuan tinggi dalam produksi
barang dan jasa. Ketiga, setelah berakhirnya perang dingin dan
hancurnya Uni Sovyet, lenyaplah momok komunisme yang sebelumnya digunakan AS
untuk mengancam Eropa. Eropa seluruhnya lalu berkonsentrasi dan bersiap-siap
dengan serius untuk terjun ke dalam kancah ekonomi internasional. Diantara
persiapan Eropa nampak dari fakta bahwa seluruh Eropa yang merupakan
Negara-negara industri yang produktif telah menghilangkan hambatan bea masuk di
antara mereka, membuka tapal batas Negara masing-masing untuk memudahkan
pemindahan tenaga kerja, dan berusaha mewujudkan kesatuan mata uang.[30] Hal ini kemudian mendorong Eropa untuk memasuki
pasar-pasar di Asia dan Afrika, di samping faktor utama bahwa Eropa memang
mempunyai kapabilitas untuk bersaing dalam pasar bebas. Di samping itu AS
terdorong pula untuk memperkokoh pasarnya di Asia dan Eropa dengan membentuk
kelompok-kelompok ekonomi seperti APEC. Dan AS pun dalam hal ini telah sukses
pula menunggangi WTO (World Trade Orgazation) untuk semakin melicinkan
jalannya menguasai ekonomi dunia.
APEC mulai muncul ke
permukaan sejak tahun 1989 atas prakarsa Australia. APEC menghimpun 17 negara
yang berasal dari tiga benua; AS, Canada, Mexiko, Australia, Selandia Baru,
RRC, Jepang, Hongkong, Papua Nugini, Taiwan, Brunei, Malaysia, Indonesia,
Singapura, Philipina, Korea Selatan, dan Thailand. Organisasi ekonomi
internasional ini menggabungkan keanggotaan dua kelompok ekonomi besar, yaitu
NAFTA yang beranggotakan Negara-negara Amerika Utara, dan ASEAN yang
beranggotakan Negara-negara Asia Tenggara.
Negara-negara anggota APEC
menguasai 40 % dari keseluruhan volume perdagangan dunia, sekaligus merupakan
pasar yang jumlah konsumennya mencapai lebih dari 1 milyar jiwa. Dari seluruh
penjelasan tersebut, nampak bahwa AS telah berhasil mencapai target-targetnya
untuk merealisasikan prinsip-prinsip yang menjadi landasan ekonominya. AS
nampak terus mengembangkan dan membangunnya hingga stabil dan mantap, bahkan
menjadikan prinsip-prinsipnya itu sebagai realitas global yang tidak bisa
dihindari lagi. Akan tetapi, terwujud dan terbukanya pasar bebas secara
internasional itu, niscaya akan menambah semangat untuk bersaing secara
internasional pula. Di samping itu, produksi melimpah dari banyak Negara dan
blok ekonomi akan terus melestarikan sikap saling bersaing, mendominasi, dan
menguasai, yang didukung oleh kekuatan militer dan perluasan pengaruh untuk
melindungi penimbunan-penimbunan produk yang melimpah.[31]
Dalam analisis Friedman,
dunia saat ini adalah dalam era globalisasi kedua, yang dimulai sejak tahun
1989 setelah AS, Inggris dkk, memenangkan perang dingin. Jadi setelah era
perang dingin itulah tonggak globalisasi dengan tahapan yang lebih massif.
Globalisasi kedua hakikatnya adalah suatu proses dunia menjadi satu atap di
bawah hegemoni dan dominasi pemenang perang dingin. Negara-negara dunia ketiga
atau Negara-negara sedang berkembang mau tidak mau harus menerima kenyataan
yang demikian, yaitu menjadi bawahan AS dkk. Thomas L Friedman menyatakan bahwa
globalisasi diberi makna modernitas (the lexus) di mana masyarakat harus
berpersepsi fungsional melalui solidaritas organik[32] yaitu menempatkan manusia (bangsa) sebagai fungsi
manusia lain (bangsa lain) untuk mencapai tujuannya. Lawan dari the lexus
(modernisasi) adalah the olive tree yaitu masyarakat yang berpersepsi
mistis, di mana mereka merasa menikmati hidup dalam kungkungan tradisi. The
lexus adalah symbol dari Negara-negara maju (Canada, AS, Jerman, Italia,
Perancis, dan Inggris) dan the olive tree adalah symbol dari
negara-negara sosialis dan Negara-negara sedang berkembang. The olive tree
harus menyesuaikan diri dengan the lexus, jika mereka ingin tetap eksis.[33]
Globalisasi kedua ini
ditandai oleh lahirnya revolusi tekhnologi, revolusi telekomunikasi, dan
revolusi informasi. Ketiga revolusi itu mengakibatkan biaya produksi kapitalis
rendah dan kapital bisa menjelajah dunia tanpa kendala sehingga kapital dan
komoditi Negara-negara maju (the lexus) dapat menguasai dunia. Bagi
dunia kedua (blok sosialis) dan dunia ketiga harus menerima kenyataan ini.
Anthony Giddens, bahkan mengatakan jika globalisasi yang ditopang oleh revolusi
tekhnologi komunikasi tersebut tidak hanya baru, melainkan revolusioner.[34]
Akhirnya, globalisasi
adalah bentuk baru hegemoni ekonomi, legitimasi baru terhadap pasar, kompetisi
dan profit. Setelah dekolonisasi dan runtuhnya blok sosialis, globalisasi
menjadi bentuk baru hegemoni atas nama pasar bebas, revolusi informasi, dunia
sebagai satu dunia dan lain sebagainya. Akhir sejarah juga merupakan legitimasi
baru kapitalisme setelah runtuhnya komunisme, seolah-olah sejarah berhenti dan
waktunya habis. Revolusi informasi merupakan dalih baru untuk menyatukan dunia
atas nama tekhnologi komunikasi baru, dunia sebagai satu desa dan hukum pasar.[35]
D.
Teori Sistem Dunia
Teori yang dikemukakan
oleh Immanuel Wallerstein, merupakan reaksi atas teori ketergantungan yang
dianggap tidak bisa menjelaskan gejala pembangunan di dunia ketiga. Dalam
perspektif sistem dunia, setiap Negara atau kawasan dilihat sebagai entitas
yang tak terpisahkan dari sistem dunia seperti sistem ekonomi global.
Berdasarkan pandangan ini, fenomena mobilitas antar Negara merupakan dampak
dari proses perkembangan ekonomi kapitalis di berbagai Negara. Semenjak
kapitalisme tumbuh dan berkembang ke luar dari Negara intinya di Eropa, Amerika
Utara, Oceania dan Jepang, belahan bumi ini seolah-olah terus membesar tanpa
batas yang jelas dan akhirnya melahirkan suatu masyarakat yang global.[36]
Immanuel Wallerstein mendefinisikan sistem
dunia sebagai “A Unit With A Single Division of Labour And Multiple Cultural
System”.[37]
Ini merupakan sistem yang
lahir dari proses transformasi struktural yang pernah ada dalam sejarah. Dalam
bahasa Wallerstein, sistem ini merupakan sistem yang menyejarah (Historical
System): suatu sistem yang dengan isinya lahir, berkembang dan mati serta
timbul kembali sebagai akibat adanya semacam proses pembagian kerja
terus-menerus dan lebih canggih. Dalam
perkembangan itulah Wallerstein menyebut adanya 3 sistem yang menyejarah:
Sistem Mini (The Mini System), Sistem Kekaisaran Dunia (The World
Empires) dan Sistem Ekonomi Dunia (The World Economic System).
