GLOBALISASI EKONOMI & POLITIK INTERNASIONAL
Globalisasi
adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan
ketergantungan antarbangsa dan antarmanusia di seluruh dunia dunia melalui
perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk bentuk interaksi yang lain
sehingga batas-batas suatu negara menjadi bias. Dalam
banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi, dan
istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah
globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas batas
negara.
Pengertian
Kata
"globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah
universal. Sebagai fenomena baru, globalisasi belum memiliki definisi yang
mapan, kecuali sekadar definisi kerja (working definition), sehingga tergantung
dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial,
atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa
seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain,
mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan
menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya
masyarakat.
Mitos
yang hidup selama ini tentang globalisasi adalah bahwa proses globalisasi akan
membuat dunia seragam. Proses globalisasi akan menghapus identitas dan jati
diri. Kebudayaan lokal atau etnis akan ditelan oleh kekuatan
budaya besar atau kekuatan budaya global. Anggapan atau jalan pikiran di atas
tersebut tidak sepenuhnya benar. Kemajuan teknologi komunikasi
memang telah membuat batas-batas dan jarak menjadi hilang dan tak berguna. John
Naisbitt (1988), dalam bukunya yang berjudul Global Paradox ini memperlihatkan
hal yang justru bersifat paradoks dari fenomena globalisasi. Naisbitt (1988)
mengemukakan pokok-pokok pikiran lain yang paradoks, yaitu semakin kita menjadi
universal, tindakan kita semakin kesukuan, dan berpikir lokal, bertindak
global. Hal ini dimaksudkan kita harus mengkonsentrasikan kepada hal-hal yang
bersifat etnis, yang hanya dimiliki oleh kelompok atau masyarakat itu sendiri
sebagai modal pengembangan ke dunia Internasional.
Di sisi
lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh
negara-negara adikuasa, sehingga bisa
saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut
pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang
paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin
tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab, globalisasi cenderung
berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap
bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Ciri Globalisasi
Berikut
ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di
dunia. Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antarnegara menunjukkan
keterkaitan antarmanusia di seluruh dunia. Perubahan dalam konsep ruang dan
waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit,
dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global
terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme
memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar
dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi
saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan eprdagangan internasional,
peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade
Organization (WTO). Peningkatan interaksi kultural
melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi
berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan
mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka
ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis
multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy
dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada
globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia
adalah satu. Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa
sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah
tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal
sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi.
Sejalan dengan itu, Peter Drucker menyebutkan
globalisasi sebagai zaman transformasi sosial. Setiap beberapa ratus tahun
dalam sejarah manusia, transformasi hebat terjadi. Dalam beberapa dekade saja,
masyarakat telah berubah kembali baik dalam pandangan mengenai dunia,
nilai-nilai dasar, struktur politik dan sosial, maupun seni. Lima puluh tahun
kemudian muncullah sebuah dunia baru.
Teori Globalisasi
Cochrane
dan Pain menegaskan bahwa dalam kaitannya dengan globalisasi, terdapat tiga
posisi teroritis yang dapat dilihat, yaitu: Para globalis percaya bahwa
globalisasi adalah sebuah kenyataan yang memiliki konsekuensi nyata terhadap
bagaimana orang dan lembaga di seluruh dunia
berjalan. Mereka percaya bahwa negara-negara dan kebudayaan lokal akan hilang diterpa kebudayaan
dan ekonomi global yang homogen. meskipun demikian, para globalis tidak
memiliki pendapat sama mengenai konsekuensi terhadap proses tersebut.
Para
globalis positif dan optimistis menanggapi dengan baik perkembangan semacam itu
dan menyatakan bahwa globalisasi akan menghasilkan masyarakat dunia yang
toleran dan bertanggung jawab. Para globalis pesimis berpendapat bahwa
globalisasi adalah sebuah fenomena negatif karena hal tersebut sebenarnya
adalah bentuk penjajahan barat (terutama Amerika Serikat) yang memaksa sejumlah bentuk
budaya dan konsumsi yang homogen dan terlihat sebagai sesuatu yang benar
dipermukaan. Beberapa dari mereka kemudian membentuk kelompok untuk menentang
globalisasi (antiglobalisasi). Para
tradisionalis tidak percaya bahwa globalisasi tengah terjadi. Mereka
berpendapat bahwa fenomena ini adalah sebuah mitos sematau atau, jika memang
ada, terlalu dibesar-besarkan. Mereka merujuk bahwa kapitalisme telah menjadi sebuah fenomena internasional selama
ratusan tahun. Apa yang tengah kita alami saat ini hanyalah merupakan tahap
lanjutan, atau evolusi, dari produksi dan perdagangan kapital.
Para
transformasionalis berada di antara para globalis dan tradisionalis. Mereka
setuju bahwa pengaruh globalisasi telah sangat dilebih-lebihkan oleh para
globalis. Namun, mereka juga berpendapat bahwa sangat bodoh jika kita
menyangkal keberadaan konsep ini. Posisi teoritis ini berpendapat bahwa
globalisasi seharusnya dipahami sebagai "seperangkat hubungan yang saling
berkaitan dengan murni melalui sebuah kekuatan, yang sebagian besar tidak terjadi
secara langsung". Mereka menyatakan bahwa proses ini bisa dibalik,
terutama ketika hal tersebut negatif atau, setidaknya, dapat dikendalikan.
Sejarah Globalisasi
Banyak
sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang
dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan
globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad
yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia
mulai mengenal perdagangan antarnegeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu,
para pedagang dari Cina dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui
jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk
berdagang.
Fenomena
berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah
terjadinya globalisasi. Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan
kaum muslim di Asia
dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan
perdagangan yang antara lain meliputi Jepang,
Cina,
Vietnam, Indonesia, Malaka,
India, Persia,
pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa.
Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan
nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab
ke warga dunia. Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara
besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini.
Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan
antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar
perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula
kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi
kebudayaan di dunia.
Semakin
berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga
memunculkan berbagai perusahaan
multinasional di dunia. Di Indinesia misalnya, sejak politik pintu
terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai
cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon
dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan
multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase
selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan
komunisme di dunia runuh. Runtuhnya komunisme
seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam
mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara negara di dunia mulai
menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan
perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Alhasil, sekat-sekat antarnegara
pun mulai kabur.
Globalisasi
Perekonomian
Globalisasi
perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana
negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar
yang semakin terintegrasi dengan tanpa
rintangan batas teritorial negara.
Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan
terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika
globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan
keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan
semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar
produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya
juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik. Menurut Tenri Abeng, perwujudan
nyata dari globalisasi ekonomi antara lain terjadi dalam bentuk-bentuk berikut:
1.
Globalisasi produksi,
di mana perusahaan berproduksi di berbagai negara,
dengan sasaran agar biaya produksi menajdi lebih rendah. Hal ini dilakukan baik
karena upah buruh yang rendah, tarif bea masuk yang murah,
infrastruktur yang memadai ataupun karena iklim usaha dan politik yang
kondusif. Dunia dalam hal ini menjadi lokasi manufaktur global. Kehadiran
tenaga kerja asing merupakan gejala terjadinya globalisasi tenaga kerja
2.
Globalisasi
pembiayaan. Perusahaan global mempunyai akses untuk memperoleh pinjaman atau
melakukan investasi (baik dalam bentuk portofolio ataupun
langsung) di semua negara di dunia. Sebagai contoh, PT Telkom dalam memperbanyak satuan sambungan
telepon, atau PT Jasa Marga dalam memperluas jaringan jalan tol telah
memanfaatkan sistem pembiayaan dengan pola BOT (build-operate-transfer) bersama
mitrausaha dari manca negara.
3.
Globalisasi tenaga
kerja. Perusahaan global akan mampu memanfaatkan tenaga kerja dari seluruh
dunia sesuai kelasnya, seperti penggunaan staf profesional diambil dari tenaga
kerja yang telah memiliki pengalaman internasional atau buruh kasar yang biasa
diperoleh dari negara berkembang. Dengan globalisasi maka human movement akan
semakin mudah dan bebas.
4.
Globalisasi jaringan
informasi. Masyarakat suatu negara dengan mudah dan cepat
mendapatkan informasi dari negara-negara di dunia karena kemajuan teknologi,
antara lain melalui: TV,radio,media cetak dll. Dengan jaringan komunikasi yang
semakin maju telah membantu meluasnya pasar ke berbagai belahan dunia untuk
barang yang sama. Sebagai contoh : KFC, celana jeans levi's, atau
hamburger melanda pasar dimana-mana. Akibatnya selera masyarakat dunia -baik
yang berdomisili di kota ataupun di desa- menuju pada selera global.
5.
Globalisasi
Perdagangan. Hal ini terwujud dalam bentuk penurunan dan penyeragaman tarif
serta penghapusan berbagai hambatan nontarif. Dengan demikian kegiatan
perdagangan dan persaingan menjadi semakin cepat, ketat, dan fair.
Thompson
mencatat bahwa kaum globalis mengklaim saat ini telah terjadi sebuah
intensifikasi secara cepat dalam investasi dan perdagangan internasional.
Misalnya, secara nyata perekonomian nasional telah menjadi bagian dari
perekonomian global yang ditengarai dengan adanya kekuatan pasar dunia.
Globalisasi kebudayaan sub-kebudayaan Punk,
adalah contoh sebuah kebudayaan yang berkembang secara global.
Globalisasi
mempengaruhi hampir semua aspek yang ada di masyarakat, termasuk diantaranya aspek budaya.
Kebudayaan dapat diartikan sebagai nilai-nilai (values) yang dianut oleh
masyarakat ataupun persepsi yang dimiliki oleh warga masyarakat terhadap
berbagai hal. Baik nilai-nilai maupun persepsi berkaitan dengan aspek-aspek
kejiwaan/psikologis, yaitu apa yang terdapat dalam alam pikiran. Aspek-aspek kejiwaan
ini menjadi penting artinya apabila disadari, bahwa tingkah laku seseorang
sangat dipengaruhi oleh apa yang ada dalam alam pikiran orang yang
bersangkutan. Sebagai salah satu hasil pemikiran dan penemuan seseorang adalah kesenian, yang merupakan subsistem dari kebudayaan.
Globalisasi
sebagai sebuah gejala tersebarnya nilai-nilai dan budaya
tertentu keseluruh dunia (sehingga menjadi budaya dunia atau world culture)
telah terlihat semenjak lama. Cikal bakal dari persebaran budaya dunia ini
dapat ditelusuri dari perjalanan para penjelajah Eropa Barat
ke berbagai tempat di dunia ini ( Lucian W. Pye, 1966 ). Namun, perkembangan
globalisasi kebudayaan secara intensif terjadi pada awal ke-20 dengan
berkembangnya teknologi komunikasi.
Kontak melalui media menggantikan kontak fisik sebagai sarana utama komunikasi
antarbangsa. Perubahan tersebut menjadikan komunikasi antarbangsa lebih mudah
dilakukan, hal ini menyebabkan semakin cepatnya perkembangan globalisasi
kebudayaan.
Ciri Berkembangnya
Globalisasi Kebudayaan
1.
Berkembangnya
pertukaran kebudayaan internasional.
2.
Penyebaran prinsip
multikebudayaan (multiculturalism), dan kemudahan akses suatu individu terhadap
kebudayaan lain di luar kebudayaannya.
3.
Berkembangnya turisme
dan pariwisata.
4.
Semakin banyaknya imigrasi dari suatu negara ke negara lain.
5.
Berkembangnya mode yang berskala global, seperti
pakaian, film dan lain lain.
6.
Bertambah banyaknya
event-event berskala global, seperti Piala Dunia FIFA.