Farchan Bulkin menyebutkan
empat hal mengapa pendekatan sistem dunia penting dalam memahami dunia ketiga. Pertama,
sebagai usaha untuk meletakkan perkembangan politik dan ekonomi dunia ketiga ke
dalam pergolakan ekonomi dan politik, serta dinamika dan potensi untuk
perubahan dan transformasinya. Hal ini menjadi penting mengingat hampir
sebagian besar Negara dunia ketiga telah terintegrasi ke dalam pergolakan dan ekonomi
dunia. Kedua, watak dan ciri-ciri yang ditunjukkan oleh Negara
dunia ketiga juga bisa diuraikan logikanya dan diurut pertumbuhannya dalam
kaitannya dengan interaksinya dengan perekonomian dunia. Ketiga, pendekatan
sistem dunia telah menawarkan suatu logika atas perbedaan-perbedaan substansial
antara kekuatan-kekuatan politik yang tumbuh di wilayah kapitalisme pusat dan
pinggiran (peripheri), sehingga hubungan-hubungan antara
kekuatan-kekuatan di kedua wilayah menjadi jelas, sekalipun tidak langsung dan
masing-masing memainkan perannya dalam jaringan sistem ekonomi dunia. Keempat,
dengan pendekatan ini kita dapat menempatkan kekuatan-kekuatan politik di
dunia ketiga dalam suatu dinamika perubahan yang menyeluruh dan global
sifatnya.[38]
Proyek perang Amerika atas
Irak memiliki kecenderungan imperialistik, perang ini sejak awal tidak
dilandasi oleh sebuah alasan masuk akal yang bisa digunakan untuk membenarkan
invasi bersenjata sebuah Negara terhadap Negara lain. Karena perang tersebut
dalam banyak Hal bersandar pada kepentingan Amerika untuk mempertahankan
dominasinya dalam dunia internasional. Kepentingan untuk memperoleh keuntungan,
terutama atas minyak, pembangunan ekonomi pasca perang, dan kontrol serta
penguasaan terhadap pemerintah Irak yang baru oleh pemerintah Bush atau Amerika
tanpa batas waktu. Dalam politik internasional, imperialisme sering
didefinisikan sebagai penguasaan satu Negara kuat atas suatu wilayah atau
Negara yang lebih lemah dengan maksud untuk mengambil dan menguasai
penduduknya. Dalam pandangan kaum sosialis, imperialisme tidak dapat dipisahkan
dari ideologi kapitalisme yang dianut oleh Amerika Serikat dan sekutunya,
orang-orang kapitalis harus menguasai dan mengeksploitasi wilayah atau Negara
lain agar modal atau kapital yang dimiliki tetap berjumlah banyak. Pandangan
ini pernah secara eksplisit dikatakan Vladimir Ilych Lenin, pencetus Revolusi
Bolshevik di tahun 1917 dan pendiri Republik Sosialis Uni Sovyet dalam bukunya Imperialism:
The Highest Stage of Capitalism yang terbit di tahun 1919. Dalam buku
tersebut dikatakan bahwa Negara-negara kapitalis harus menjadi imperialis untuk
mempertahankan pasar atas barang mereka dan akses atas sumberdaya alam. Bahwa
penguasaan Negara kuat atas Negara lemah akan menyebabkan perang. Perang juga
dapat ditimbulkan karena persaingan antar Negara kapitalis dalam memperebutkan
wilayah jajahan. Irak dipilih sebagai Negara tujuan untuk dikuasai mengingat
Negara ini mempunyai banyak kelebihan yang diperlukan untuk mempertahankan
kebesaran Amerika. Cara-cara Amerika untuk menguasai dunia termasuk Irak bukan
terjadi demikian saja, tetapi penuh dengan perencanaan dan strategi dalam kerangka
politik global.
E.
Faktor Pendorong Globalisasi
Globalisasi adalah suatu
proses yang menempatkan masyarakat dalam saling keterhubungan dalam bidang
ekonomi, sosial, politik, dan budaya. Paham yang demikian itu disebut
globalisasi atau neo-liberalisme. Beberapa faktor pendorong globalisasi yaitu:
Pertama, kekuatan kaum kapitalis internasional, yaitu Negara-negara
imperialis pusat, Negara menjadi motor penggerak globalisasi karena ia memiliki
kekuasaan dalam mengatur formulasi strategis globalisasi, alokasi sumber daya
ekonomi pada aktor-aktor global termasuk MNC. MNC yang mampu beroperasi hampir
di seluruh dunia, dan merupakan sumber kekuatan dari globalisasi itu sendiri
dikemudian hari yang pada akhirnya peran MNC dalam dinamika globalisasi ini
begitu kuatnya seolah-olah MNC telah menjadi parasit yang memakan induk
semangnya dan menjadi lebih kuat dan lebih besar. Kekuatannya ini didukung oleh
Bretton Woods Institution, yaitu: Bank Dunia (World Bank, Dana
Moneter Internasional (IMF) dan GATT/WTO kemudian diaplikasikan pada tiga
sistem yaitu liberalisasi perdagangan, keuangan, investasi. Kedua,
perkembangan ilmu pengetahuan dan tekhnologi, khususnya di bidang
telekomunikasi. Ketiga, dukungan pemerintah Negara-negara sedang
berkembang (NSB) terhadap ekspansi kaum kapitalis internasional di Negara
mereka.
1. Kekuatan Kaum Kapitalis Internasional
Sejak lima abad yang lalu
perusahaan-perusahaan di Negara-negara yang perekonomiannya telah maju, telah
meluaskan jangkauannya melalui aktivitas produksi dan perdagangan, yang semakin
intensif di masa penjajahan ke berbagai belahan dunia. Namun, sejak dua atau
tiga dekade yang lalu, globalisasi ekonomi telah semakin mempercepat perluasan
jangkauan tersebut sebagai akibat dari berbagai faktor, seperti perkembangan
tekhnologi dan terutama kebijakan-kebijakan liberalisasi yang telah menjalar ke
seluruh dunia.