Reaksi Masyarakat:
Gerakan Pro-Globalisasi
Pendukung
globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa
globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat
dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan
komparatif. Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara
lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan
salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi
pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang
memiliki keunggulan komparatif pada produk kamera digital (mampu mencetak lebih
efesien dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada
produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi
kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi
kamera digital, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari
Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Salah satu
penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan
dan kebijakan proteksi dari
pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi
dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi
barang impor sehingga sulit
menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme
tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan
dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat
ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat,
kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa
kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF,
mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan
dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai
hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak
menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam
lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun.
Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa
mengurangi tingkat konsumsinya; termasuk
konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan—menurut
mereka—mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia. (Gerakan
Antiglobalisasi) Antiglobalisasi adalah suatu istilah yang umum
digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang
menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur
perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).
"Antiglobalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara
yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan
sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan
dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang
menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional,
dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya. Namun, orang-orang
yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka
lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari
Semua Gerakan atau sejumlah istilah lainnya.
Neoliberalisme sebagai
Ancaman bagi Kaum Miskin
Pada
bagian ini, saya akan membahas seputar apa itu neoliberalisme, bagaimana
perkembangannya, serta apa dampak dari penerapannya. Jika dalam bagian
sebelumnya saya berargumen bahwa ketika negara mendapat kesempatan untuk
memiliki kekuasaan mengelola dan mengontrol sepenuhnya urusan sipil, politik,
ekonomi, sosial, dan budaya, ternyata amanat itu telah dikhianati dan
mengakibatkan proses dehumanisasi dan kesengsaraan sebagian besar rakyat
miskin. Penggusuran, pencaplokan tanah demi untuk pembangunan serta berbagai
pemaksaan program pembangunan seperti program KB, program pertanian maupun
berbagai program kesehatan telah mengakibatkan jutaan rakyat menderita. Namun
pada tahun 1997 model kapitalisme negara, pembangunanisme ini akhirnya
mengalami keruntuhan, dimana salah satu sebabnya adalah akibat ditenggelamkan
dan didominasi oleh kekuatan neoliberalisme global. Oleh karena itu
neoliberalisme segera menggantikan model pembangunan yang telah membawa
bencana. Tetapi apakah pengganti pembangunanisme, yakni model ekonomi
persaingan bebas neoliberalisme ini merupkan solusi ataukah justru bencana baru
bagi rakyat? Inilah pertanyaan dasar yang ingin saya jawab dalam bagian ini.
Meskipun
agak terlambat membahasnya karena neoliberalisme saat ini telah diterapkan
menjadi kebijakan politik dan ekonomi negara kita, namun kita perlu memahami
bagaimana neoliberalisme beroperasi untuk memahami akar dari kemiskinan.
Sebagai “the dominant discourse” (wacana dominan), kebijakan yang berwatak
neoliberal diyakini bagaikan “agama baru,” dan diamalkan secara sistemik dan
struktural melalui mekanisme kebijakan—dari kebijakan tingkat lokal, kebijakan
nasional bahkan hingga tingkat global. Neoliberalisme sebagai suatu ideologi,
dalam praktiknya mengambil bentuk penerapan paket kebijakan ekonomi dan politik
yang sesungguhnya sudah diterapkan di negeri kita sejak menjelang krisis pada
medio 1997 hingga saat ini. Meskipun dikalangan aktivis gerakan sosial di
mana-mana sudah lama membincangkan dan mewaspadai bahkan melakukan resistensi
terhadap kebijakan neoliberalisme, namun di Amerika Serikat, tempat yang
dianggap sebagai awal berkembangan neoliberalisme, justru jarang sekali
dibicarakan orang. Bagi kalangan rakyat bawah di Amerika, sebenarnya dampak
neoliberalisme sudah mereka rasakan dengan terjadinya kesenjangan yang kaya
menjadi semakin kaya sementara yang miskin menjadi semakin miskin. Berbeda
dengan di Amerika, di wilayah kita, neoliberalisme dibicarakan dan diwaspadai,
namun masih jarang orang memahami betul apa sebenarnya hakikat dan mekanisme
neoliberalisme, bagaimana penerapan dan wujud kongkretnya? bagaimana bekerjanya
dan dampaknya serta bagaimana menghentikannya, sesunguhnya masih belum jelas
betul. Oleh karena itu dalam bagian ini saya akan mengupas secara tuntas
pertanyaan-pertanyaan seputar neoliberalisme tersebut.
Apa yang Dimaksud
Neoliberalisme?
Membahas
neoliberalisme, akan menjadi sulit jika kita tidak menyinggung apa itu
liberalisme. Paham liberalisme berkonotasi luas, dapat mengacu pada paham
ekonomi, politik bahkan dapat juga sebagai gagasan agama. Dalam sistem politik
Amerika Serikat, bahkan liberalisme dipergunakan sebagai strategi untuk
menghindarkan konflik sosial. Bagi kalangan orang miskin maupun buruh Amerika,
anehnya kata “liberal” dipahami lebih “progresif” dibandingkankan dengan
“konservatif” atau bahkan dianggap lawan dari “sayap kanan.” Para politisi
konservatif di sana umumnya khawatir jika dicap sebagai “liberal,” namun
ketakutan label itu tidak ada sangkut pautnya dengan liberalisme ekonomi maupun
neoliberalisme yang sedang kita bahas ini. Liberalisme dengan demikian mempunyai makna berbeda dari satu tempat ke tempat yang
lain. Liberalisme asal mulanya merupakan bentuk perjuangan kaum borjuasi
menghadapi kaum konservatif. Sehingga boleh dikatakan bahwa liberalisme tadinya
merupakan idologi kaum borjuasi kota. Dalam arti luas, liberalisme adalah paham
yang mempertahankan otonomi individu melawan intervensi komunitas. Tapi memang
ada liberalisme ekonomi ada juga “civic liberalism” atau liberalisme otonomi
individual.
Liberalisme ekonomi ini yang nantinya berkembang menjadi neo-liberalisme.
Pada pokoknya paham ini memperjuangkan leissez faire (persaingan bebas)
yakni paham yang memperjuangkan hak-hak atas pemilikan dan kebebasan
individual. Mereka lebih percaya pada kekuatan pasar untuk menyelesaikan
masalah sosial ketimbang melalui metode regulasi negara.
Kata neo
dalam neoliberalisme yang sedang kita bincangkan ini sesungguhnya merujuk pada
bangkitnya kembali bentuk baru aliran ekonomi liberalisme lama yang mulanya
dibangkitkan oleh ekonom Inggris Adam Smith dalam karyanya yang berjudul The
Wealth of Nations (1776), dimana dia dan kawan-kawannya menggagas
penghapusan intervensi pemerintah dalam ekonomi. Pemerintah haruslah membiarkan
mekanisme pasar bekerja, pemerintah seharusnya melakukan deregulasi, dengan
mengurangi segenap restriksi pada industri, mencabut semua rintangan birokratis
perdagangan, ataupun menghilangkan tarif bagi perdagangan demi menjamin
terwujudnya free trade. Perdagangan dan persaingan bebas adalah cara
terbaik bagi ekonomi nasional untuk berkembang. Dengan demikian, liberalisme di
sini berkonotasi “bebas dari kontrol pemerintah,” atau kebebasan individual
untuk menjalankan persaingan bebas, termasuk kebebasan bagi kaum kapitalis
untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Ekonomi model liberalisme inilah
yang menjadi dasar bagi ekonomi Amerika pada tahun 1800-an sampai awal 1900-an.
Tapi konsep tersebut akhirnya runtuh saat bencana depresi (The Great
Depression) di tahun 1930-an menghempaskan sistem itu.
Krisis
ekonomi depresi itu memunculkan seorang ekonom berkebangsaan Inggris John
Maynard Keynes tampil dengan pemikiran alternatif terhadap paham liberal. Ia
mengembangkan teori yang menantang kebijakan liberalisme. Sebaliknya, Keynes
mengembangkan gagasan yang justru mempertahankan bahwa “full employment” buruh
berperan strategis bagi perkembangan kapitalisme, dan untuk itu peran
pemerintah dan Bank Sentral justru menurutnya harus dilibatkan untuk
menciptakan lapangan kerja. Inilah gagasan yang mempengaruhi Presiden Roosevelt
yang kemudian mengembangkan program “New Deal” karena dianggap berhasil
menyelamatkan rakyat Amerika waktu itu. Sejak itulah “peran pemerintah” dalam
ekonomi makin dapat diterima.
Sejak saat
itu pulalah peran negara dalam bidang ekonomi semakin menguat dan
menenggelamkan paham liberalisme. Namun krisis kapitalisme selama 25 tahun
terakhir, dan semakin berkurangnya tingkat profit yang berakibat pada jatuhnya
akumulasi kapital, meneguhkan tekad korporasi besar untuk kembali ke sistem
liberalisme. Melalui “corporate globalization” mereka merebut kembali ekonomi
dan berhasil mengembalikan paham liberalisme bahkan berskala global.
Paham
neoliberalisme saat ini telah mengglobal. Neoliberalisme mulanya dikembangkan
melalui “konsesus” yang dipaksakan melalui penerapan kebijakan neoliberalisme.
Saat ini neoliberalisme berhasil menjadi suatu tata dunia ekonomi politik baru.
Arsitektur tata dunia ini ditetapkan dalam suatu kesepakatan yang dikenal
sebagai The Neoliberal Washington Consensus, kesepakatan dari para
pembela ekonomi privat terutama wakil dari perusahaan-perusahaan besar yang
mengontrol dan menguasai ekonomi internasional dan memiliki kekuasaan untuk
mendominasi informasi kebijakan dalam membentuk opini publik secara global.
Apa
sebenarnya yang menjadi pendirian paham neoliberalisme? Pada intinya paham
neoliberalisme dapat dirumuskan ke dalam pokok-pokok pendirian sebagai berikut:
Pertama, Biarkan
Pasar bekerja. Kepercayaan ini termasuk membebaskan perusahaan swasta (private
enterprise) dari negara atau pemerintah, apa pun akibat sosialnya.
Penerapan kepercayaan tersebut berupa pemberian ruang bebas dan keterbukaan
terhadap perdagangan internasional dan investasi seperti AFTA maupun NAFTA,
maupun dalam bentuk kawasan pertumbuhan yang lebih kecil yang merupakan area
bebas dari birokrasi negara. Masuk dalam kepercayaan ini juga: tekan
pengeluaran upah dengan melakukan politik pecah belah persatuan buruh serta
lenyapkan “hak-hak buruh” dimana selama ini menjadi media perjuangan para buruh
“memaksakan kehendak mereka.” Selanjutnya, lenyapkan kontrol atas harga,
biarkan “pasar bekerja” tanpa distorsi. Masuk dalam keyakinan ini adalah
berikan kebebasan total arus kapital, barang dan jasa. Semua itu mereka
rumuskan dalam suatu kredo: unregulated market is the best way to increase
economic growth. Keyakinan bahwa hanya melalui pasar bebas pertumbuhan bisa
dicapai ini selanjutnya membawa ajaran trickle down dalam ekonomi
sebagai jalan pemerataan.
Keyakinan kedua, kurangi pemborosan
dengan memangkas semua anggaran negara yang tidak produktif seperti subsidi
untuk pelayanan sosial seperti anggaran pendidikan, kesehatan, dan jaminan
sosial lainnya. Semua itu juga dilakukan sekali lagi untuk mengurangi peran
negara. Pemotongan segala yang berbau subsidi ini tentu saja retorika belaka,
karena kebijakan neoliberal justru memberikan subsidi besar-besar pada
perusahaan transnasional melalui program “tax benefits” maupun “tax holidays.”
Ketiga, neoliberalisme juga percaya pada
perlunya deregulasi ekonomi. Keyakinan ini diterapkan dengan mengurangi segala
bentuk regulasi negara atau pemerintah terhadap usaha kebebasan ekonomi, karena
regulasi selalu mengurangi keuntungan, termasuk regulasi mengenai Analisa
Dampak Lingkungan, ataupun aturan keselamatan kerja dan sebagainya. Dalam
rangka itu pulalah mereka percaya perlunya Bank Sentral yang independen.