Liberalisasi perdagangan
berarti menghilangkan segala peraturan yang bersifat melindungi industri dan
pasar domestik. Menurut logika neo-liberal, ekonomi Negara akan berkembang bila
ada kebebasan pasar. Liberalisasi ini juga berarti penghapusan beban-beban yang
harus ditanggung oleh swasta. Liberalisasi berarti kebebasan yang
seluas-luasnya bagi kapitalis untuk mengeruk keuntungan.[39] Aspek-aspek terpenting yang tercakup dalam proses
globalisasi ekonomi adalah runtuhnya hambatan-hambatan ekonomi nasional,
meluasnya aktivitas-aktivitas produksi, keuangan dan perdagangan secara
internasional serta semakin berkembangnya kekuasaan perusahaan-perusahaan
transnasional dan institusi-institusi Moneter Internasional. Walaupun
globalisasi ekonomi merupakan proses yang terjadinya tidak secara merata,
dengan peningkatan perdagangan dan investasi hanya terfokus di segelintir
Negara saja, namun hampir semua Negara di dunia sangat dipengaruhi oleh proses
tersebut. Sebagai contoh, sebuah Negara berpendapatan rendah yang pangsa
perdagangannya sangat kecil dalam perdagangan dunia, namun perubahan permintaan
atau harga komoditas-komoditas ekspornya atau kebijakan untuk secara cepat
menurunkan bea-bea impornya dapat secara sosial dan ekonomi berpengaruh besar
pada Negara tersebut. Negara tersebut mungkin hanya memiliki peran yang kecil
dalam perdagangan dunia, namun perdagangan dunia memiliki pengaruh yang sangat
besar atas Negara tersebut, yang mungkin saja pengaruhnya jauh lebih luas
dibandingkan dengan pengaruhnya atas perekonomian-perekonomian yang telah maju.[40]
Liberalisasi eksternal
dari perekonomian nasional mencakup penghapusan hambatan-hambatan nasional atas
aktivitas ekonomi, meningkatkan keterbuakaan dan integrasi dari Negara-negara
ke dalam pasar dunia. Di kebanyakan Negara, hambatan-hambatan nasional dalam
bidang moneter dan pasar uang, perdagangan dan investasi asing langsung secara
umumnya telah dihapus. Liberalisasi moneter adalah persoalan yang paling
mendapat perhatian. Selama ini telah terjadi liberalisasi yang ekstensif dan
progresif atas berbagai kontrol terhadap aliran dan pasar uang. Gugurnya sistem
Bretton Woods pada tahun 1972-1973, telah membuka peluang perdagangan valuta
asing, dan kegiatan tersebut telah berkembang secara spektakuler. Volume yang
diperdagangkan di pasar valuta asing dunia meningkat dari $ 5 milyar per hari di
tahun 1973 menjadi melebihi $ 900 milyar di tahun 1992, dan saat ini bahkan
telah melampaui $ 1000 milyar. Banyak dari transaksi tersebut merupakan
transaksi spekulatif, dan diperkirakan hanya sebagian kecil (kurang dari 2 %)
dari total valuta asing yang diperdagangkan digunakan sebagai pembayaran
perdagangan. Sehubungan dengan saling terkaitnya antara pasar uang, sistem
moneter dan aliran uang yang sangat besar, secara umum terdapat keprihatinan
yang semakin meningkat mengenai kerentanan dan ketidakstabilan maupun resiko
dari melemahnya bagian-bagian atau keseluruhan sistem yang ada, pada suatu saat
kesalahan terjadi dan berkembang di satu bagian dunia atau suatu bagian sistem,
dan dampaknya dapat tersebar luas.
Nilai tukar mata uang
telah menciptakan ketidakstabilan nilai tukar yang sangat tajam yang berbalik
mendorong terciptanya sebuah masa yang sangat besar pada dunia uang. Uang
tesebut tidak memiliki eksistensi di luar ekonomi global dan itu adalah
pasar-pasar uang utama. Hal itu belum pernah ada sebelumnya dalam praktek
ekonomi tradisional mengenai definisi uang, apakah itu standar ukurannya,
muatan nilainya, atau media pertukarannya. Benar-benar baru, tidak dikenal. Hal
tersebut tampak maya (virtual) dibanding dengan hal yang nyata (real).
Tetapi kekuatannya begitu nyata. Volume peredaran uang dunia begitu besar
pergerakannya yang masuk maupun yang keluar, mata uang memiliki dampak yang
besar dan jauh dibandingkan arus keuangan di sektor perdagangan, atau
investasi. Dalam satu hari uang maya (virtual money) yang diperdagangkan
senilai dengan seluruh uang yang dibutuhkan dalam transaksi keuangan sektor
perdagangan dan investasi selama satu tahun penuh. Virtual money
ini memiliki daya gerak yang sangat tinggi karena tidak terkait dengan
fungsi-fungsi ekonomi yang sudah ada. Masalah tersebut dimungkinkan karena hal
tersebut tidak memiliki kaitannya dengan fungsi ekonomi maupun fungsi keuangan
sama sekali, uang ini bahkan tidak mengikuti logika ekonomi maupun hal-hal yang
rasional. Hal itu begitu rentan dan mudah panik oleh isu-isu dan rumor atau
sesuatu peristiwa yang tidak diperkiraan. Satu contoh adalah ketika dollar
Amerika diburu pada musim gugur 1995 yang membuat tekanan terhadap Presiden
Clinton mengabaikan rencana dia tentang rencana pengeluaran dan neraca belanja
seimbang. Kekacauan dimulai oleh kegagalan para politikus Partai Republik di
senat untuk meloloskan amandemen konstitusi mengenai neraca belanja. Meskipun
amandemen tersebut lolos hal itu tidak akan berarti apa-apa. Hal tersebut akan
sulit karena harus melalui upaya ratifikasi di 38 negara bagian untuk dibuat
menjadi peraturan yang biasanya akan memakan waktu selama satu tahun. Tentu
saja hal itu membuat para pedagang mata uang menjadi panik dan mulailah
kekacauan dollar Amerika. Virtual money selalu muncul sebagai
pemenangnya, ini membuktikan bahwa ekonomi global telah menunjukkan
kemampuannya menjadi penengah yang baik disektor keuangan dan kebijakan dalam
sektor fiskal. Kekacauan mata uang, bagaimanapun juga bukan hal yang baik bagi
ketidakstabilan fiskal suatu Negara. Kasus di Mexico sesuatu yang mengerikan
telah terjadi yang konon lebih parah dari epidemik penyakit. Pada tahun 1995
kekacauan yang menimpa Peso menghempaskan perjuangan ekonomi selama enam tahun
yang berhasil mengangkat Mexico dari Negara miskin menjadi Negara yang makmur.
Sejauh ini belum ada yang dapat mengontrol ketidakstabilan fiskal.[41]
Satu-satunya sistem yang
dapat bekerja ialah kebijakan fiskal dan keuangan satu Negara yang terbebas
dari hutang jengka pendek. Mudah berubahnya uang yang mampu menutupi defisit.
Jelas ini sepertinya membutuhkan suatu neraca seimbang atau sesuatu yang lebih
cenderung ke bentuk keseimbangan, selama tiga atau lima tahun periode berjalan.
Dan hal ini lalu menempatkan keterbatasan kepada otonomi kebijakan keuangan dan
fiskal nation-state yang pada tahun 1973 nilai tukar mengambang telah
terlepas sepanjang masa. Proses perbaikan di tingkat non nasional dan
supranasional sedang berjalan. Bahwa keputusan ekonomi yang mendasar diputuskan
oleh pengaruh ekonomi global daripada pengaruh yang terjadi di dalam negeri nation-state.
Bentuk tidak mengekangnya keuangan dan kedaulatan kebijakan keuangan yang
diberikan nation-state dalam nilai tukar mengambang 25 tahun yang lalu
sama sekali tidak baik lagi bagi pemerintah. Terjadi pemindahan pengaruh,
pengambil keputusan bukan lagi pemerintah tetapi malah para kelompok yang lebih
khusus. Sehingga pemerintah kehilangan kewibawaannya dan hal itu tentu saja
mengganggu jalannya kebijakan-kebijakan yang lain. Dan itu hampir terjadi di
setiap Negara di dunia. Ada fenomena menarik, yaitu ketika nation-state
kehilangan kedaulatan atas sistem keuangan dan fiskal malah terjadi penguatan.[42]
Keprihatinan-keprihatinan
terhadap kemungkinan krisis moneter global diperkuat oleh krisis keuangan di
Asia Timur, yang dimulai pada paruh kedua tahun 1997 dan menjalar hingga Rusia,
Brasil dan Negara-negara lain, menyebabkan kekacauan moneter dan resesi ekonomi
terburuk dalam periode pasca Perang Dunia II.
Liberalisasi perdagangan
juga meningkat secara gradual, namun tidak seperti yang terjadi pada
liberalisasi moneter. Peran perdagangan yang meningkat dibarengi dengan
pengurangan tarif secara umum, baik di Negara-negara maju maupun di NSB (Negara
sedang berkembang), sebagian sebagai akibat dari kebijakan-kebijakan otonom dan
sebagian lagi sebagai akibat dari babak-babak putaran perdagangan multilateral
di bawah GTT (General Agreement on Tariff and Trade). Namun demikian,
tarif-tarif yang tinggi tetap masih muncul di Negara-negara maju, dalam
sektor-sektor seperti pertanian, tekstil dan produk-produk manufaktur tertentu,
yang merupakan sektor dimana (NSB) memiliki keunggulan komparatif. Lebih jauh
lagi, terdapat peningkatan penggunaan hambatan non tarif yang mempengaruhi akses
dari NSB ke pasar Negara-negara maju.[43]
Juga telah terjadi
pertumbuhan yang mantap dalam liberalisasi investasi asing langsung (FDI),
meski pada skala yang lebih kecil dari aliran moneter internasional. Kebanyakan
FDI dan peningkatannya merupakan akibat dari aliran-aliran dana invstasi
langsung di antara Negara-negara maju. Akan tetapi, sejak awal tahun 1990-an,
aliran FDI ke NSB telah meningkat secara relatif, dari rata-rata 17 % pada
tahun 1981-1990 menjadi 32 % pada tahun 1991-1995. Hat tersebut sejalan dengan
liberalisasi kebijakan-kebijakan investasi asing di kebanyakan NSB dalam waktu
belakangan ini. Namun, banyak dari FDI tersebut memusat hanya di beberapa NSB.
Secara khusus, Negara-negara terbelakang (Least Developed Countries)
menerima bagian yang sangat kecil dari aliran-aliran FDI tersebut, meskipun
mereka telah meliberalisasi kebijakan-kebijakannya. Dengan demikian, FDI bukan
merupakan suatu sumber keuangan eksternal yang signifikan kebanyakan NSB, yang
benar, kemungkinan masih tetap berlangsung dalam beberapa tahun mendatang.
Ciri utama dari
globalisasi adalah peningkatan konsentrasi dan monopoli berbagai sumberdaya dan
kekuatan ekonomi oleh perusahaan-perusahaan transnasional, maupun oleh
perusahaan-perusahaan keuangan dan dana global. Proses ini sering diistilahkan
sebagai transnasionalisasi, di mana semakin sedikit perusahaan transnasional
yang mampu meraih pangsa besar atau peningkatan proporsi secara cepat dari
pembagian sumberdaya ekonomi, produksi dan pangsa pasar. Jika dulu perusahaan
multinasional mendominasi pasar dari sebuah produk tunggal, saat ini perusahaan
transnasional yang besar secara khusus memproduksi dan menjual berbagai produk,
pelayanan di bidang-bidang yang kian beragam. Melalui marger dan akuisisi,
makin sedikit perusahaan transnasional yang saat ini mampu menguasai pangsa
pasar global yang lebih besar, baik dalam komoditas, barang-barang manufaktur
ataupun jasa.
2. Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi
Pada permulaan abad 21
ini, trend global semakin variatif. Barang, uang, manusia, tekhnologi, dan
informasi dalam era globalisasi telah menyebar secara luas melewati batas
Negara (nation state cross border), yang berimplikasi terhadap semakin
saling terhubungnya setiap dinamika perubahan global saat ini, dan mengikat
semakin kuat membentuk suatu komunitas tunggal yang terintegrasi dan dalam hal
ekonomi telah menjadi semacam pasar tunggal. Hal ini telah menjadikan dunia
sebuah global village. Kehadiran tekhnologi komputer yang merupakan terobosan
baru sebagai infrastruktur global, bahkan sampai saat ini komputer telah
menyandang sebagai simbol kedua dari globalisasi. Tidak ada satu arenapun
(ekonomi, politik, sosial dan budaya) di dunia ini yang kebal dari tekhnologi
komputer.[44] Pada saat ini lebih dari 400 juta komputer
digunakan di dunia,[45] dan pertumbuhan penggunaan komputer saat ini
menembus angka 18 sampai 20 juta pertahun. Salah satu penyebab utama dari
pertumbuhan itu adalah tekhnologi mikroarsitektur yang memungkinkan komputer
dapat dibuat dengan ukuran mini yang praktis.
Perusahaan multinasional
(MNC) merupakan salah satu topik yang menarik dalam wacana kompetisi global.
Karakteristik utama dari sebuah MNC adalah pengelolaan jaringan bisnis yang
rumit dan mempunyai skala global oleh perusahaan induk, agar perusahaan cabang
dapat melakukan proses-proses produksi dan juga pemasaran sehingga tercapai
suatu bisnis secara global.[46] MNC sebagai salah satu pemain terbesar dalam
kompetisi global tumbuh dengan cepat setelah era Perang Dunia II, kunci
keberhasilan itu adalah temuan berbagai inovasi tekhnologi yang selalu direspon
dengan positif oleh mereka.[47] Tekhnologi informasi sebagai perkembangan terbaru
dalam dunia tekhnologi juga mendapatkan tempat yang strategis dalam dunia
bisnis berskala global, seperti yang dilakukan oleh Microsoft Corporation.
Dengan adanya tekhnologi komunikasi yang memungkinkan terjadinya globalisasi
komunikasi, telah menyebabkan berakhirnya dominasi Negara-negara dalam
melakukan monopoli dalam dunia telekomunikasi,[48] dengan adanya internet perusahaan dapat menyelenggarakan
sistem informasi mereka sendiri secara lebih efisien tanpa campur tangan yang
berarti dari Negara. Pemotongan birokrasi dalam proses-proses perdagangan antar
Negara yang dapat dilakukan oleh tekhnologi ini akan berimplikasi terhadap
efisiensi yang cukup tinggi.
Sistem syaraf digital yang
merupakan suatu upaya eksplorasi tekhnologi informasi yang dibangun Microsoft
layak disebut sebagai salah satu infrastruktur terjadinya globalisasi, karena
sistem tersebut dapat digunakan sebagai media untuk meningkatkan hubungan
komunikasi secara global dengan sistem yang tunggal yang melewati batas-batas
Negara tanpa campur tangan yang berarti dari Negara yang bersangkutan. Di masa
datang jika sistem syaraf digital dapat di bangun dengan sempurna, maka akan terciptalah
pola hubungan yang sangat komplek antar manusia di bumi di mana kegiatan
sekelompok orang, individu maupun sebuah institusi di tempat lain dapat
dipantau dengan kecepatan tekhnologi informasi tersebut. Di sinilah kemudian
akan terjadi apa yang disebut complex interdependence, di mana jika
sudah mencapai tahap interlocking, kehidupan manusia di bumi harus
senantiasa selaras dengan meminimalisasi konflik, sebab jika pada tahap ini
terjadi sebuah konflik yang besar akan memicu sebuah efek yang destruktif.