Keempat, Keyakinan terhadap Privatisasi. Jual
semua perusahan negara kepada investor swasta. Privatisasi ini termasuk
dibidang perbankan, industri strategis, perkeretaapian dan transportasi umum,
PLN, Sekolah dan Universitas, Rumah sakit Umum, bahkan privatisasi air.
Kebijakan neoliberal tentang privatisasi ini dilakukan dengan alasan selain
demi keyakinan “persaingan bebas” yang biasanya dibungkus demi “efisiensi dan
mengurangi korupsi,” tapi kenyataannya berakibat pada konsentrasi kapital di
tangan sedikit orang dan dan memaksa rakyat kecil membayar lebih mahal atas
kebutuhan dasar mereka.
Keyakinan Kelima, masukkan gagasan
“barang-barang publik,” paham sosial atau komunitas seperti “gotong royong”
serta berbagai keyakinan solidaritas sosial yang hidup di rakyat ke dalam peti
es, untuk kemudian diganti dengan paham “tanggung jawab individual.” Seringkali
golongan paling miskin dalam masyarakat menjadi korban dari kebijakan
neoliberal, dan mereka harus memecahkan masalah mereka seperti masalah
kesehatan, pendidikan, jaminan sosial serta masalah-masalah lainnya dengan
usaha yang sangat memberatkan bagi kehidupan mereka.
Apa Saja Bentuk Kebijakan
Neoliberal?
Di
mana-mana kebijakan neoliberalisme diterapkan melalui paksaan oleh lembaga
finansial internasional seperti International Monetary Fund (IMF) dan World
Bank. Kalau mau contoh bagaimana kebijakan neoliberalisme diterapkan, maka Anda
tidak perlu mencarinya jauh-jauh. Kebijakan ekonomi Indonesia selama dan
setelah krisis seperti pemotongan subsidi minyak, privatisasi bank negara,
privatisasi universitas dan pendidikan, privatisasi perusahan listrik negara,
privatisasi rumah sakit umum dan privatisasi perusahaan pertambangan dan
perkebunan negara yang dulu hasil dari nasionalisasi diawal kemerdekaan adalah
bentuk nyata dari kebijakan neoliberal. Demikian halnya divestasi terhadap
perusahaan-perusahaan negara dan bank pemerintah, liberalisasi perdagangan dan
perpajakan yang semuanya diterapkan pasca krisis hingga kini adalah contoh
terbaik bagaimana kebijakan neoliberal. Itulah makanya banyak orang mulai
menganggap bahwa neoliberalisme berarti rekolonisasi. Di mana-mana kebijakan
neoliberal juga membawa bencana. Di Amerika Serikat misalnya, kebijakan
neoliberalisme menghancurkan program kesejahteraan; menghancurkan
hak-hak buruh termasuk buruh migran; serta pemangkasan program sosial dan
jaminan sosial, seperti penolakan perlindungan hak anak dan lain sebagainya.
Lantas, siapa yang diuntungkan oleh kebijakan neoliberalisme? Mereka yang
diuntungkan adalah justru golongan kecil minoritas dari umat manusia. Mereka
adalah para pemilik modal dari perusahaan transnasional (TNCs) yang justru
hanya dengan iklim kebijakan persaingan bebas, mereka dapat melakukan ekspansi
makin besar. Akan tetapi mayoritas umat manusia justru terpuruk dalam
penderitaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya.
Apa Mitos-mitos
Neoliberalisme tentang Pasar Bebas?
Dewasa
ini, banyak orang menanti harap-harap cemas tentang datangnya era pasar bebas.
Pasar bebas kemudian menjadi kata kunci untuk memecahkan berbagai masalah
pertumbuhan ekonomi. Pasar bebas tiba-tiba telah menjadi kata kunci yang
dipercayai satu-satunya jalan untuk kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Oleh
karena itu tugas negara dan atau pemerintah bagi paham neoliberal harus
menjamin berlakunya pasar bebas, agar persaingan bebas terjadi. Oleh karena
itu, segenap kebijakan pemerintah yang akan menghalangi persaingan bebas harus
disingkirkan. Itulah mengapa segala kebijakan mengenai subsidi, perusahaan
negara, pajak, sumber daya alam, dan lain sebagainya harus di reformasi agar
tidak mengganggu persaingan bebas. Saat ini hampir semua yang dianggap
menghalangi berlakunya “pasar bebas” telah disingkirkan, termasuk amandemen UUD
‘45 bagi pasal-pasal yang berbunyi kekuasaan ekonomi negara dan demi
kesejahteran rakyat telah dihapus. Ekonomi yang disusun berdasarkan prinsip
efisiensi dianggap sebagai jalan menuju kemakmuran.
Dalam rangka memantapkan kebijakan
neoliberalisme, sebelumnya mereka para pendukung neoliberalisme telah melakukan
kampanye untuk mempengaruhi publik tentang neoliberalisme dengan memproduksi
mitos-mitos neoliberalisme dan pasar bebas. Untuk itu dalam bagian ini saya
mengajak Anda mengupas mitos-mitos pasar bebas. Apa memang pasar bebas adalah
sebuah masa depan yang menjanjikan kemakmuran, ataukah pasar bebas justru
merupakan masalah dan tantangan. Mitos-mitos tersebut meliputi: pertama, mitos bahwa dengan
perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan kelaparan tidak akan terjadi.
Kenyataannya perdagangan bebas dibidang pangan justru menaikkan harga pangan. Mitos kedua, bahwa WTO
dan TNCs akan memproduksi pangan yang aman. Kenyataannya, dengan rekayasa
genetika dan penggunaan pestisida dan racun kimia, justru membahayakan
kehidupan manusia. Mitos
ketiga, bahwa kaum perempuan akan diuntungkan oleh pasar bebas pangan.
Kenyataannya, perempuan petani semakin tersingkir baik sebagi produsen maupun
konsumen. Mitos keempat,
bahwa paten akan melindungi inovasi dan pengetahuan. Kenyataannya, paten dan
hak kekayaan intelektual dibidang mikro-organisme dan “germ plasma,” selain
melegalisasi pencurian keanekargaman hayati petani serta bibit dan menjualnya
kembali pada petani demi keuntungan merupakan proses penghancuran kehidupan
petani. Mitos kelima,
bahwa perdagangan bebas dibidang pangan akan menguntungkan konsumen karena
banyak pilihan dan harga murah. Kenyataannya, perdangan bebas bidang pangan
akan menguntungkan TNCs dan memarginalkan negara Dunia Ketiga karena tidak
mampu lagi memenuhi kewajiban konstitusinya dalam bidang keamanan dan
persediaan pangan, maupun penghancuran perempuan petani sebagai produsen
pangan.
Dengan
demikian sesungguhnya sangat strategis bagi perempuan petani untuk senantiasa
merebut wacana seperti “globalisasi dan perdagangan bebas,” “corporate
farming,” atapun “keamanan pangan” dari pespektif perempuan petani yang lebih
berpendirian “kedaulatan pangan” pangan untuk kehidupan dan bukan pangan untuk komoditi
dan keuntungan belaka. Namun masalahnya, jangankan memberi warna gender dalam
wacana dominan, bahkan saat ini masih ada indikasi kuat yang menunjukkan
absennya “pertanyaan gender” dibanyak gerakan petani untuk mempertanyakan
bagaimana globalisasi dan perdagangan bebas dibidang pangan akan berakibat
negatif bagi petani perempuan.
Bagaimana Nasib Kaum
Perempuan di Bawah Kebijakan Neoliberal?
Kaum
perempuan adalah korban pertama dari kebijakan neoliberal. Kaum perempuan,
khususnya petani perempuan, adalah korban terbesar dari kebijakan neoliberal
bidang pangan yang intinya adalah merebut urusan pangan dari tangan kaum
perempuan. Oleh karena itu tugas pertama yang penting justru melakukan counter
terhadap hegemoni mitos-mitos tentang perempuan seperti yang telah disebutkan
di atas.
Tanpa
mempersoalkan pemikiran tersebut sejak awal, apa akibat dan implikasi
liberalisasi perdagangan pangan dan nasib petani perempuan, maka gerakan petani
“berutang pada petani perempuan.” Pendeknya, setiap perjuangan gerakan petani
yang tidak menghiraukan akibatnya terhadap perubahan relasi kekuasaan atara
petani lelaki dan petani perempuan, gerakan tersebut sesungguhnya belum
menuntaskan permasalahan warisan yang telah lama ada dikehidupan petani. Bahkan
tanpa mempersoalkan relasi gender terlebih dahulu, gerakan petani tidak saja
akan melanggengkan salah satu bentuk ketidakadilan sosial tertua dan oleh
karenanya menjadi bagian dari masalah. Sekali lagi tanpa pertanyaan gender,
bagi petani perempuan, gerakan petani lebih menjadi masalah ketimbang sebagai
solusi. Banyak perempuan petani yang mengeluh justru pada saat mereka telah
berhasil bersama-sama petani laki-laki melakukan aksi sepihak mereklamasi,
merebut kembali tanah-tanah mereka, namun karena alasan tradisi yang tidak
memungkinkan perempuan petani untuk memiliki tanah, maka gerakan mereka
berakhir dengan memarginalisasikan petani perempuan. Dengan kata lain, tanpa
mempertimbangkan implikasi gender, suatu perjuangan dan gerakan petani dalam memperjuangan
hak-hak petani, maupun dalam memperjuangkan reformasi agraria, akan
melanggengkan ketidakadilan bagi petani perempuan. Bahkan penderitaan yang
dialami oleh perempuan petani akibat diskriminasi dan perlakuan tidak adil yang
ditimbulkan akibat dari relasi gender dikalangan petani berakibat negatif sama
seriusnya dirasakan oleh perempuan petani seperti yang yang mereka rasakan yang
diakibatkan oleh kejahatan dan kekerasan yang ditimbulkan oleh neoliberalisme.
Oleh
karena itu gerakan petani perlu secara simultan membenahi dan
mendemokratisasikan “relasi gender” yang ada dalam gerakan petani, dan yang
terpenting melakukan proses demokratisasi relasi gender yang ada di
masing-masing rumah tangga petani. Cukup banyak kasus yang menunjukkan bahwa
Organisasi Tani Perempuan tingkat lokal mempunyai peran penting dalam berbagai
aksi pengambilan kembali tanah mereka dari perkebunan. Akan tetapi ketika
tanah-tanah itu harus didistribusikan kembali kepada para petani, betapa
kecewanya para perempuan petani karena struktur rumah tangga dan relasi gender
para petani yang tidak demokratis dan tradisi di masyarakat petani yang tidak
memberikan hak bagi kaum perempuan atas tanah, telah mengakibatkan
marginalisasi perempuan petani lantaran mereka tidak mempunyai akses dan
kontrol atas tanah. Dengan demikian, tanpa membongkar terlebih dahulu sistem
patriarki yang ada di masyarakat petani dan tanpa menata kembali relasi gender
di rumah tangga para petani masing-masing, setiap gerakan aksi untuk reformasi
agraria akan dilumpuhkan oleh ketidakadilan gender yang secara sistematik dan
kokoh berada di masyarakat petani. Oleh karena itu, tugas gerakan petani
terlebih dahulu adalah adalah melakukan proses demokratisasi terhadap relasai
gender di rumah tangga masing-masing sebagai bagian yang tak terpisahkan dari
gerakan untuk memberdayakan dan mencapai hak-hak petani.
Mengapa Neoliberalisme Antisubsidi terhadap
Kaum Miskin?