Era digital atau sering
disebut dengan abad informasi yang ditandai dengan kehadiran tekhnologi
internet, telah merubah segalanya, dan salah satu perubahan itu terjadi pada
dunia bisnis. Terobosan-terobosan yang dapat dilakukan oleh tekhnologi informasi
telah terbukti mampu meningkatkan kinerja sebuah perusahaan. Tekhnologi ini
kemudian dijadikan sebagai salah satu infrastruktur utama di sebuah perusahaan
ataupun pemerintahan suatu Negara dalam rangka menyusun strategi kompetisi
global. Tekhnologi Informasi (TI) yang kini berkembang amat pesat, tak bisa
dipungkiri memberikan kontribusi yang signifikan terhadap seluruh proses
globalisasi ini.
Mulai dari wahana TI yang
paling sederhana berupa perangkat radio dan televisi, hingga internet dan
telepon genggam dengan protocol aplikasi tanpa kabel (WAP), informasi mengalir
dengan sangat cepat dan menyeruak ruang kesadaran banyak orang. Perubahan informasi
kini tidak lagi ada dalam skala minggu atau hari atau bahkan jam, melainkan
sudah berada dalam skala menit dan detik. Perubahan harga saham sebuah
perusahaan farmasi di Bursa Efek Jakarta hanya membutuhkan waktu kurang dari
sepersepuluh detik untuk diketahui di Surabaya. Indeks nilai tukar dollar yang
ditentukan di Wall Street, AS, dalam waktu kurang dari satu menit sudah
dikonfirmasi oleh Bank Indonesia di Medan Merdeka.
Hal ini akhirnya menuju
pada sebuah Global Brain yang memungkinkan akselerasi perkembangan ilmu
pengetahuan dan tekhnologi di dunia. Dunia penelitian, bisnis, industri
dimungkinkan untuk menggunakan suberdaya manusia maupun fasilitas lainnya tanpa
terikat pada dimensi-dimensi ruang dan batas-batas Negara.[49]
Sebuah Negara, perusahaan,
ataupun organisasi untuk memikirkan sebuah alternatif dalam tingkat persaingan
yang tinggi yaitu mengembangkan sistem informasi dan menggunakan tekhnologi
informasi semaksimal mungkin sebagai alat untuk melakukan persaingan dengan
yang lainnya. Karena di era global ini setiap informasi yang didapat tidaklah
dapat dilepaskan dari rantai tekhnologi, informasi adalah hasil pengolahan data
mentah, sedangkan tekhnologi informasi merupakan tulang punggung pengolahan dan
penyimpanan informasi tanpa mengenal batas ruang dan waktu.
Hanya pihak yang menguasai
tekhnologi informasilah yang dapat eksis dalam era revolusi global saat ini.
Joseph S. Nye menjelaskan bahwa globalisasi bukan menyengsarakan masyarakat
miskin, tetapi justru menguntungkan. Dengan adanya perkembangan tekhnologi
informasi dan modal internasional, manusia bisa mendapatkan keuntungan besar.
Argumen ini dikuatkan oleh beberapa hasil penelitian di beberapa Negara
berkembang, misalnya perbandingan antara Korea Selatan dan Ghana, pada tahun
1960-an kedua Negara tersebut mempunyai pendapatan perkapita yang sama, tetapi
sekarang Korea Selatan lebih mampu memanfaatkan globalisasi, sehingga lebih
kaya 30 kali lipat disbanding Ghana, dan dapat menghilangkan ketimpangan
tingkat kesejahteraannya, dapat mengirit ongkos dan mempermudah informasi
dengan Negara-negara industri yang telah lama maju.[50] Meskipun globalisasi berhasil mengembangkan
berbagai tekhnologi dan komunikasi yang memudahkan atau dapat memecahkan
persoalan-persoalan, tak urung pula secara faktual keberhasilan tersebut makin
mempertajam kemiskinan, baik ditingkat nasional maupun hubungan antar Negara.
3. Dukungan Pemerintah Negara-negara Sedang
Berkembang
Pelaku utama dari
globalisasi adalah Negara imperialis yang berkuasa[51] artinya Negara yang mempunyai prinsip ekonomi world
competitive dan mereka tidak mempunyai kerugian apa-apa karena semua biaya
yang dikeluarkan berasal dari pembukaan pasar (open market). Kelompok
ini hendak memperjuangkan globalisasi yang bebas (unrestricted
globalization), mereka cenderung untuk membuka perekonomian mereka dan sebagai
gantinya mereka juga menuntut Negara lain agar membuka perekonomiannya.
Kelompok kedua yang pro globalisasi adalah Negara-negara pelayan (clients)
dari kelompok pertama. Kelompok kedua (NSB) ini mengkhususkan dirinya pada
ekspor barang-barang agromineral, kelautan, dan kehutanan yang semua itu
mendukung produk dan memberi keuntungan bagi kelompok pertama.[52]
Negara imperialis juga
memainkan peran penting dalam membuka pintu perekonomian dunia dengan
menciptakan lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia, IMF dan
GATT/WTO. Lembaga-lembaga ini dikontrol oleh orang-orang yang ditunjuk oleh
Negara imperialis di bawah pimpinan Amerika Serikat dan Negara-negara Eropa.
Fungsi mereka adalah menggantikan peran pasar domestik dan produsen lokal serta
menghancurkan lembaga sosial setempat dengan tujuan memfasilitasi masuknya MNC
dan terjaminnya ekspor barang-barang kebutuhan Negara dunia pertama. Negara
imperialis memainkan peran penting dalam pembangunan kembali ekonomi
perusahaan-perusahaan raksasa, mereka memberikan bantuan militer dan
perlindungan politik bagi perluasan MNC, sementara MNC tersebut membiayai
lembaga keuangan internasional yang bertugas untuk membuka pasar baru dan
tempat investasi yang baru. Di bawah bayang-bayang modal multinasional korporasi,
Negara imperialis juga ikut mensubsidi dan membiayai ekspansi modal, sementara
di sisi lain penghisapan terhadap pasar domestik terus dilakukan untuk
membiayai ekspansi tersebut.[53]
Kebijakan domestik maupun
internasional pemerintah Negara-negara berkembang itu ditransformasikan melalui
introduksi dan adopsi semacam reformasi liberalisasi ekonomi yang diniatkan
untuk menata kembali peran dan keterlibatan Negara dalam ekonomi.[54] Reformasi ini didukung dengan berbagai derajat
antusiasme yang berlainan di berbagai Negara berkembang, tapi jelas efeknya
mengarah pada sebuah reduksi internasional terhadap intervensi pemerintah dalam
perekonomian, mengarah pada meningkatnya kepercayaan atas mekanisme pasar dan
kebebasan yang lebih besar bagi sektor swasta, yaitu makin banyak dianutnya
marketisasi dan privatisasi. Bahkan di Negara seperti India, Brasil, dan
Nigeria di mana nasionalisme ekonomi mengakar secara historis, investor asing
tidak hanya disambut dengan penghapusan pembatasan penanaman modal asing,
melainkan juga dengan tawaran insentif bagi investasi baru.[55]
Sementara itu di Dunia
Ketiga, peran Negara tidak bisa dihilangkan. Ada relasi yang dialektis antara
peran Negara di pasar domestik dan proses globalisasi. Dengan kebijakan upah
rendah, pengurangan subsidi, dan pemupukan modal swasta, Negara Dunia Ketiga
mengonsentrasikan pendapatannya untuk ekspansi ke luar (globalisasi ataupun capital
relocation). Proses ini sudah terlihat jelas dalam program yang dikenal
dengan istilah Struktural Adjustment Programs (SAPs) atau program
pengetatan ekonomi. Program ini dirancang oleh Bank Dunia dan IMF yang bekerja
sama dengan elite Negara Dunia Ketiga, tujuannya adalah meningkatkan arus
keluar modal dan kesediaan pasar nasional untuk melakukan swastanisasi bagi
kepentingan MNC.[56] Berikut adalah contoh beberapa persyaratan SAP:[57]
1. Penghapusan tarif-tarif
yang membantu industri-industri kecil lokal agar tetap mampu bertahan hidup
berhadapan dengan perusahaan-perusahaan besar global. Padahal, tarif-tarif tersebut sesungguhnya memberi
ruang bernafas bagi Negara-negara miskin untuk berkembang secara internal dalam
menghadapi pesaing-pesaing yang lebih besar dan lebih kaya.
2. Penghapusan berbagai
peraturan dalam negeri yang mungkin dapat menghambat atau terlalu banyak
mengatur masuknya investasi luar negeri. Dengan demikian ini memungkinkan para pemodal
dan korporasi global untuk secara bebas masuk dan dengan mudah menguasai
bisnis-bisnis di tingkat lokal, bahkan tak jarang di seluruh lini perekonomian.
3. Penghapusan kontrol harga
(bahkan berkenaan dengan kebutuhan pokok seperti pengadaan air sekalipun) dan
secara tidak adil mewajibkan pemberlakuan terhadap kontrol atas upah. Alhasil, sudah dapat dipastikan para pekerja
yang upahnya sudah teramat kecil, menjadi semakin kecil kemampuannya untuk
bertahan hidup.
4. Pengurangan secara drastis
berbagai pelayanan sosial dan badan-badan yang menjalankannya, seperti pelayanan kesehatan, perawatan medis,
pendidikan, bantuan pangan, bantuan usaha kecil, angkutan, sanitasi, air dll.
Kerap kali berbagai pelayanan tersebut diprivatisasi sehingga bantuan yang
sebelumnya diterima Cuma-Cuma oleh rakyat, kini memerlukan biaya yang
ujung-ujungnya harus dibayarkan kepada korporasi global. Akibatnya, begitu
banyak orang tidak mampu membayarnya, sehingga secara otomatis mereka tersingkir
keluar dari sistem.
5. Penghancuran secara
agresif atas program-program rakyat, yang menjadi sarana bagi bangsa-bangsa untuk bisa
mencapai kemandirian dalam hal kebutuhan pokok. Tentu saja, korporasi-korporasi
global tidak bisa mendapatkan keuntungan jika bangsa-bangsa mampu memecahkan
persoalan dalam negeri mereka sendiri, keuntungan korporasi global itu sendiri
berasal dari pengembangan proses-proses penciptaan nilai tambah, khususnya
melalui perdagangan global.
6. Perubahan yang
dilaksanakan secara cepat atas perekonomian dalam negeri untuk menekankan
produksi ekspor, yang
biasanya dikelola tanpa ketatalaksanaan langsung dari investor asing dan
korporasi global. Produksi yang terdiversifikasi secara lokal dan berskala
kecil, seperti dalam bidang industri atau pertanian, akan digantikan dengan
produksi berorientasi ekspor uang terspesialisasi dalam skala besar. Dalam hal
ini, teori yang berlaku adalah ketika Negara-negara memusatkan produksi mereka
pada sejumlah kecil produk ekspor, maka mereka akan mendapatkan cadangan devisa
(foreign exchange) dalam jumlah yang jauh lebih besar. Dengan demikian
mereka akan mampu membeli barang-barang kebutuhan mereka di pasar-pasar asing.
F.
Globalisasi dan Krisis Masyarakat Kapitalisme
Dampak perkembangan
konstelasi politik-ekonomi internasional adalah efek globalisasi yang telah
masuk ke segala sendi kehidupan manusia di dunia internasional. Dampak dari
perkembangan ilmu pengetahuan telah timbul berbagai masalah. Ternyata
perkembangan ilmu pengetahuan tidak mampu mengatasi, jurang yang besar antara
Negara kaya dan miskin, masyarakat marginal, kelaparan, kemiskinan
internasional, dan masalah perkembangan indigeneous technology di dunia
ketiga.[58] Jelaslah bahwa perkembangan ilmu pengetahuan,
dinamik yang menguasai jurusan-jurusan pertumbuhannya serta pilihan-pilihan
masalahnya seperti juga tekhnologi, tidak berdiri sendiri, merupakan bagian
dari sistem sosial, lengkap dengan tujuan-tujuan, kepentingan, prioritas, serta
sistem nilainya.[59] Oleh karena itu pilihan tekhnologi tidak boleh
diambil hanya berdasarkan pertimbangan-pertimbangan mengenai implikasi
sosialnya.[60]
Dalam hal ini ilmu
pengetahuan dalam bidang tekhnologi informasi memberikan pengaruh yang sangat
besar dalam perkembangan globalisasi dan pada akhirnya menimbulkan krisis di
masyarakat kapitalisme. Untuk memberikan gambaran lebih jelas tentang
masyarakat kapitalisme, penulis paparkan lebih mendetail perihal relasi Negara,
globalisasi dan logika neo-liberalisme. Karena paham tersebut merupakan sebuah
ideologi sebagai dampak dari krisis kapitalisme. Dan tentunya seluruh sistem
sosial.
Globalisasi yang
diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisasi yakni perusahaan-perusahaan
transnasional (TNC, Trans-National Corporations) dan Bank Dunia/IMF melalui
kesepakatan yang dibuat di World Trade Organization (WTO, Organisasi
Perdagangan Dunia) sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal
dengan sebutan “neo-liberlisme”. Neo-liberalisme pada dasarnya tidak ada bedanya
dengan liberalisme. Para penganut neo-liberlisme percaya bahwa pertumbuhan
ekonomi adalah hasil normal “kompetisi bebas”. Mereka percaya bahwa ‘pasar
bebas” itu efisien, dan cara yang tepat untuk mengalokasikan sumberdaya alam
yang langka untuk memenuhi kebutuhan manusia. Harga barang dan jasa menjadi
indikator apakah sumberdaya telah habis atau masih banyak. Kalau harga murah,
berarti persediaan memadai. Harga mahal artinya produksinya mulai langka. Harga
tinggi maka orang akan menanam modal ke sana. Oleh sebab itu, harga menjadi
tanda apa yang harus diproduksi. Itulah alasan mengapa neo-liberalisme tidak
ingin pemerintah ikut campur tangan dalam ekonomi. “Serahkan saja pada
mekanisme dan hukum pasar”, demikian keyakinan mereka. Keputusan individual atas
interes pribadi diharapkan mendapat bimbingan dari invisible hand
(tangan yang tidak tampak), sehingga masyarakat akan mendapat berkah dari
ribuan keputusan individual tersebut. Kekayaan yang dikuasai oleh segelintir
orang tersebut pada akhirnya akan trickle down (menetes ke bawah) kepada
anggota masyarakat yang lain. Oleh karena itu sedikit orang tersebut perlu
difasilitasi dan dilindungi. Kalau perlu jangan dipajaki.