Akhir
akhir ini, banyak orang bicara tentang subsidi. Subsidi menjadi topik aktual
yang banyak dibahas diberbagai seminar, diiklankan di tv, dibicarakan dalam
siaran langsung perbincangan di tv dan radio, bahkan ada demonstrasi mahasiswa
menentang pemotongan subsidi. Pokok pembahasan dan pendirian sekitar subsidi
juga bermacam-macam, mulai dari potong subsidi, siapa yang berhak menerima dan
tidak, bahkan ada yang berpendapat pada pokoknya subsidi itu buruk dan jahat.
Pemotongan subsidi negara terhadap berbagai barang ini mengakibatkan
harga-harga naik. Mengapa subsidi kepada rakyat miskin tiba-tiba dipermasalahkan
oleh penganut neoliberal? Untuk itu, dalam bagian ini saya akan bahas persoalan
seputar subsidi, mulai dari apa hakikat subsidi dan siapa, serta atas dasar
alasan apa subsidi dipermasalahkan?
Paham
ekonomi yang diterapkan di negeri kita saat ini adalah sistem kebijakan ekonomi
neoliberal. Bagaimana ekonomi harus dijalankan dan peran negara dibidang
ekonomi didominasi oleh pemikiran yang percaya bahwa pertumbuhan ekonomi hanya
akan dicapai melalui “kompetisi bebas.” Kompetisi bebas adalah hakikat dari “pasar
bebas,” dan bagi mereka, pasar bebas itu efisien, dan itulah cara yang tepat
untuk mengelola sumber daya alam yang langka untuk memenuhi hajat orang banyak.
Bagi penganut paham ini, menyingkirkan apa saja yang menghalangi terjadinya
kompetisi bebas adalah prasyarat bagi tegaknya pasar bebas.
Para
panganut paham pasar bebas percaya bahwa negara dan pemerintah harus memerankan
peran sebagai wasit ekonomi untuk menegakkan pasar bebas. Negara dan pemerintah
yang menjalankan tugas “wasit pasar bebas” secara baik disebut memiliki “good
governance.” Dalam konsep good governance, negara dan pemerintah
dilarang “ikut campur” urusan ekonomi, dan negara harus menyerahkan urusan pada
bekerjanya mekanisme dan hukum pasar. Paham proteksionisme dan paham sosial
kerakyatan seperti tradisi pengelolaan sumber daya alam berbasis rakyat dan
sebagainya harus dihapuskan. Untuk itu mereka memerlukan suatu strategi
akumulasi kapital yang baru, yakni dengan menegakkan kembali “pasar bebas.”
Dalam kaitan itulah mereka mulai melancarkan serangkaian aksi politik ekonomi,
sosial dan budaya untuk penyingkiran segenap rintangan terhadap pasar bebas.
Apa yang dianggap menghalangi pasar bebas seperti pelanggaran paten dan hak
milik intelektual, deregulasi perdagangan, segenap bentuk proteksi serta
penghapusan terhadap subsidi rakyat, merupakan penghambat pasar bebas dan
pertumbuhan ekonomi.
Selain
privatisasi dan deregulasi ekonomi, pemotongan subsidi, merupakan elemen
penting kebijakan neoliberal untuk menjamin persaingan bebas terjadi.
Pemotongan subsidi ini dilakukan oleh pemerintah karena tekanan dari rezim
neoliberal global. Saat ini seharusnya banyak orang harus menjadi sadar bahwa
pada prinsipnya, membicarakan persoalan pemberian subsidi, dan naiknya harga
BBM, TDL, tarif telepon, ternyata bukan karena salahnya sasaran penerima
subsidi seperti yang sering kita dengar, tetapi karena tekanan untuk
menyesuaikan dengan harga pasar. Alasan utama bukan sesederhana argumen siapa
yang seharusnya berhak mendapat subsidi dan siapa yang tidak berhak. Tetapi
lebih dari itu, ini menyangkut persoalan bekerjanya mekanisme harga sesuai
hukum pasar. Kalau prinsip dasar subsidi negara pada rakyat dihilangkan, lantas
orang akan berpikir, untuk apa didirikan negara? Bukankah negara didirikan
justru untuk melindungi rakyat warga negara dari segala bentuk ancaman dan
tantangan. Apa lagi kalau kalau orang meluaskan pemahaman tentang hak asasi
manusia, dan itu berarti ekonomi adalah juga hak asasi manusia, pendidikan
adalah hak anak-anak, dan hak anak-anak adalah juga hak asasi manusia, dan
kalau pangan adalah juga hak asasi manusia, maka justru tugas negara untuk
memproteksi, melakukan pembelaan terhadap kemungkinan pelanggaran hak rakyat
atas pangan, pelayanan sosial dan sebagainya. Jika begitu, justru “subsidi”
kepada rakyat adalah merupakan kewajiban negara.
Bagaimana Peran
Negara Menurut Neoliberalisme?
Rakyat
selalu dikecewakan oleh negara. Sejak kita sepakat bernaung di bawah Republik
Indonesia hingga saat ini, belum pernah negara memenuhi janjinya bagi
perlindungan hak hak dasar manusia. “Developmentalisme,” suatu era yang
dibangun di atas paham bahwa negara maupun pemerintah harus bertanggung jawab
terhadap pertumbuhan ekonomi dan memimpin pembangunan ekonomi juga menghasilkan
kekecewaan dan trauma antipati terhadap negara. Padahal Model pembangunan atau State-led
develoment ditetapkan sebagai alternatif sejak krisis liberalisme pada
zaman kolonialisme tahun 1930-an. Sejak saat itu, negara diberi peran untuk
menjadi aktor utama atau diberi wewenang sebagai pengendali ekonomi dan
politik. Namun, pada saat yang sama, negara juga harus bertanggung jawab untuk
melindungi, mensubsidi, dan bertanggung jawab atas kesejahteraan rakyat. Lebih
lanjut negara bertanggung jawab untuk mencegah setiap bentuk pelanggaran HAM.
Pada era developmentalisme, negara-negara menetapkan bahwa “pembangunan” adalah
hak asasi, sehingga sering kita dengar istilah “The Rights to Development.”
Oleh karenanya, peran negara sebagaimana ditetapkan oleh PBB adalah melakukan
proteksi, prevensi, dan promosi” warga negara atas HAM. Di era itu, ratifikasi
konvensi PBB menjadi tolok ukur indikator kebudayaan suatu bangsa. Namun
demikian sesunguhnya puncak gemilang prestasi negara adalah pada saat
negara-negara berhasil membentuk PBB sebagai lembaga untuk perlindungan HAM
tingkat internasional. Pada saat itulah mula pertamanya negara tidak saja
berhasil merebut kekuasaan ekonomi dari tangan pahan kapitalisme liberal, tapi
juga kekuasaan politik secara internasional.
Cerita di
atas sebenarnya menunjukkan prestasi dan indikasi kekuatan negara dan akibat
menguatnya peran negara, bahkan tingkat internasional berakibat semakin
memperkecil ruang kapitalisme liberal terutama Multinational Corporations
(MNCs) dan Transnational Corporations (TNCs) menjadi semakin dibatas ruang
geraknya. Banyak hal yang dulu dianggap barang publik dan bisa diperoleh secara
gratis, saat ini dianggap sebagai komoditi yang tidak gratis lagi, seperti air,
pangan, kesehatan, pendidikan, bahkan pelayanan sosial. Pendidikan dulu dianggap
sebagai hak anak, demikian pula kesehatan reproduksi adalah hak perempuan, dan
negara berkewajiban untuk menyediakan pelayanan dasar tersebut. Monopoli negara
untuk pemenuhan kebutuhan dasar dan layanan publik sebagai bagian dari HAM,
membuat negara menguasai sumber daya alam untuk kesejahteraan rakyat dan negara
mendapat legitimasi untuk melakukan subsidi kepada rakyat, dengan meregulasi
harga.
Negara,
melalui perusahaan negara (BUMN), selanjutnya melakukan usaha demi untuk
menyejahterakan rakyat, seperti yang diamanatkan oleh konstitusi negara.
Kakuasaan negara untuk mengontrol sumber daya alam dan ekonomi inilah yang saat
ini tengah digugat oleh paham neoliberalisme, yang memperjuangkan kembali
berlakukanya pasar bebas dan mendesak negara untuk melepaskan kekuasaan mereka
atas ekonomi, dan menuntut agar hukum pasar dan persaingan bebas yang
mengaturnya. Melalui kampanye privatisasi dan potong subsidi, banyak negara
saat ini tidak mampu lagi melaksanakan amanat konstitusi untuk melindungi
(memproteksi) rakyatnya. Agar negara tidak merasa bersalah karena melanggar
amanat konstitusi, maka rezim pasar bebas mendesak negara untuk melakukan
amandemen konstitusi supaya sesuai dengan pendirian pasar bebas.
Selain
pertikaian antara paham liberalisme dan negara untuk memperebutkan ekonomi,
sejarah perkembangan HAM sebelumnya sudah diwarnai oleh pertikaian kepentingan
antara negara Barat pendukung paham liberal yang menekankan hak-hak sipil dan
politik yang berwatak individualis, yang dikenal sebagai generasi pertama HAM.
Sementara itu negara-negara blok sosialis, yang memperjuangan hak ekonomi,
sosial, ekonomi dan budaya sebagai bagian dari HAM, dan agenda ini dikenal
sebagai HAM generasi kedua. Semakin menguatnya negara-negara bekas jajahan
memperjuangkan HAM, telah melahirkan “generasi ketiga” HAM yakni hak atas
pembangunan, bebas dari penggusuran, yang kini sudah diakui sebagai hak asasi
manusia. Namun model pembangunan yang bertumpu pada negara akhir-akhir kini
tengah mendapat tantangan.
Namun
ironisnya, runtuhnya pembangunan dan paham state-led development, tidak
ditangisi oleh rakyat sama sekali. Bahkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa
rakyat justru ikut merendahkan dan memasung kewenangan negara, institusi yang
seharusnya menjadi pelindung rakyat sendiri. Rakyat sudah sangat marah dan
trauma oleh kesewenang-wenangan aparat negara yang ditunjukkan rezim Orde Baru
selama 32 tahun. Rakyat sudah muak dengan janji dan retorika pembangunan untuk
mensejahterakan dan melindungi kepentingan rakyat, namun kenyatannya justru
pembangunan menjadikan rakyat sebagai korban pembangunan. Pembangunan bagi
rakyat tidak lebih dari penggusuran tanah demi untuk pembangunan proyek-proyek
mercusuar, penangkapan, penghilangan paksa, dan pembunuhan.
Runtuhnya
paham state-led development dan krisis yang dialami negara, justru
dirayakan oleh rakyat sebagai kemenangan. Namun kegembiraan rakyat ternyata
tidak berlangsung lama. Terlebih-lebih sejak negara kita menjadi anggota WTO
sekaligus menjadi pasien IMF, terutama setelah meratifikasi sejumlah konvensi
HAM PBB, Indonesia menghadapi situasi yang sangat membingungkan. Di satu pihak,
karena kita terikat pada konvensi penghapusan segala bentuk diskriminasi
terhadap perempuan, dan konvensi hak anak, kita harus berjuang untuk memenuhi hak-hak
reproduksi perempuan dan hak-hak anak, namun di pihak lain, kita dipaksa oleh
suatu mekanisme struktur global akibat jeratan utang untuk meratifikasi
konvensi-konvensi tarif dan perdagangan bebas di bawah perjanjian WTO, dimana
konvensi-konvensi WTO sesungguhnya bertentangan secara prinsipil dengan
semangat konsep HAM konvensi PBB. Proses untuk menyesuaikan kebijakan ekonomi
nasional untuk diintegrasikan ke dalam sistem ekonomi global yang berprinsip
neoliberalisme ini yang disebut sebagai proses “globalisasi.”