Krisis berkepanjangan yang
menimpa kapitalisme awal abad 19, yang berdampak depresi ekonomi 1930-an
berakibat tenggelamnya paham liberalisme. Pendulum beralih memperbesar
pemerintah sejak Roosevelt dengan “New Deal” tahun 1935. Tetapi dalam
perjalanan kapitalisme, di akhir abad 20 pertumbuhan dan akumulasi kapital
menjadi lambat. Kapitalisme memerlukan strategi baru untuk mempercepat
pertumbuhan dan akumulasi kapital. Strategi yang ditempuh adalah menyingkirkan
segenap rintangan investasi dan pasar bebas, dengan memberlakukan perlindungan
hak milik intelektual, good governance (pemerintahan yang baik),
penghapusan subsidi dan program proteksi rakyat, deregulasi, penguatan civil
society, program anti-korupsi, dan lain sebagainya. Untuk itu diperlukan
suatu tatanan perdagangan global, dan sejak itulah gagasan globalisasi
dimunculkan. Dengan demikian globalisasi pada dasarnya berpijak pada
kebangkitan kembali paham liberalisme, suatu paham yang dikenal sebagai
neo-liberalisme. Neo-liberalisme sesungguhnya ditandai dengan kebijakan pasar
bebas, yang mendorong perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas
tanggungjawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan
birokrat dan “parasit” pemerintah, yang tidak akan pernah mampu meskipun
dikembangkan. Aturan dasar kaum neo-liberal adalah “Liberalisasikan perdagangan
dan keuangan”, “Biarkan pasar menentukan harga”, “Akhiri inflasi, Stabilisasi
ekonomi-makro, dan privatisasi”, “Pemerintah harus menyingkir dari menghalangi
jalan”. Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “consensus”
yang dipaksakan yang dikenal dengan “Globalisasi”, sehingga terciptalah suatu
tata dunia. Arsitek tata dunia ini ditetapkan dalam apa yang dikenal “The
Neo-Liberal Washington Consensus”, yang terdiri dari para pembela ekonomi
swasta terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang mengontrol dan
menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk mendominasi
informasi kebijakan dalam membentuk opini publik.
Pokok-pokok pendirian
neo-liberal meliputi, pertama, bebaskan perusahaan swasta dari campur
tangan pemerintah, misalnya jauhkan pemerintah dari campur tangan di bidang
perburuhan, investasi, harga serta biarkan perusahaan itu mangatur diri sendiri
untuk tumbuh dengan menyediakan kawasan pertumbuhan. Kedua, hentikan
subsidi Negara kepada rakyat karena bertentangan dengan prinsip pasar dan
persaingan bebas. Negara harus melakukan swastanisasi semua perusahaan Negara,
karena perusahaan Negara dibuat untuk melaksanakan subsidi Negara pada rakyat.
Ini juga menghambat persaingan bebas. Ketiga, hapuskan ideologi
“kesejahteraan bersama” dan pemilikan komunal seperti yang masih banyak dianut
oleh masyarakat “tradisional” karena menghalangi pertumbuhan. Serahkan
manajemen sumberdaya alam kepada ahlinya, bukan kepada masyarakat “tradisional”
(sebutan bagi masyarakat adaptif) yang tidak mampu mengelola sumberdaya alam
secara efisien dan efektif.
[1] Premis ini di kemukakan Adam Smith dalam The Wealth of Nations
pendahuluan dan catatan pinggir oleh Edwin Cannan, New York: The Modern
Library, 1973, hlm. 14, 423.
[2] L. J. Zimmerman, Sejarah Pendapat-pendapat
tentang Ekonomi, Bandung: N.V. Penerbitan W. Van Hoeve, ‘S-Gravenhage,
1995, hlm. 42-43. Edisi Indonesia dikerjakan oleh K. Siagian. Periksa buku
aslinya yang berjudul Geschiedenis Van Het Economisch Denken.
[3] Sjahrir, Formasi Mikro-Makro ekonomi Indonesia,
Jakarta, UI Press, 1995, hlm. 113-114.
[4] Max Weber, The Protestant ethic of Spirit Capitalism, New York,
Scribner, 1958, Edisi Inggrisnya dikerjakan oleh Talcot Parson dengan Pengantar
RH Tawney.
[5] Pada tahun 1887, muncullah Das Capital-nya
Marx yang amat termashur itu. Marx mengatakan bahwa kapitalisme itu mempunyai
ciri mutlak, yakni borjuis dan eksploitasi. Oleh karenanya, begitu Marx, dengan
revolusi kekerasanlah pemerintah sosialis harus didirikan. Demi terjaminnya
stabilitas sistem ini, maka ia harus dijaga oleh sistem kepemimpinan yang
diktator proletariat.
[6] Lihat Jorge Larrain, The Concept of Ideology, Forteword by Tom
Bottomore, First Published, Australia: Hotchinson Publishing Group, 1979, versi
Indonesia oleh Ngatawi al Zastrouw (editor) dan Ryadi Gunawan (penerjemah),
Yogyakarta: LKPSM, 1997, hlm. 55.
[7] Lorens Bagus, Kamus Filsafat, Jakarta,
Gramedia, 1996, hlm.391.
[8] Sudono Sukirno, Ekonomi Pembangunan, Proses,
Makalah dan Dasar Kebijaksanaan, Jakarta: Lembaga Penerbit FE UI, 1985,
hlm. 10.
[9] Penjelasan ini sekaligus mengawali kajian tentang
Kapitalisme fase lanjut atau kapitalisme mutakhir seperti yang diratapi oleh
Daniel Bell. Beberapa kajian dalam poin ini sepenuhnya
mengacu ke sana. Untuk memperjelas keterangan ini periksa karya Bell seperti
(1) The End of Ideology, New York: Free Press, 1960; (2) The Coming
of Post Industrial Society, New York: Penguin Books Edition, 1973; (3) The
Cultural Contradictions of Capitalism, New York: Basic Books, 1976.
Sedangkan untuk edisi Indonesia, karya Bell ini dapat diperhatikan di Y.B.
Mangunwijaya (ed.), Tekhnologi dan Dampak Lingkungannya, Volume II,
Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985; atau Daniel Bell dan Irving Kristol
(ed.), Model dan Realita di Dalam Wacana Ekonomi, Dalam Krisis Teori Ekonomi,
Jakarta: LP3ES, 1988.
[10] Guy Debord, The Society of The Spectacle, seperti dikutip oleh
Fredric Jameson, Postmodernism or The Cultural of The Late Capitalism,
London, Verso, 1990, hlm. 8.
[11] Kapitalisme monopoli sebagai bentuk dari
kapitalisme fase lanjut seringkali diberi pengertian yang merujuk pada peran
penting dari kolaborasi di tingkat birokrat Negara dan pengusaha kapitalis
untuk menguasai lahan produksi yang ditujukan pada kepentingan-kepentingan
publik.
[12] Lihat John Kenneth Galbraith, The New Industrial State, New
York: Mentor Book Paperback Edition, 1972, hlm. 258. Periksa juga Budiman, Op. Cit.
[13] Jurgen Hebermas, Ilmu dan Tekhnologi Sebagai
Ideologi, Jakarta: LP3ES, 1990, hlm. 76-77.
[14] Dalam banyak hal, pembahasan kapitalisme fase
lanjut tidak bisa dilepaskan begitu saja dari pembahasan tentang sistem ekonomi
kapitalisme yang ada di Amerika. Sebab seperti yang sudah dijelaskan terdahulu
bahwa salah satu ciri pokok yang mendasari kapitalisme fase lanjut adalah
pergeseran modal dari kapitalisme klasik yang didominasi oleh Negara-negara
Eropa menuju kapitalisme Amerika. Posisi Amerika sebagai pusat perdagangan
dunia (world trade center), dengan demikian, bisa dijadikan referensi
dan parameter perkembangan kapitalisme global selanjutnya.