Pada
akhirnya, proses globalisasi inilah yang memungkinkan TNCs mengontrol kebijakan
proteksi negara dan mengubahnya menjadi aturan yang mempermudah TNCs untuk
mengambil alih sumber daya alam. Banyak kebijakan neoliberal telah
diimplementasikan di Indonesia, seperti pemotongan subsidi negara dan
pembebasan tarif bagi produk pertanian, privatisasi perusahaan-perusahaan
negara, perguruan tinggi, serta pelayanan kesehatan dan pendidikan. Negara juga
dituntut untuk mengubah kebijakan publik termasuk hukum atas pajak, ekspor,
paten, dan izin pemanfaatan bibit dari rekayasa genetika atau GMO dalam
pertanian. Semua kebijakan itu telah diadopsi oleh pembuat undang-undang kita
belum lama ini.
Akses ke
pasar dan ‘bantuan domestik’ untuk konsumsi perusahaan multinasional demi
terwujudnya persaingan global, telah memaksa pemerintah untuk mengubah
kebijakan mereka dari subsidi untuk masyarakat miskin kecil beralih ke TNCs
agribisnis raksasa. Perubahan kebijakan dan proses ini akan meminggirkan
kemampuan petani kecil sebagai produsen pangan dan menggilas mereka denang
produk pertanian negara maju yang lebih murah harganya karena mendapatkan
subsidi penuh dari negaranya. Bahkan, kebijakan liberalisasi pangan dengan
cepat akan mengubah pertanian Indonesia dari model produksi skala kecil ke
pertanian industri agribisnis TNCs. Pada saat ini, semua kebijakan untuk
memperlancar jalan globalisasi pangan dari negeri kita sudah dipersiapkan
dengan pembuatan produk perundang-undangan yang tidak memihak para petani
melainkan justru memihak perusahaan agribisnis.
Misalnya
saja keputusan untuk mengubah kebijakan investasi asing yang telah diberlakukan
sejak tahun 1974 merupakan suatu contoh yang baik dari kebijakan neoliberal
dalam investasi. Persetujuan bagi kepemilikan asing 100 persen yang ditetapkan
dalam paket deregulasi investasi Juni 1994 menunjukkan perubahan drastis dalam
kebijakan investasi asing di Indonesia. Kebijakan deregulasi ini telah
menjadikan Indonesia sebagai negara neoliberal. Dalam periode 1995-2004 misalnya,
Indonesia telah mengikat 1.341 tariff line untuk produk pertanian di WTO
dengan rata-rata (mode) untuk pemotongan tarif mencapai 40 persen. Tujuan utama
penurunan tarif ini pada dasarnya adalah untuk semakin membuka akses pasar
domestik Indonesia bagi masuknya produk-produk pertanian dan pangan dari luar
negeri. Hal ini disebabkan anggapan bahwa proteksi melalui tarif akan
menghambat laju perdagangan global.
Kebijakan
mengurangi segala bentuk regulasi pemerintah terhadap usaha tersebut dipaksakan
untuk dilaksanakan karena pada dasarnya regulasi pemerintah demi untuk
memproteksi produsen atau petani lokal akan mengurangi keuntungan mereka.
Sementara itu petani akan tersingkirkan sebagai produsen pangan di negeri
mereka sendiri. Di Indonesia, liberalisasi perdagangan khususnya
dalam bidang pertanian tidak bisa dilepaskan dari peranan Bank Dunia dan IMF.
Melalui apa yang dinamakan dengan Structural Adjusment Program (SAP) yang
pada tahun 1998, program tersebut dilaksanakan atas nama “membantu Indonesia
mengatasi krisis ekonomi” yang terjadi pada tahun 1997. Program tersebut adalah
merupakan “paket kebijakan neoliberal” karena mengandung ciri-ciri seperti
menghilangkan intervensi pemerintah, privatisasi, liberalisasi
perdagangan dan memperlacar serta memperbesar arus modal asing dengan
memberikan fasilitas yang lebih banyak.
Dewasa
ini, dengan demikian kita telah sepenuhnya memasuki era pasar bebas. Dengan
kata lain, negeri kita dengan demikian sesungguhnya telah menjadi negeri
neoliberal. Pasar bebas kemudian menjadi kata kunci untuk memecahkan berbagai
masalah pertumbuhan ekonomi dan dipercayai sebagai satu-satunya jalan untuk
kemakmuran dan pertumbuhan ekonomi. Orang mulai percaya bahwa apa yang dianggap
akan menghalangi berlakunya “pasar bebas” adalah sesuatu yang menghalangi jalan
menuju kemakmuran dan oleh karena itu harus segera disingkirkan.
Sekarang,
nasi telah menjadi bubur. Sulit untuk diingkari bahwa negara kita telah
mengadopsi sepenuhnya kebijakan neoliberal, suatu kebijakan yang sesungguhnya
tidak memihak pada rakyatnya sendiri. Sebagai bukti hampir semua kebijakan
pasca krisis dibidang ekonomi dan pertanian di negeri ini telah sepenuhnya
menjadi negara neoliberal. Dibidang agraria misalnya kebijakan yang erat
kaitannya dengan pangan telah direformasi menuju pada kebijakan pangan
neoliberal. Banyak produk perundang-undangan yang diciptakan demi untuk
mendukung atau menciptakan iklim persaingan bebas. Misalnya saja UU Pengairan
No.11 (1974); UU Kehutanan No.41 (1999); dan UU Transmigrasi (1997) merupakan
undang-undang yang diciptakan demi untuk menarik minat investasi dibidang
pertanian; UU Pelestarian Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya No.5 (1990); UU Sistem Budidaya Tanaman No.12 (1992); UU
Pengelolaan Lingkungan Hidup No.23 (1997); UU Kesehatan No.23
(1992); dan UU Perlindungan Varietas Tanaman No.29
(2000), semuanya merupakan undang-undang yang menjamin untuk melindungi
kepentingan perusahaan agribisnis yang menanamkan modal mereka dalam bidang
pangan di negeri ini.
Sebaliknya,
proses untuk memandulkan UUPA 1960 terus berlanjut, terlebih-lebih ketika kita
telah memasuki era neoliberal, undang-undang agraria yang memiliki semangat
melindungi dan lebih memihak hak-hak petani (semangat populisme)
tersebut terancam akan di amandemen, bahkan dilenyapkan karena semangat
undang-undang tersebut bertentangan dengan pendirian neoliberalisme. UUPA 1960
sesungguhnya sudah dibatasi, yakni hanya diberi wewenang mengatur hak-hak atas
tanah tidak lebih dari 30 persen luas seluruh daratan Indonesia. Sementara itu
sekitar 70 persen tanah di Indonesia diatur lewat UU Pokok Kehutanan 1967 yang
telah diperbarui pada tahun 1999. Dengan demikian UUPA 1960 sesungguhnya selama
ini telah dikhianati, oleh karena itulah hak-hak petani atas lahan sebenarnya
sudah punah sejak munculnya UU sektoral di dibidang Kehutanan. Akibatnya
sekitar separuh (lebih dari 48 persen) lahan pertanian yang ada merupakan areal
sawah yang luasnya tidak lebih dari 0,5 ha. Oleh karena itu mayoritas petani
sesungguhnya adalah petani gurem yang menjalankan usaha tani yang tidak
ekonomis, disinsentif, sehingga tidak heran banyak petani gulung tikar dan
pindah ke kota-kota besar menjadi kaum urban untuk beralih profesi di sektor
informal (menjadi pedagang asongan, kuli bangunan, tukang becak, buruh kasar,
dll.) yang juga tanpa perlindungan negara.
Lebih
lanjut, kita sesungguhnya dapat mengenali apakah negara kita sudah betul-betul
menjadi negara neoliberal atau masih konsisten sebagai negara seperti yang
dicita-citakan oleh pendiri republik ini, yakni negara merdeka yang
bercita-cita menghentikan segala bentuk penjajahan dan melindungi dan
membebaskan rakyat miskin dari jerat dan kebijakan yang memiskinkan. Dengan
kalimat lain, kita sesungguhnya mudah menilai apakah negera kita merupakan
negara penganut kapitalisme liberal atau masih setia pada semangat proklamasi
1945, juga dapat ditelaah pada kebijakan ekonomi, kebijakan pertanian, maupun
kebijakan terhadap pengelolaan sumber daya alam. Pertanyaan kunci di sini
adalah, kepada siapa sesungguhnya segenap kebijakan ekonomi, pertanian maupun
pengelolaan sumber daya alam yang dibuat pemerintah dipersembahkan. Apakah
suatu kebijakan dibuat demi untuk melindungi para petani dan warga miskin atau
kebijakan dibuat justru demi memudahkan perusahaan agribisnis dan pemilik modal
raksasa melenggang untuk melakukan investasi dan mengeruk keuntungan
sebesar-besarnya di negeri ini? Kebijakan ekonomi dan kebijakan pengelolaan
sumber daya alam merupakan indikator penting untuk mengukur komitmen tersebut.
Untuk itu dalam bagian ini saya mengajak Anda untuk melihat lebih dekat
terhadap kebijakan pangan kita dalam rangka menilai apakah negeri ini merupakan
negeri yang masih berpihak pada petani dan rakyat miskin ataukan kita sudah
menjadi negeri neoliberal yang memihak pada korporasi agribisnis raksasa
tingkat global.
Kebijakan
yang mengatur pangan di negeri kita dituangkan dalam undang-undang No.7/1996.
“Pangan” dalam undang-undang tersebut diartikan sebagai segala sesuatu yang
berasal dari sumber hayati dan air, baik yang diolah maupun tidak diolah, yang
diperuntukkan sebagai makanan atau minuman bagi konsumsi manusia, termasuk
bahan tambahan pangan, bahan baku pangan, dan bahan lain yang digunakan dalam
proses penyiapan, pengolahan, dan atau pembuatan makanan atau minuman.
Undang-undang Pangan tersebut pada prinsipnya memuat hal-hal yang menyangkut
keamanan pangan (food security), seperti sanitasi, bahan tambahan,
rekayasa genetika, dan iradiasi pangan, kemasan, jaminan mutu, dan pemeriksaan
laboratorium serta pangan tercemar. Namun bagi kaum petani dan rakyat miskin,
istilah “kedaulatan pangan” atau kedaulatan rakyat atas pangan lebih
mencerminkan cita-cita keadilan sosial dibanding dengan istilah “ketahanan
pangan,” dimana istilah tersebut saat ini telah rebut dan diberi makna sebagai
liberalisasi pengadaan dan perdagangan pangan dalam perspektif neoliberal. UU
No.7/1996 tentang Pangan mendefinisikan ketahanan pangan sebagai “kondisi
terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan
yang cukup, baik jumlah maupun mutunya, aman, merata, dan terjangkau. “Dengan
mudah” di sini bisa dipahami dalam mekanisme hukum “penawaran dan permintaan.”
Dengan demikian hakikat pangan dalam undang-undang tersebut tidak lagi
merupakan hak asasi, akan tetapi pangan sudah dianggap sebagai komoditi.
Undang-undang
pangan kita itu juga mengatur mengenai mutu dan gizi pangan, pelabelan, dan
iklan pangan, yang semua itu selain tidak akan terjangkau dan terpenuhi oleh
petani, tetapi hanya akan dapat dipenuhi oleh perusahaan agribisnis global. Dan
pada bagian akhir undang-undang tersebut juga diatur mengenai tanggung jawab
industri pangan, ketahanan pangan, peran serta masyarakat. pengawasan dan
ketentuan pidana; terakhir sekali memuat ketentuan peralihan serta ketentuan
penutup.
Undang-undang
pangan ini sesuai benar dengan apa yang diinginkan perusahaan agribinis global.
Padahal komodifikasi pangan—yakni menjadikan pangan sebagai komoditi bagi
negeri yang sebagian besar penduduknya petani—merupakan ancaman bagi hak asasi
manusia para petani. Sekali lagi perlu ditegaskan bahwa pangan pada dasarnya
adalah hak asasi manusia, bukan komoditi. Tampaknya ideologi dan semangat yang
dianut undang-undang tentang Pangan No.7/1996 adalah liberalisasi perdagangan pangan.
Kalau demikian adanya, undang-undang pangan tersebut lebih memberikan
perlindungan bagi perusahaan agribisnis bidang pangan, karena hanya mereka yang
akan dapat memproduksi komoditi sesuai dengan standar internasional yang mereka
ciptakan sendiri tersebut, tetapi pada saat yang sama mengorbankan jutaan
petani dan perlindungan, pemenuhan, pemajuan dan penghormatan hak atas pangan
rakyat miskin.
Lahirnya
undang-undang tentang pangan tersebut dengan demikian lebih demi keperluan
untuk mmenciptakan kondisi tumbuhnya industri pangan menjadi industri modern
yang siap bersaing di pasar global, pada saat yang sama mengundang investor
bidang pangan dari korporasi global. Akibatnya, para petani kecil dan kaum
perempuan sebagai mayoritas produsen pangan kecil—yang memproduksi pangan
sekedar untuk pemenuhan kebutuhan keluarga—akan segara tersingkir. Hanya petani
besar yang didukung modal besar saja yang akan sanggup memenuhi tuntutan ke
arah usaha pertanian dengan logika efisiensi dan produktivitas. Sehingga nantinya
yang akan sanggup bertahan sebagai produsen pangan hanyalah kelompok minoritas
industri pangan bermodal raksasa yang memiliki teknologi dan manajemen modern
dalam suatu sistem produksi industrial yang berorientasi pada pasar ekspor.
Dengan
demikian, semangat kebijakan pangan kita sesungguhnya tidak memihak pada petani
miskin. Dalam konsiderannya undang-undang pangan kita secara eksplisit mengakui
bahwa pangan adalah “komoditi.” Konsideran tersebut senafas pula dengan
substansi pasal 3 ayat 2, bahwa tujuan pengaturan, pembinaan, dan pengawasan
pangan, salah satunya adalah menciptakan arena persaingan bebas dalam
perdagangan pangan. Itulah makanya dalam undang-undang tersebut ditetapkan
berbagai persyaratan (persyaratan sanitasi, sertifikasi, dan persyaratan
lainnya yang tidak mungkin dijangkau oleh petani kita, tetapi segenap
persyaratan tersebut selain dimaksud untuk menjadi daya tarik bagi perusahaan
agribisnis global untuk menanamkan modal mereka di sawah sawah kita, semua
persyaratan sanitasi dan sertifikasi tersebut juga lebih untuk memenuhi
konsumen pasar pangan di negara maju. Undang-undang ini nantinya akan menjadi
mesin pembunuh yang memusnahkan pengusahan dan petani kecil yang bergerak
dibidang pangan. Kalau demikian adanya, saat ini kita tengah menyaksikan suatu
pelanggaran HAM berat yakni penyingkiran hak-hak ekonomi petani kecil sebagai
produsen pangan secara sistematis. Penggusuran petani kecil dari sawah,
penyingkiran petani kecil dan kaum perempuan dibidang penyedia pangan merupakan
suatu bentuk kejahatan yang dalam perdebatan hak asasi manusia tergolong
sebagai cultural genocide.[1]
Dengan
demikian, kebijakan pangan kita ditambah dengan berbagai kebijakan pengelolaan
suber daya alam, seperti kebijakan privatisasi air yang memiliki semangat
neoliberal tersebut telah menyumbang proses pemiskinan para petani dan
masyarakat miskin lain. Jadi sekali lagi, bahwa kemiskinan yang dialami oleh
para petani dan kaum miskin kota, bukanlah kesalahan mereka. Oleh karena itu
untuk memperjuangkan agar petani bebas dari kemiskinan, maka pertama yang harus
dibenahi adalah membebaskan pertanian kita dari kebijakan neoliberal. Namun
demikian kebijakan neoliberalisme sesungguhnya bukanlah satu-satunya yang
membuat petani menjadi miskin. Masih ada lagi proses yang menyumbangkan
pemiskinan petani terutama petani perempuan, yakni keyakinan dan ideologi
gender yang masih subur dan berkembang di masyarakat pedesaan. Oleh karena itu
perlu secara simultan para petani miskin selain berjuang untuk membenahi dan
membebaskan semua kebijakan pertanian negara dikuasai oleh kebijakan
neoliberal, para petani juga harus mendemokratisasikan “relasi gender” yang ada
dalam gerakan petani, dan yang terpenting melakukan proses demokratisasi relasi
gender yang ada di masing-masing rumah tangga petani. Cukup banyak kasus yang
menunjukkan bahwa perjuangan untuk merebut hak petani atas tanah, para petani
Perempuan mempunyai peran penting dalam berbagai aksi pengambilan kembali hak
tanah mereka dari perkebunan. Akan tetapi ketika tanah-tanah itu harus
didistribusikan kembali kepada para petani, betapa kecewanya para perempuan
petani karena struktur rumah tangga dan relasi gender para petani yang tidak
demokratis dan tradisi di masyarakat petani yang tidak memberikan hak bagi kaum
perempuan atas tanah, telah mengakibatkan marginalisasi perempuan petani
lantaran mereka tidak mempunyai akses dan kontrol atas tanah. Dengan demikian,
tanpa membongkar terlebih dahulu sistem patriarki yang ada di masyarakat petani
dan tanpa menata kembali relasi gender di rumah tangga para petani, setiap
gerakan aksi untuk reformasi agraria akan dilumpuhkan oleh ketidakadilan gender
yang secara sistematik dan kokoh berada di masyarakat petani. Oleh karena itu,
tugas gerakan petani terlebih dahulu adalah melakukan proses demokratisasi
terhadap relasai gender di rumah tangga masing-masing sebagai bagian yang tak
terpisahkan dari gerakan untuk memberdayakan dan mencapai hak-hak petani.
Secara
lebih tegas bahkan perempuan petani perlu mendekonstruksi berbagai mitos
liberalisasi perdagangan pangan, dan merebut kembali hak penyedia pangan ke
tangan petani perempuan. Berbagai mitos tersebut meliputi: Pertama mitos bahwa
dengan perdagangan bebas akan menjamin pangan murah dan keamanan pangan pun
akan terjamin. Kenyataannya perdagangan bebas bidang pangan akan menaikan harga
pangan. Kedua, bahwa WTO dan TNCs akan mempoduksi pangan yang aman.
Kenyataannya dengan rekayasa genetika dan penggunan pestisida dan racun kimia
untuk efesiensi berbahaya bagi manusia. Ketiga, bahwa kaum perempuan akan
diuntungkan oleh pasar bebas pangan, kenyataannya, perempuan petani akan
tersingkir baik sebagi produsen maupun konsumen. Keempat, bahwa paten akan
melindungi inovasi dan pengetahuan, kenyataaannya, paten dan hak kekayaan
intelektual dibidang mikro-organisme dan germplasma, selain melegalisasi
pencurian keanekargaman hayati petani serta bibit dan menjualnya kembali pada
petani demi keuntungan merupakan proses penghancuran kehidupan petani. Kelima,
bahwa perdagangan bebas dibidang pangan akan menguntungkan konsumen karena
banyak pilihan dan harga murah. Kenyataannya, perdangan bebas bidang pangan
akan menguntungkan TNCs dan memarginalkan negara karena tidak mampu lagi
memenuhi kewajiban konstitusinya dalam bidang keamanan dan persediaan pangan,
maupun penghancuran perempuan petani sebagai produsen pangan.
Dengan
demikian sesungguhnya sangat strategis bagi perempuan petani untuk senantiasa
merebut wacana seperti globalisasi dan perdagangan bebas, corporate farming,
ataupun keamanan pangan dari perspektif perempuan petani yang lebih
berpendirian “kedaulatan pangan” pangan untuk kehidupan dan bukan pangan untuk
komoditi dan keuntungan belaka. Namun masalahnya, jangankan memberi “warna
gender” dalam wacana dominan, bahkan saat ini masih ada indikasi kuat yang
menunjukkan absennya “pertanyaan gender” dibanyak gerakan petani untuk
mempertanyakan bagaimana globalisasi dan perdagangan bebas dibidang pangan akan
berakibat negatif bagi petani perempuan.
Dalam
praktiknya, usaha menegakkan kembali pasar bebas dilakukan dengan jalan
mengatur negara dan pemerintah untuk ikut campur dalam urusan perburuhan,
investasi, penetapan harga, serta memberikan ruang gerak seluas-luasnya bagi
aktor ekonomi, seperti kaum industrialis untuk mengatur diri sendiri dan
menyediakan kawasan pertumbuhan, seperti NAFTA, AFTA SIJORI, BIMPEAGA dan lain
sebagainya. Sebaliknya, negara dan pemerintah harus menghentikan semua bentuk
“subsidi” kepada rakyat karena subsidi selain dianggap bertentangan dengan
prinsip pasar bebas dan kompetisi bebas, juga bertentangan dengan prinsip
“singkirkan campur tangan negara dan pemerintah” dibidang ekonomi. Oleh karena
itu pemerintah saat ini tengah melakukan privatisasi semua perusahaan negara,
seperti listrik, telpon, rumah sakit, televisi, radio, universitas, dan lain
sebagainya. Alasan privatisasi BUMN tersebut lebih dikarenakan keyakinan para
pendukung paham pasar bebas seperti IMF, Bank Dunia, perusahaan transnasional
dan multinasional, bahwa perusahaan negara dianggap sebagai usaha terselubung
untuk melaksanakan subsidi negara kepada rakyat, dan kalau begitu menghambat
pasar dan persaingan bebas.
Arsitektur
tata dunia pasar bebas ini ditetapkan dalam deklarasi “The Washington Consensus,” yang
diikrarkan di Amerika tahun 1980-an oleh para pembela ekonomi pasar bebas yang
terdiri dari wakil dari perusahaan-perusahaan besar transnasional, Bank Dunia
dan IMF serta wakil negara kaya. Ajaran The Washington Concensus tersebut,
intinya adalah apa yang mereka sebut sebagai “reformasi” ekonomi dengan
kebijakan pasar bebas era neoliberalisme. Kesepuluh ajaran neoliberal tersebut
adalah sebagai berikut. Pertama, “disiplin fiskal.” Kebijakan ini intinya
memerangi defisit perdagangan. Kedua, public expenditure atau anggaran
pengeluaran untuk publik. Kebijakan ini berupa prioritas anggaran belanja
pemerintah melalui pemotongan segala macam subsidi. Ajaran ketiga, pembaharuan
pajak, seringkali berupa pemberian kelonggaran bagi para pengusaha untuk
kemudahan pembayaran pajak seperti tax holiday. Keempat, liberalisasi
keuangan, yakni berupa kebijakan bunga bank yang ditentukan oleh mekanisme
pasar. Kelima, penciptaan standar nilai tukar uang yang kompetitif, yakni
berupa kebijakan untuk melepaskan nilai tukar uang tanpa kontrol pemerintah.
Keenam, menyangkut trade liberalisastion, yakni kebijakan untuk
menyingkirkan segenap yang menganggu perdagangan bebas, seperti kebijakan untuk
mengganti segala bentuk lisensi perdagangan dengan tarif dan pengurangan bea
tarif. Ketujuh, foreign direct investment, yakni kebijakan untuk
menyingkirkan segenap aturan pemerintah yang menghambat pemasukan modal asing.
Kedelapan, privatisasi, yakni kebijakan untuk memberikan pengelolaaan semua
perusahaan negara kepada pihak swasta. Kesembilan, deregulasi kompetisi dan
ajaran, dan kesepuluh berupa intellectual property rights, atau paten,
yakni perlindungan hukum terhadap barang produk yang dipasarkan.
Apakah Neoliberalisme Juga
Menjadi Ancaman bagi Anak anak?