[15] Ini semakin memperjelas bahwa teori mekanisme
pasar tidak bisa dibiarkan sebebas apa yang sudah didoktrinkan dalam teori
ekonomi kapitalisme klasik. Pemerintah atau Negara dibutuhkan kehadirannya
dalam mengurusai bidang-bidang yang bersangkut-paut dengan kebutuhan publik
seperti penjelasan di atas. Dengan demikian, hadirnya Negara sebagai wasit
adalah berfungsi untuk mengatur pasar.
[16] Lihat Francis Fukuyama, The End of History and Last Man,
London: Hamish Hamilton, 1992. bandingkan dengan pandangan-pandangan dalam
literatur abad ke-19 yang dikenal sebagai abad ideologi (the age of
ideology). Bandingkan juga dengan literatur abad ke-20 yang dianggap
sebagai abad: (1) Akhir Ideologi (The End of Ideology) karya sosiolog
Daniel Bell, (2) Akhir Alam Semesta (The End of Nature) karya Paul
MacKiben.
[17] Lihat Galbraith, Op. Cit.
[18] Paul Hirst & Grahame Thompson , Globalisasi Adalah Mitos, Jakarta,
Yayasan Obor Indonesia, 2001. Hlm. 31-34.
[19] Liaht Darsono P, dalam Globalisasi Suatu Strategi
Penjajahan Bentuk Baru,
http://www.polarhome.com/pipermail/nusantara/2006-november/000189.htm.
[20] Paul M Sweezy, “Kapitalisme Modern”, dalam Kapitalisme:
Dulu dan Sekarang: Kumpulan Karangan dari berbagai sumber asing, LP3ES,
Jakarta, 1987, hlm. 5
[21] Lihat www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
[22] Lihat, Links, International Journal of Sosialist Renewal, No. 7 tahun
1996, hlm. 59
[23] Jan Nederveen Pieterse, “Globalization as Hybridization”,
individu Mike Featherstone et all. Edt, Global Modernities, Sage
Publications, London, 1995, hlm. 47
[24] Budi Winarno, “Ekonomi Global dan Krisis Demokrasi”, dalam Jurnal
Hubungan Internasional, Edisi 1, Februari 2004, hlm. 7
[25] Lihat http://www.theindonesianinstitute.org/gglob02.htm.
[26] Dalam bahasa Indonesia sering diterjemahkan
menjadi pembangunanisme. Developmen-talisme adalah sebuah istilah
ekonomi-politik. Sebuah konsep atau kebijakan politik luar negeri Amerika
Serikat yang dicetuskan pada masa Presiden Harry S Truman pada tahun 1949 untuk
menjawab berbagai permasalahan kemiskinan atau keterbelakangan (Underdevelopment)
yang terjadi di Negara-negara dunia ketiga, sekaligus sebagai alat ideologi
untuk membendung sosialisme.
[27] Fase di mana dekolonisasi ditawarkan bagi dunia
ketiga dan terjadi proses eksploitasi kapitalisme dari yang bersifat
kolonilistik kepada fase yang bersifat lunak
[28] Lihat www.westpapua.net/doc/paper/paper6/capitalism.htm
[29] http://www.al-islam.or.id/tampil.php?halaman=buletin&id=24
[30] Ibid
[31] Ibid
[32] Istilah yang digunakan Talcot Person.
[33] Thomas L Friedman, The Lexus and The Oleive Tree, Harper
Collins Publisher, London, 2000, hlm. 31
[34] Anthony Giddens, Run Way World: Bagaimana Globalisasi Merombak
Kehidupan Kita, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2000, hlm. 5
[35] Hasan Hanafi, Cakrawala Baru Peradaban Global: Revolusi Islam Untuk
Globalisme, Pluralisme, Egalitarianisme Antar Peradaban, IRCiSoD,
Yogyakarta, 2003, hlm. 69
[36] Lihat M Arif Nasution, Globalisasi dan Migrasi
Antar Negara, Penerbit Alami, Bandung, 1999, hlm. 65
[37] Wallerstain, seperti dikutip Roland H Chilcote, Theories of
Development and Under-Development, Westview Press, Colorado, 1994, hlm. 94
[38] Frachan Bulkin, dalam pengantarnya untuk
Analisa Kekuatan Politik di Indonesia, LP3ES, Jakarta, 1985
[39] Lihat http://www.pds.or.id/globalisasi_penghisapan_rakyat_htm.
[40] Martin Khoor, Globalisasi Perangkap
Negara-negara Selatan, Cindelaras Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2000,
hlm. 10.
[41] Ibid.
[42] Ibid.
[43] Martin Khoor, Op. Cit., hlm. 11
[44] Charles W. Kegley, Jr & Eugene R. Wittkopt, World Politics:
Trend and Transformation 7th Edition, Worth
Publishers, London, 1999, hlm. 249
[45] Kompas, “Lengser a’la Bill Gates”, 22 Januari 2000
[46] Charles W. Kegley & Eugene R. Wittkopt, Op. Cit, hlm. 196
[47] David Held & Anthony Mc Grew, David Goldblat & Jonathan
Peraton, Global Transformation: Politics, Economics and Culture, Polity
Press, Great Britain, 1999, hlm. 260
[48] Ibid. hlm. 253
[49] http://www.kompas.com/kompas-cetak/0304/28/nasional/280846.htm
[50] Lihat. Kita, Dunia dan Globalisasi: Menelisik
Pemikiran Joseph S. Nye, dalam http://isac.blogdrive.com/archive/10.htm
[51] Dari Negara-negar imperialis inilah muncul
korporasi-korporasi global yang menjadi pelaku utama juga pada saat ini, dan
agen utama eksploitasi berbagai sumberdaya di berbagai belahan dunia ketiga,
yang pada akhirnya hasilnya dibawa kembali ke Negara-negara metropolis
[52] Lihat: James Petras, “Negara Sebagai Agen
Imperialis”, dalam Globalisasi Perspektif Sosialis, Ali Sugihardjanto,
dkk, Penerbit Cubuc, Jakarta, 2001, hlm. 164
[53] Ibid, hlm. 166
[54] Stephan Haggard & Robert R. Kaufman, ed., Introduction:
Institution and Economic Adjustment, Princeton University Press, Princeton,
NJ, 1992, hlm. 3
[55] Thomas J Bierstecker., “The Logic of Unfulfilled Pomise of
Privatization individu Developing Countries”, individu Louis Puterman &
Dietrich Ruescameyer, eds, State and Market individu Development: Sinergy of
Rivalry?, Bouldera, CO: Liene Riener, Publisher, Inc, 1992, hlm. 106
[56] James Petras, Negara Sebagai Agen Imperialis, Op. Cit., hlm.
1666-167
[57] Jerry Mander, Debi Barker & David Korten, “Globalisasi Membantu
Kum Miskin”, dalam Globalisasi Kemiskinan & Ketimpangan, Cindelaras
Pustaka Rakyat Cerdas, Yogyakarta, 2003, hlm. 10-12
[58] Soedjatmoko, Etika Pembebasan, Pilihan Karangan
tentang Agama Kebudayaan Sejarah dan Ilmu Pengetahuan, Jakarta, LP3ES,
1984. hlm. 277.
[59] Ibid.
[60] Ibid, hlm. 282.
Komentar
Posting Komentar