Banyak
kejadian sehari-hari yng membuat banyak orang yang peduli masalah hak-hak asasi
manusia adalah, semakin meningkatnya bentuk-bentuk pelanggaran hak anak di
depan mata. Setiap pagi, di beberapa sudut perempatan jalan kota-kota besar,
kita menyaksikan bagaimana anak-anak kecil yang harusnya duduk manis di bangku
sekolah terpaksa meminta-minta dan dipaksa mengemis orangtuanya. Ditempat lain,
kita masih melihat anak-anak remaja putus sekolah dan terpaksa menjadi pedagang
asongan untuk bisa bertahan hidup. Kalau malam tiba, kita juga menyaksikan
anak-anak remaja putri yang dilacurkan yang jumlah mereka semakin hari semakin
bertambah. Sementara itu, kita tidak pernah menyalahkan negara yang tidak
serius mengurusi nasib rakyatnya yang terjerat dalam lingkaran setan
kemiskinan, bahkan terkadang negara maupun masyarakat lebih menyalahkan
anak-anak korban pelanggaran hak asasi manusia tersebut. Sebagian lagi mereka
menyalahkan orang tua anak-anak itu, tanpa sedikitpun merasa ikut bersalah.
Dengan
demikian, kita sebagai bagian bangsa dan negara, sesungguhnya hingga saat ini
belum sepenuhnya menghormati hak anak-anak Indonesia, anak-anak kita sendiri,
darah daging kita dan penerus generasi kita sendiri. Pendek kata, kita sebagai
bangsa dan manusia Indonesia, belum mampu mengakui akan hak-hak anak kita
sebagai bagian dari hak asasi manusia. Kita belum berani mengakui bahwa
anak-anak sesungguhnya adalah juga manusia. Atas nama pembinaan, dengan alasan
pendidikan, serta dengan dalih tanggung jawab sebagai orangtua, kita justru
masih banyak melakukan proses dehumanisasi, marganisasi, dan penindasan
kultural dan struktural pada anak-anak kita sendiri. Bahkan kita menyaksikan
ketidaksanggupan mencegah banyaknya kasus penyiksaan orangtua terhadap
anak-anak mereka sendiri. Ada indikasi kuat yang menunjukkan anak-anak yang
dilacurkan juga meningkat secara tajam. Setiap hari di media massa kita masih terdengar
cerita perkosaan orang dewasa terhadap anak-anak (pedofilia) dan berbagai
bentuk perbudakan terhadap anak-anak. Demikianlah kualitas kebudayaan kita saat
ini, dalam menjaga anak-anak sebagai titipan Tuhan untuk dimuliakan dan
dimanusiakan.
Sungguhpun
demikian, setiap tahun kita selalu memperingati hari anak-anak nasional dengan
megah dan meriah. Tetapi ironisnya, peringatan itu tidak mampu mengubah nasib
anak dan hanya mengedepankan aspek formalitas yang buang-buang duit. Secara
substansial, nasib anak-anak tidak berubah, mereka disingkirkan dan diasingkan
dan tidak dihormat keberadaannya. Suara mereka tidak didengar dalam setiap
kebijakan yang menyangkut hidup mereka. Dalam rangka itulah pada kesempatan
ini, tanpa seremoni tanpa upacara-upacara, saya ingin mengajak Anda untuk
merenung dan melakukan refleksi terhadap apa sebenarnya hakikat anak dan apa
sesungguhnya hak-hak asasi anak itu?
Secara
umum, pada dasarnya hak anak adalah hak asasi manusia. Hak Anak, seperti yang
digambarkan oleh Konvensi PBB tentang Hak-hak Anak, pada dasarnya menyangkut
hak hak yang melekat pada anak sebagai karunia Tuhan. Oleh karena itu tidak
seorang pun, organisasi, atau bahkan pemerintah, berhak mencabut hak tersebut.
Sebaliknya hak-hak yang melekat pada anak wajib dijaga dan dipenuhi, serta
diproteksi oleh negara dan masyarakat. Secara sederhana apa yang dimasukkan ke
dalam “hak anak” adalah merupakan hak-hak yang wajib diberikan kepada anak.
Yang dimaksud sebagai anak dalam konvensi itu adalah manusia yang berumur 18 tahun
ke bawah. Mereka yang berumur 18 tahun yakni hak dalam definisi PBB tersebut
mendapat hak-hak yang dapat digolongkan menjadi beberapa hak. Pertama, adalah
hak-hak untuk hidup dan hak berkembang. Masuk pada hak ini adalah hak untuk
mendapat kewarganegaran dan hak untuk mendapat identitas. Jadi akte kelahiran
adalah hak. Kalau ada anak Indonesia tak memiliki akte kelahiran, negara
bersalah karena melanggar hak asasi manusia anak tersebut.
Kedua, hak
untuk mendapatkan pendidikan. Negara berkewajiban untuk menyediakan akses
pendidikan bagi setiap anak secara cuma-cuma. Kalau ada orang yang berusia di
bawah 18 tidak sanggup bersekolah karena alasan biaya, maka negara dapat
disalahkan karena telah melanggar hak asasi manusia. Hak untuk berpartisipasi
dalam pembangunan dan terlibat dalam segenap keputusan yang menyangkut mereka.
Hingga saat ini masyarakat dan negara kita belum memiliki mekanisme yang
memungkinkan suara anak diperhitungkan dalam membuat kebijakan publik yang
menyangkut kehidupan mereka. Sudah waktunya negara dan masyarakat memberi ruang
bagi anak-anak untuk bebas berorganisasi dan memfasilitasi pendidikan politik
mereka, supaya mereka menjadi bagian komponen dari bangsa yang ikut menentukan
masa depan bangsa.
Anak
dalam visi konvensi hak anak PBB tersebut digambarkan sebagai subyek, anak
diposisikan sebagai manusia dan anak adalah makhluk otonom dan merdeka. Mereka
adalah manusia yang perlu dilindungi. Visi yang terkandung dalam hak-hak anak
PBB tersebut pendeknya adalah bahwa bumi ini harus menjadi surga bagi anak-anak
untuk berkembang. Banyak orang dewasa merasa khawatir kalau kita memanjakan
anak-anak. Padahal anak-anak seharusnyalah dimanjakan. Kalau kita menghormati
dan memuliakan martabat anak-anak itu, susungguhnya bukan karena semata kita
terlanjur meratifkasi konvensi hak anak PBB. Namun bagi saya, anak harus tetap
kita hargai dan hak-haknya kita proteksi, kalaupun seandainya Indonesia menolak
meratifikasi hak anak PBB, ataupun andaikata PBB tidak membuat konvensi hak
anak.
Itulah
makanya tidak ada konvensi PBB yang begitu luas diratifikasi oleh banyak negara
selain konvensi hak anak. Ratifikasi artinya negara telah mengikatkan diri
dalam perjanjian internasional untuk menghormati hak-hak anak mereka sendiri.
Demikian halnya bagi bangsa Indonesia, pada prinsipnya visi yang terkandung
dalam konvensi Hak Anak PBB itu sejalan dengan pandangan hidup, tradisi, dan
keyakinan yang dianut oleh bangsa Indonesia yang pada hakikatnya sangat
memuliakan dan menghomati anak tersebut. Karena itulah makanya Indonesia
termasuk salah satu negara yang cepat meratifikasi konvensi PBB tentang hak
anak.
Namun
dalam kenyatannya, terdapat indikasi dimana kita sebagai bangsa mempunyai watak
ambivalen sehingga disamping memberikan penghormatan pada anak dengan bukti
kita telah meratifikasi konvensi internasional itu, namun di lain pihak kita
masih menghianati konvensi PBB ini. Hal ini karena sejak kita meratifikasi
Konvensi Hak Anak PBB ini, nasib anak Indonesia ternyata tidak lebih baik,
dalam arti masih banyak terjadi pelanggaran hak-hak anak. Hak anak untuk
mendapatkan pendidikan yang pada dasarnya merupakan hak asasi manusia, bahkan
semakin dilanggar, dan ada indikasi pelanggarannya semakin meningkat jika
dilihat dari komposisi anggaran APBN kita, yakni Cuma sekitar 6 persen.
Rendahnya
anggaran pendidikan bisa dijadikan sebagai indikator rendahnya komitmen kita
pada hak anak. Padahal semua orang mulai menyadari bahwa pelanggaran terhadap
hak anak untuk mendapatkan pendidikan, pada dasarnya adalah melanggar hak asasi
manusia. Sampai saat ini berbagai hak anak masih secara sistemik dilanggar.
Sebagaimana dimaklumi, bahwa dalam kaitannya dengan hak asasi manusia, tugas
negara adalah, melindungi, memproteksi, mencegah pelanggaran dan mempromosikan
hak-hak anak tersebut. Melihat kenyataan terus berlangsungnya pelanggaran hak
anak tersebut kita sebagai bangsa, negara, pemerintah, dan sebagai masyarakat,
masih belum jelas komitmen kita semua untuk memperjungkan dan melindungi hak
anak kita sendiri.
Jika
dianalisis, ada beberapa persoalan yang menyebabkan mengapa kita masih
melanggengkan pelanggaran hak anak tersebut. Pada dasarnya pelanggaran hak-hak
anak disebabkan oleh tiga faktor penyebab yakni, pertama faktor yang menyangkut
substansi kebijakan negara Indonesia mengenai komitmen kita terhadap hak anak.
Kedua, adalah faktor yang menyangkut struktur dan sistem sosial ekonomi dan
kaitannya dengan pelaksanaan kebijakan pendidikan, dan ketiga, faktor kultural
yang menyangkut kesadaran budaya masyarakat terhadap perlunya visi pembebasan
anak sebagai manusia.
Dalam
kaitannya dengan substansi komitmen kebijakan negara terhadap anak masih
terdapat permaslahan besar yang menyebabkan pelanggaran hak anak atas
pendidikan masih tetap berlangsung. Pertama, kita memang telah meratifikasi
konvensi PBB hak anak, tapi itu hanya rativikasi basa-basi belaka. Buktinya,
hingga saat ini setelah ratifikasi kita masih belum memiliki undang-undang
perlindungan hak anak. Akibat dari tidak adanya undang-undang perlindungan hak
anak ini, pemerintah tidak memiliki mekanisme untuk melaksanakan ketentuan
konvensi. Kedua, setelah konvensi PBB dirativikasi, negara juga tidak segera
menciptakan Komisi Nasional Hak Anak. Komisi yang ada adalah tidak didukung
oleh keputusan DPR, tapi berasdal dari kalangan LSM sehingga negara tidak
merasa wajib untuk mendukungnya. Itu berakibat tidak adanya komisi nasional
yang memantau pelaksanaan hak tersebut secara legal, legitimat dan formal. Yang
ketiga, apakah negara juga sudah “mengakui” terhadap komisi hak anak PBB,
sehingga memungkinkan komisi tersebut untuk memonitoring pelanggaran kita, dan
lebih lebih, instrumen PBB yakni konvensi hak anak tersebut tidak dapat
dimanfaatkan untuk melindungi hak asasi anak-anak kita sendiri.
Sebagian
besar pelanggaran hak anak bersifat terbuka karena dilakukan secara langsung
oleh para pelaku pelanggaran HAM. Misalnya pelanggaran hak anak dalam bentuk
pembunuhan dan pemukulan terhadap anak semua orang mudah memahaminya. Akan
tetapi pelanggaran yang justru korbannya sangat besar adalah pelanggaran yang
bersifat struktural dan sistemik. Pelanggaan ini tidak mudah dikenali baik oleh
pelanggarnya maupun oleh korbannya. Inilah pelanggaran hak-hak anak yang
disebabkan oleh dan akibat struktur kebijakan negara yang menerapkan kebijakan
neoliberal dalam bidang pendidikan. Pelanggaran hak anak jenis ini seringkali
akibat dari adanya kontradiksi antara kebijakan negara dibidang perlindungan
hak dengan kebijakan lain. Misalnya komitmen penghormatan hak anak bertolak
belakang dengan kebijakan ekonomi negara yang tengah mempromosikan liberalisasi
perdagangan dan pasar bebas. Menguatnya kebijakan ekonomi pasar bebas ini,
berimplikasi terhadap privatisasi perusahaan negara, pemotongan subsidi,
persaingan bebas, dan campur tangan pemerintah yang makin kecil dalam soal
pasar. Ketika pendidikan dianggap sebagai komoditi, kebijakan pemerintah
dibidang pendidikan yang berwatak neoliberal ini akan membuat pendidikan
menjadi komoditi yang harus diperdagangkan dalam hukum pasar bebas. Akibatnya,
hanya mereka yang punya uang bisa mengakses pendidikan dan mereka yang tidak
punya uang akan gigit jari. Pemotongan subsidi terhadap pendidikan, dengan
dalih demi pasar bebas, membuat pendidikan semakin mahal dan berakibat bagi
anak-anak dari golongan miskin terlanggar hak-hak asasi mereka. Sekali lagi
rendahnya anggaran pendidikan di Indonesia merupakan indikasi bahwa pendidikan
tidak lagi menjadi prioritas dan komitmen untuk melindungi hak anak juga perlu
diragukan.
Sementara
itu, para guru sebagai pelaksana pendidikan juga sangat berperan penting dalam
proses belajar mengajar. Keyakinan pendidikan para guru yang tersembunyi dalam
metodologi pendidikan dan proses belajar mengajar di sekolah masih berangkat
dari paham yang meletakkan guru sebagai pusat, guru digugu dan ditiru, dan
murid menjadi obyek yang kesemuanya itu memberikan kesan bahwa proses belajar
mengajar tak ubahnya seperti proses penjinakan. Tanpa komitmen atas hak anak,
kapasitas dalam metodologi pendidikan yang berbasis atas hak anak, serta
keterampilan teknik belajar mengajar yang berprinsip penghormatan hak anak,
maka sekolah lebih menjadi masalah ketimbang sebagai solusi bagi promosi hak
anak. Suasana sekolah yang tidak berwatak demokratis dan membebasakan juga
menjadi penghambat atas pelaksanaan hak anak.
Secara
kultural promosi tentang perlunya penghormatan hak anak sebagai hak asasi
manusia masih perlu dilakukan. Kepekaan masyarakat atas hak anak yang sangat
rendah, menyumbang lemahnya tekanan terhadap negara untuk melaksanakan
kewajiban konstitusional untuk melindungi hak anak. Dalam suasana seperti itu
yang diperlukan adalah kuatnya desakan civil society untuk senantiasa
menantang negara, karena masyarakat adalah konstituen negara untuk tetap
konsistensi dalam penghormatan atas hak anak. Akhirnya, sudah saatnya
masyarakat, pemerintah, dan negara mulai mendengarkan nurani anak, ketika
mereka hendak menentukan anggaran negara atau anggaran daerah, ketika sedang
membuat perencanaan kota bahkan perencanan pembangunan. Negara dan masyarakat
perlu mengembangkan mekanisme agar “suara anak” ataupun kebutuhan anak,
didengar dan diperhitungkan dalam setiap kebijakan. Kepekaaan dan penghormatan
atas hak anak bahkan perlu didesakkan masyarakat kepada negara setiap mereka
hendak menentukan kebijakan publik. Akhirnya Mari kita tetapkan komitmen sekali
lagi agar bumi Indonesia menjadi surga, tempat aman, nyaman dan bebas, bagi
anak untuk berkembang.
Mengapa Kaum Miskin
Harus Menentang dan Menghentikan WTO?
WTO saat
ini merupakan organisasi yang paling berkuasa di tingkat internasional. WTO
sejak kemunculannya tahun 1990-an menjadi pesaing utama badan dunia PBB. WTO
mengemban tugas utama semua kebijakan neoliberal di tingkat global. Kekuasaan
WTO untuk mendesakkan agenda kebijakan neoliberal kepada anggota-anggotanya
membuat kaum miskin sedunia merasa sudah waktunya menghentikan WTO. Ada banyak
alasan mengapa kaum miskin harus menghentikan WTO. Sementara itu PBB harus juga
didemokratisasikan untuk tetap menjaga komitmen untuk melindungi hak-hak kaum
miskin secara global. Sambil menunggu lahirnya alternatif organisasi global
yang sanggup untuk menegakkan semangat demokrasi, keadilan sosial, dan
pembebasan, ada baiknya kita tinjau mengapa WTO lebih merupakan masalah
ketimbang sebagai jalan keluar.
Alasan
pertama, WTO sangatlah berbahaya bagi umat manusia karena WTO lebih
mempriortaskan nilai perdagangan dan komersialisasi sebagai nilai dasar dan
mengabaikan nilai-nilai lain, keadilan sosial, kemanusiaan, maupun solidaritas
umat manusia. WTO merupakan kekuatan yang merendahkan aturan lain yang
diinspirasi oleh gagasan solidaritas dan nonkomersial, kaum buruh, kaum miskin,
perlindungan lingkungan dan keamanan, HAM, solidaritas manusia dan
multikultural, perlidungan manusia maupun binatang. WTO hanya peduli pada
kepentingan investasi modal dan perlindungan atas modal korporasi global.
Kedua, WTO
merupakan organisasi yang tidak demokratis. WTO Mengabaikan kemungkinan akan
keputusan wakil negara atau pemerintah yang secara demokratis merupakan pilihan
dari jutaan rakyat, dan menyerahkan keputusan kebijakan ekonomi dunia hanya
pada segelintir orang yang mewakili kepentingan TNCs. Kepentingan TNCs
sesungguhnya hanya mewakili kepentingan kelompok minoritas umat manusia. Namun
kepentingan kelompok minoritas dalam bidang perdagangan dan investasi tersebut
mengalahkan perlindungan, proteksi, dan pemenuhan kesejahteraan jutaan rakyat
miskin secara global. Negara-negara yang menjadi tempat berlindung kaum miskin
diseluruh dunia tidak berdaya menghadapi tuntutan peraturan dan kebijakan WTO.
Negara mereka terpaksa harus melanggar dan mengkhianati janjinya pada rakyat,
yakni untuk melaksanakan amanat konstitusi untuk menyejahterakan rakyat
daripada menghadapi sanksi ekonomi WTO. Itulah kenapa negara-negara tersebut
lebih memilih mengamandemen konstitusi dasar sehingga banyak konstitusi berubah
melindungi kepentingan TNCs daripada melindungi rakyat kecil.
Alasan
ketiga mengapa WTO harus dihentikan, karena badan itu merupakan tatanan
imperialisme global yang tidak hanya berkuasa untuk meregulasi ekonomi global,
melainkan juga berkuasa mengatur secara aktif perdagangan, investasi global,
serta berkuasa memfasilitasi perdagangan dan investasi global di atas
kepentingan pembangunan ekonomi maupun kebijakan negara dan pemerintah untuk
melindungi hak-hak rakyat maupun negara untuk mandiri.
Kaum
miskin harus menghentikan WTO karena badan itu menindas bangsa miskin di
belahan bumi bagian Selatan yang jumlahnya jauh lebih besar. Kebijakan WTO
memaksa Bangsa dan Negara Selatan untuk membuka paksa pasar mereka pada
korporasi multinasional yang berasal dari negara-negara kaya serta
menyingkirkan usaha untuk melindungi bayi industri Bangsa dan Negara Selatan
yang baru bangkit akibat sejarah panjang kolonialisme. Dibidang pertanian,
kebijakan pemaksaan untuk membuka pasar pertanian dan pangan akan menghancurkan
kehidupan ekonomi jutaan petani miskin di Negera Selatan.
Tetapi
alasan terpenting bagi kaum miskin mengapa mereka harus menghentikan WTO adalah
bahwa WTO tidak akan pernah memberi manfaat apa-apa bagi kaum miskin terutama
di Indonesia. Sejak Indonesia menjadi anggota WTO pada Januari 1995, Indonesia
telah berusaha untuk menjalankan “reformasi kebijakan pertanian dan
perdagangan” seperti yang digariskan oleh WTO yakni menuju liberalisasi
perdagangan dan pertanian. Hal ini merupakan konsekuensi dari ditandatanganinya
kesepakatan tentang keputusan final Putaran Uruguay (Uruguay Round) yang
telah melahirkan WTO. Indonesia meratifikasi WTO melalui UU No.7/1994 tentang
Pengesahan World Trade Organization/WTO. Pada tahun yang sama, pemerintah
Indonesia telah membuat sebuah keputusan sangat penting tentang kebijakan
deregulasi investasi tepatnya pada bulan Juni 1994. Sejak saat itu berbagai
kebijakan lain seperti kebijakan bidang pangan, air, pertanian dan lain
sebagainya, juga disesuaikan dengan pendirian WTO yakni menganut prinsip
neoliberalisme dan pasar bebas.
Sejak
negara-negara yang menjadi anggota WTO menerapkan kebijakan neoliberalisme
sebagai prinsip yang disyaratkan, jumlah kaum miskin di negara-negara tersebut
semakin bertambah. Dalam studi Bank Dunia berdasarkan kajian mereka di 23
negara di tahun 1999, dilaporkan bahwa saat ini terdapat 20,000 orang miskin
yang setiap tahunnya ketahanan hidup mereka terus menurun selama 10 tahun
terakhir. Di awal penerapan sistem ekonomi neoliberal secara global jumlah kaum
miskin meningkat secara drastis. Tingkat kesenjangan antara yang kaya dan yang
miskin sudah melampau batas kewajaran. Jutaan kaum miskin di Dunia Ketiga
berpenghasilan kurang dari 1 dollar sehari.
Ironisnya,
di Amerika Serikat gaji para manajer perusahaan besar unggulan (perusahaan blue
chip—Peny.) yang mencapai jutaan dollar terus meningkat, sementara gaji
para buruh malah semakin merosot. Menurut laporan Institute Policy Studies,
para manejer Amerika rata-rata gajinya mencapai 517 kali lipat dari gaji para
buruh. Sementara mereka menikmati kekayaan yang tak bisa dibayangkan tersebut,
di dunia Selatan, tempat sebagian besar perusahan tersebut beroperasi, 200 juta
anak balita menderita kurang turun berat badan akibat kurang gizi. Di negara
Dunia Ketiga, 14 juta anak meninggal dunia setiap tahunnya karena penyakit yang
seharusnya mudah diselesaikan. 100 juta anak dipaksa menjadi tentara selama
tahun 1990, dan 6 juta anak menderita luka parah dalam konflik bersenjata. Di
belahan bumi bagian Selatan, tempat di mana keuntungan perusahaan besar itu
diakumulasi, 800 juta orang setiap malam pergi ke tempat tidur dengan perut
lapar.
Begitu
pula di Indonesia, jika pada tahun-tahun menjelang terjadinya krisis
‘kapitalisme negara’ tahun 1993, sekitar 26 juta orang hidup dalam tingkat
kemiskinan yang tidak manusiawi, maka pada tahun-tahun pasca krisis antara
tahun 1997-99, dimana kebijakan neoliberalisme telah menggilas fungsi dan peran
negara kesejahtaraan, jumlah orang miskin meningkat tajam menjadi 130 juta
(Sholte, 2000). Atas dasar itu saya semakin percaya, untuk membebaskan kaum
miskin dari kemiskinan mereka, tidak ada jalan lain kecuali bebaskan mereka
dari kebijakan neoliberalisme.
[1] Penjelasan lengkap tentang gejala cultural genocide ini
dapat dibaca dalam Rittner, dkk., (eds.), 2002, Will Gonocide Ever End,
Aegis Trust, UK.
bagus2, unt bahan kuliah yak..
BalasHapuskepanjangan.... ora tak woco, langsung nang comment.
BalasHapusjebolan nurul yakin nduwe blog kabeh.